Mohon tunggu...
Aries Heru Prasetyo
Aries Heru Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi bidang Crisis Management

Aries Heru Prasetyo, MM, Ph.D menyelesaikan pendidikan S-1 dan S-2 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Fu Jen Catholic University, Taiwan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ayo Menghitung Biaya Penanganan Covid-19 Secara Objektif

26 April 2020   17:20 Diperbarui: 26 April 2020   17:20 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak pandemi Covid-19 resmi berkunjung ke Indonesia di pertengahan bulan Februari lalu, setidaknya ada dua perdebatan di kalangan elite yang saya cermati. Pertama terkait mana yang dinilai lebih penting; melakukan lockdown atau social distancing. Walau pada akhirnya opsi kedua 'pembatasan sosial berskala besar' jualah yang diambil namun riak-riaknya masih berdengung hingga kini. Perdebatan kedua terkait upaya pemulihan ekonomi yang diambil oleh pemerintah pusat. 

Atas perdebatan ini akhirnya paket stimulus jualah yang menjadi pilihan terbaik. Namun lagi-lagi sama seperti debat yang pertama, untuk konteks topik kedua ini juga masih berlanjut hingga kini. Suara-suara yang menyangsikan kedua opsi tersebut masih santer terdengar. 

Sebagai seorang periset, dengan modal ilmu ekonomi yang sangat dangkal, saya berusaha untuk mengumpulkan data-data statistik publik dari sumber-sumber terpercaya lalu mencoba untuk menjelaskannya secara sederhana dalam artikel ini. Sebelumnya mohon maaf apabila ulasan berikut terlihat amat dangkal, namun setidaknya dapat menjadi pemikiran yang obyektif dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi di ranah '+62' ini.

Secara umum, analisa saya meliputi tiga elemen utama. Pertama terkait berapa sih value of statistical life di Indonesia? Angka value of statistical life ini sangat penting untuk memonetisasi risiko fatal yang terjadi, khususnya yang berhubungan dengan angka kematian akibat Covid-19. Kali ini penelusuran saya terhenti di jurnal karya W. Kip Viscusi dan Clayton Masterman di tahun 2017. Meski riset tersebut tidak secara spesifik merujuk ke Covid-19, namun yang menarik buat saya adalah model pengukuran value of statistical life yang disajikan sangat gamblang. 

Mata sayapun semakin terbelalak ketika melihat estimasi angka tersebut ada di Rp. 7,4 Milyar per jiwa. Itu artinya, semakin besar potensi penyebaran pandemi, maka semakin banyak kasus Covid-19 yang menciptakan angka kematian. Maka mau tak mau, opsi menekan angka penyebaran pandemi yang mengakibatkan kematian ini mutlak wajib dilakukan, meski mungkin akan menimbulkan gejolak di sisi ekonomi. Semakin besar angka kematian atas virus ini maka semakin tinggi biaya yang harus ditanggung.

Pola pikir ini harus diakui sedikit berbeda dengan cara pandang konvensional yang selama ini beredar luas di kalangan akademisi. Para ahli sering melihat dua dimensi utama yakni gross domestic product dan laju pertumbuhan ekonomi dalam melakukan pengukuran. Bagi saya hal itu akan sulit dilakukan khususnya di era pandemi Covid-19 saat ini mengingat di dalam formula GDP pasti terdapat selisih angka ekspor dan impor. 

Nah di situlah masalahnya: di mana hampir semua negara saat ini menghentikan aliran ekspor-impor dalam jumlah besar sehingga cukup sulit dalam memperoleh data yang valid. Atas kondisi tersebut, saya memilih untuk menggunakan model lain yang memperhitungkan indeks kebahagiaan di mana di dalamnya turut mempertimbangkan value of statistical life.

Dari kajian singkat di atas kiranya kita sepakat untuk mendahulukan langkah intervensi di bidang kesehatan. Singkat kata, saya membangun 3 skenario kebijakan yakni intervensi minim, intervensi ketat dan intervensi ketat plus stimulus. Sebagai catatan, saya memakai intervensi ketat dalam konteks lockdown, bukan pembatasan sosial berskala besar seperti yang dijalankan saat ini. 

Untuk upaya tersebut, pemodelan saya ambil dari apa yang dilakukan oleh Tiongkok sebagai epicentrum pandemi. Selanjutnya 3 skenario tersebut dapat dengan mudah dibandingkan dengan kondisi proyeksi ekonomi yang diterbitkan oleh Bank Dunia di akhir tahun 2019 lalu ketika pandemi belum menjadi sebuah perhatian global.

Hasil perhitungan yang saya dapatkan adalah sebagai berikut: pada kondisi normal, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini diprediksi di angka 5,2%. Bila kebijakan yang dipilih adalah intervensi minimum maka biaya penanganan Covid-19 ini hanya menurunkan lajur pertumbuhan sebesar 0,91%. Namun dalam jangka panjang (hingga tahun 2030) akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi hingga 0,43% dari kondisi normal.

Selanjutnya pada kebijakan intervensi ketat (tanpa stimulus) terdapat kemungkinan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dalam satu tahun ini akan mendekati angka 0, tepatnya sedikit di bawah angka 1.0%. Namun dalam jangka panjang (hingga 2030) lajur pertumbuhan dapat kembali ke angka 5,10%. Mohon dicatat bahwa skenario ini dibangun dengan estimasi pemberlakuan kebijakan lockdown.

Nah pada skenario kebijakan intervensi ketat plus stimulus, dengan asumsi bahwa stimulus benar-benar dapat dijalankan dengan efektif, maka tahun ini kita akan mampu menciptakan laju pertumbuhan ekonomi 1,80% dan dalam jangka panjang (hingga 2030) akan kembali ke angka 5,20%.

Dari perhitungan sederhana tersebut tampak jelas bahwa skenario intervensi kesehatan ketat plus stimulus diprediksi memberikan biaya yang relatif sedikit di bawah kondisi intervensi minim. Dengan demikian apakah kebijakan yang saat ini diberlakukan (PSBB+stimulus) sudah dikatakan tepat? Jawabannya tergantung pada beberapa hal berikut: Pertama, model yang saya susun menggunakan asumsi lockdown. Itu berarti aktivitas masyarakat benar-benar sangat dibatasi. 

Bila kita ingin meningkatkan efektivitasnya maka anjuran untuk tetap di rumah harus benar-benar dipatuhi, dan bukan sekedar lip service. Sebab semakin kita membangkang dari kebijakan tersebut maka biaya yang ditanggung akan semakin tinggi. Itu berarti akan turut berimbas pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Kedua, tak ada kata lain bahwa stimulus wajib benar-benar dipastikan akan berjalan hingga tataran teknis. Sampai saat ini telah menjadi rahasia umum bahwa di beberapa sektor, instruksi kerja yang merupakan turunan dari paket kebijakan besar stimulus masih menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri. Kecepatan kolaborasi lintas fungsi harus terjadi agar dapat mengamankan paket stimulus ini hingga di lapangan. 

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh semua pelaku ekonomi. 

Lagi-lagi, dengan pemahaman ilmu ekonomi saya yang dangkal, saya optimis bahwa bercermin dari kejadian serupa pada pandemi sebelumnya, upaya melawan Covid-19 sebenarnya harus dilakukan di dua sisi sekaligus yakni di sisi kesehatan maupun ekonomi. Bak dua sisi mata uang, begitulah kiranya kita wajib memandang strategi ini. 

Sebagai warga masyarakat, satu hal yang dapat kita lakukan adalah segera mengidentifikasi peluang usaha yang akan terus menggulirkan roda ekonomi keluarga. Beberapa sektor layak menjadi alternatif seperti perantara logistik dari distributor besar kepada konsumen rumah tangga, atau dalam hal penyediaan bahan kebutuhan pokok serta usaha bidang kulinari. 

Setidaknya upaya itulah yang akan menghidupi ekonomi rumah tangga di masa pandemi. Bila gerakan ini mampu bergelora dengan baik di seluruh kalangan, maka meski perlahan, roda ekonomi nasional akan berputar. Inilah kekuatan yang akan menembus prediksi yang telah saya buat.

Kita mampu menciptakan laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari prediksi statistik ekonomi yang saya lakukan. Kolaborasi yang kuat di antara kita jualah yang akan menurunkan impian ini untuk menjadi kenyataan. Model matematika dan statistik saya hanya mampu memprediksi adanya pemulihan dalam jangka panjang (2030) namun dengan daya upaya nyata dan doa segenap elemen bangsa maka bukan mustahil di akhir tahun ini, prediksi saya akan salah. Besar harapan saya agar dapat menulis artikel lagi di forum ini dengan memberikan prediksi akan adanya pemulihan di tahun 2025 atau yang lebih cepat dari itu.

Semoga tulisan ini mampu membangun optimisme kita sebagai anak Bangsa sebagai bakti terbesar kepada Ibu Pertiwi. Semoga di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini kita semakin dimampukan untuk terus membangun motivasi dalam melawan Covid-19 baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Amin!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun