Sampai saat ini pandemik Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Dalam satu hari, kenaikannya bisa mencapai 300. Per tanggal 9 April lalu, total kasus di Indonesia mencapai 3.512 dengan korban meninggal dunia sebanyak 306. Di wilayah DKI Jakarta sendiri, predikat sebagai epicentrum pandemik masih belum dapat dilepaskan.Â
Jumlah kasus di Ibu Kota masih mendominasi 50% lebih dari total kasus di tingkat nasional. Padahal kebijakan pembatasan sosial berskala besar sudah dijalankan setidaknya selama 3 minggu.Â
Realitas itulah yang membuat Kementrian Kesehatan memberi kewenangan pada pemerintah daerah untuk memberlakukan program PSBB secara lebih tegas. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 tahun 2020, penerapan PSBB secara resmi diberlakukan. Dengan payung hukum yang kuat serta dukungan dari TNI dan Polri, sejak 10 April kebijakan ini telah dijalankan.
Spontan, aktivitas perkantoran, operasional produksi maupun rutinitas masyarakat dibatasi. Sejumlah perusahaan merubah kebijakan kerja menjadi work from home. Â
Demikian pula proses produksi sektor manufaktur. Untuk sementara waktu, kegiatan tersebut harus mengalami penghentian. Moda transportasi angkutan umum atau yang dikenal dengan angkot diijinkan beroperasi selama 6 jam, dari pukul 6.00 pagi hingga pukul 18.00 petang. Itupun dengan jumlah penumpang yang dibatasi hanya 50% dari kondisi normal.Â
Hal ini tentunya akan berimbas pada pendapatan masyarakat. Belum lagi sejumlah perusahaan kini tengah menimbang opsi cuti di luar tanggungan atau pemotongan beberapa komponen gaji seperti tunjangan transportasi atau uang makan.
Situasi lebih memprihatinkan dapat dilihat pada para pekerja yang mengandalkan upah harian. Penghentian aktivitas perkantoran dan produksi secara otomatis membuat mereka kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan.Â
Realitas yang sama juga dirasakan oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang sehari-hari menopang kebutuhan para karyawan perkantoran di bidang pangan. Penutupan operasional perkantoran akan berimbas pada penutupan warung, depot maupun restoran yang biasanya menyediakan sarapan, makan siang hingga makan malam bagi karyawan.
Kondisi saat ini harus diakui sangatlah dilematis. Terkadang kita sulit mendahulukan antara kepentingan mengendalikan pandemik dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Terlebih ketika kesulitan ekonomi berkaitan dengan tingkat stress yang menurunkan daya tahan tubuh sehingga potensi terserang virus semakin tinggi. Bercermin pada pandangan tersebut, di beberapa wilayah mulai menjamur aktivitas gotong-royong antar anggota masyarakat.
Ketika warung makanannya terpaksa tutup, para pedagang diajak konsumen untuk bekerjasama. Idenya sangat sederhana: di satu sisi sang pedagang butuh agar roda ekonominya terus berputar. Di sisi lain, konsumen juga dihadapkan pada kebutuhan pangan yang menuntut untuk dipenuhi.Â
Skema penjualan kini diarahkan dengan menggunakan fasilitas aplikasi percakapan di whatsapp. Kali ini tak tanggung-tanggung konsumen akan menyebarluaskan informasi tentang menu-menu yang disiapkan lewat WA group mereka. Alhasil cakupan pasar yang berpeluang dilayani semakin meluas. Di titik ini sinergi antar anak bangsa memungkinkan roda ekonomi pelaku UMKM terus berputar.
Kisah lain yang cukup inspiratif saya temukan di minggu lalu. Cukup sulit bagi masyarakat untuk memperoleh bahan pokok. Sebagian Ibu-Ibu cukup khawatir untuk berbelanja baik di supermarket maupun ke pasar tradisional. Alasannya sangat masuk akal, mengingat dua lokasi tersebut merupakan titik kumpul masyarakat yang dibayang-bayangi kepanikan akan penutupan wilayah atau lockdown.Â
Tidak berhenti di situ, ternyata kekhawatiran yang sama juga terjadi di sisi pedagang. Akhirnya para pedagang saling bekerjasama dengan pedagang yang lain untuk menyusun daftar bahan pokok yang disebar luaskan melalui media sosial dan whatsapp pelanggan.Â
Mereka bersedia untuk menghantarkan barang belanjaan ke rumah konsumen. Uniknya mereka tak pernah meminta uang ongkos transportasi pengiriman. Beberapa di antaranya bahkan mengatakan tidak akan menaikkan harga. Terlihat jelas ketulusan para pedagang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bak gayung bersambut, ketulusan para pedagang itu juga direspon positif oleh masyarakat. Mereka yang berhasil memperoleh bahan kebutuhan pokok akhirnya memasak beberapa menu dalam jumlah yang lebih banyak untuk dibagi-bagikan kepada para petugas kebersihan maupun tim keamanan wilayah. Spontanitas ini secara tidak langsung telah membuat sebuah siklus yang mencerminkan semangat persatuan di antara anak bangsa. Masyarakat Ibu Kota yang dulunya identik dengan individualitasnya, kini mampu menjadi contoh keteladanan dan inspirasi anak bangsa yang lain.
Perasaaan senasib sepenanggungan ini jualah yang akan menjadi senjata ampuh dalam berperang melawan Covid-19. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi maka masyarakat akan merasa tenang. Inilah faktor penguat untuk tetap berpikir secara logis atau yang secara konseptual disebut sebagai kondisi rasional. Alhasil dominasi rasional itu akan menghindarkan masyarakat dari pemikiran irasional yang umumnya memicu kepanikan dan tingkat stress yang tinggi.Â
Atmosfer itulah yang harus terus dijaga. Ke depan tantangan akan lebih berat. Kita harus melalui sejumlah Hari Besar Keagamaan dalam situasi keprihatinan. Perayaan hari besar yang biasanya dirayakan bersama-sama, kini harus dibatasi, bahkan dilakukan secara online.
Tak mudah memang untuk menerima kenyataan ini, namun perjuangan melawan pandemik jauh lebih penting daripada meratapi keadaan. Oleh karenanya marilah kita gunakan moment pembatasan sosial berskala besar ini sebagai waktu emas untuk menjalin semangat persatuan bangsa. Mari kita berikan dan lakukan apa yang kita bisa demi kemenangan dalam menghentikan pandemik. Bersatu demi Indonesia Kuat! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H