Penyebaran virus Covid-19 sejak beberapa minggu terakhir belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sampai artikel ini ditulis, setidaknya telah terdapat 500 kasus positif Covid-19 di tanah air. Atas kondisi tersebut, sejumlah kepala daerah telah menyerukan masyarakat untuk melakukan social distancing, menjaga jarak dengan orang lain khususnya mereka yang menunjukkan symptoms corona.
Spontan, aksi pembelian barang-barang kebutuhan sehari-hari di beberapa toko maupun pasar terjadi di pekan lalu di beberapa wilayah Ibu Kota.Â
Meski sejumlah himbauan dan operasi pasar telah dilakukan namun seperti pada kasus hilangnya masker dan hand-sanitizer di pasar beberapa waktu lalu, kepanikanpun terjadi.
Hal ini diperparah dengan beredarnya sejumlah informasi yang terkadang tidak jelas kebenarannya. Aksi kepanikan dalam menghadapi Covid-19 ini tidak hanya terjadi di tanah air. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Italy dan Korea Selatan juga mengalami hal yang sama.Â
Beberapa waktu lalu saya sempat berkorespondensi dengan salah satu rekan yang tinggal di China selama epidemic terjadi. Iapun mengungkapkan hal yang sama. Saat merebak di Desember 2019 lalu, masyarakat spontan menyerbu pusat-pusat perbelanjaan untuk mencukupkan persediaan makanan.
Namun aksi itu menurutnya malah memperburuk situasi. Di tengah-tengah wabah yang mudah menular, tanpa disadari telah terjadi penyebaran virus dari satu orang ke orang yang lain.Â
Alih-alih menyiapkan kebutuhan selama epidemic berlangsung, upaya tersebut malah menyebabkan beberapa orang menderita Covid-19. Satu refleksi yang patut disadari adalah adanya potensi kepanikan masyarakat ketika menghadapi situasi ini.
Oleh karenanya, penyebar luasan informasi terkait virus Covid-19 mulai dari definisinya, upaya pencegahan hingga langkah pengobatan perlu dilakukan secara serius.Â
Setelah mencermati sejumlah pemberitaan yang ada, satu pesan yang harus terus menerus ditekankan adalah bahwa terjangkiti virus Covid-19 bukanlah sebuah aib. Ini merupakan suatu penyakit yang harus segera disembuhkan sebab mempunyai daya penyebaran yang cukup kuat sebab ia dapat berpindah dari satu orang ke orang yang lain.
Nah karena anti virus atau yang dikenal dengan istilah vaksin hingga kini masih berada pada tahap penelitian, maka upaya pencegahan kiranya menjadi solusi terbaik.Â
Artinya, ketika ada seseorang yang terjangkiti maka dengan sadar ia harus mencari pengobatan dan terapi yang tepat agar segera pulih dari penyakitnya sekaligus tidak berpotensi menularkan virus kepada orang yang lain. Demikian pula halnya bila seseorang telah dinyatakan sembuh secara medis dari penyakit ini.
Maka kehadirannya di dalam sebuah komunitas kiranya tidak memerlukan response kepanikan dari pihak yang lain, mengingat mereka telah dinyatakan sembuh.Â
Pada konteks tersebut dapat dilihat bahwa kunci bagi kita dalam melewati masa krisis ini adalah sebuah konsep yang disebut dengan manajemen kepanikan. Merujuk pada beberapa pakar manajemen, kepanikan masyarakat dalam ranah sosial cepat atau lambat akan berimbas pada sisi ekonomi.
Dan itulah yang saat ini tengah dirasakan oleh dunia. Penyebaran virus yang begitu masif telah membuat adanya kebijakan penutupan sejumlah fasilitas produksi sebab bagaimanapun, kesehatan kita jauh melebihi dari segalanya. Namun sebagai dampaknya, ada begitu banyak perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.Â
Di sisi lain, penjualan mengalami penurunan mengingat masyarakat akan berkonsentrasi pada upaya untuk menghadapi penyebaran virus. Alhasil tanpa skema pemulihan ekonomi yang tepat dan terencana, ancaman krisis akan menjadi kepanikan susulan.
Tengoklah sekarang, sejumlah otoritas keuangan dunia tengah berupaya untuk memangkas bunga acuan hingga mengarah pada 0% demi terbangunnya optimisme pasar. Ini adalah perang melawan sebuah kepanikan pasar. Di Indonesia sendiri, indeks harga saham di bursa efek menurun cukup tajam. Ini menunjukkan bahwa aksi jual masih mendominasi pola perdagangan yang ada.Â
Hal yang sama turut terjadi di pasar uang. Nilai tukar Rupiah-pun melorot cukup banyak hingga menembus level Rp. 16.000,- per Dollar Amerika Serikat.
Realitas ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa kepanikan pasar tengah melanda perekonomian nasional. Lalu adakah upaya yang dapat meredam kepanikan tersebut?
Solusinya hanya satu yakni tumbuhnya kesadaran bahwa kita harus melawan setiap kepanikan yang ada. Membangun semangat optimisme kini menjadi hal yang sangat penting.
Tidaklah mustahil bila kita semua berharap agar badai ini akan lekas berlalu. Adaptasi dengan situasi yang tengah terjadi kiranya menjadi modal bagi tumbuhnya kesadaran untuk melawan setiap kepanikan. Satu refleksi sederhananya adalah bahwa dalam kondisi apapun, bisnis dan roda ekonomi harus tetap berjalan.Â
Kebijakan bekerja dari rumah atau work from home kiranya dapat dilakukan secara optimal. Target kinerja harus tetap menjadi alat ukur produktivitas kerja meski tidak secara fisik berada di gedung perkantoran. Pola inilah yang secara perlahan akan membangun optimisme akan hari depan yang lebih cerah.
Ketika kita mampu beradaptasi dengan baik, niscaya produktivitas nasional akan tetap terjaga. Maka di situlah roda ekonomi akan terus berputar. Marilah bersama kita tetap membangun optimisme dalam melalui masa-masa ini. Selamat berefleksi, sukses senantiasa meneyrtai Anda!. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H