Syahrir juga merupakan seorang politikus yang menikmati dunia gagasan dan ide dalam pusaran politik, bukan penikmat kekuasaan melalui politik. Hal itu sejalan dengan pandangan Rocky, Syahrir bukanlah petualang politik melainkan petualang pikiran. Argument itu diperkuat oleh bukti bahwa ketika Syahrir menjadi tawanan belanda dan diasingkan di pulau Banda Neira bersama tokoh nasionalis seperti Hatta, ia lebih banyak membawa buku di dalam kopernya daripada membawa pakaian. Karena ada tradisi yang tertanam dalam dirinya yaitu menyodorkan pikiran hingga ke pelosok negeri. Bahkan Syahrir menulis buku berjudul Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia) yang berisi renungan dan pandangannya terhadap Indonesia dalam menghadapi perkembangan dunia.Â
Hubungan Syahrir dengan bapak proklamator Indonesia yaitu Soekarno, pun tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Berkali-kali kedua tokoh nasionalis ini terlibat perdebatan sengit tentang dasar negara bahkan, tidak jarang satu sama lain saling mengolok-olok kelemahan masing-masing. Syahrir yang memiliki kemampuan mematahkan argumen lawan debat, sedangkan Soekarno yang memiliki kemampuan retorika dan orasi yang cakap tak khayal menuai konflik. Konflik yang panjang itu ditujukan melahirkan konsensus yang fundamental. Pada titik dimana Sjahrir mampu menyaingi Soekarno dalam pergulatan politik lalu, menjadi perdana menteri untuk pertama kalinya, membuat Soekarno bereaksi dengan mengatakan : "Seperti rotan, saya hanya melengkung tapi tidak patah".
Sebaliknya ketika Soekarno naik menjadi presiden, Sjahrir pernah menjadi tahanan politik sahabatnya itu sendiri hingga akhir hayatnya. Sjahrir tidak memendam kebencian kepada Soekarno, ia hanya memberikan pandangannya: "Politik menimbulkan gangguan obsesifitas pada absolutisme kekuasaan dan membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir rasional, jadi saya tidak mungkin menyalahkan Bung Karno."
Namun saat ini kita lihat jejak post colonial-nya telah memudar, tradisi berpikir kritis yang tercermin dari metafora percakapan publik hampir tak berbekas. Ruang publik hari-hari ini dibuat riuh oleh suasana demagogi; busa kalimat. Pada kalimat yang berbusa kita tak dapat menikmati esensi pikiran yang disampaikan. Hanya sensasi yang disadurkan sebagai obat perangsang publik. Akhirnya yang timbul adalah ejekan-ejekan dari satu kubu ke kubu lainnya. Argumen bertransformasi menjadi sebuah sentimen. Â
Oleh sebab itu menjadi keharusan bagi kita mengembalikan tujuan dasar didirikannya negara ini; bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak dapat dibodoh-bodohi. Kebodohan mengundang penjajahan. Belajar dari sejarah merupakan salah satu perang melawan purbakala kebodohan.Â
Â
Sumber Referensi:
- Hiryanto. 2017. Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi Serta Implikasinya dalam Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Dinamika Pendidikan Volume XXII Nomor 1, Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY.
- Rocky Gerung. 2014. Demagogi, diakses dari https://majalah.tempo.co/read/bahasa/145788/demagogi, Tulisan dalam Majalah Tempo terbitan 7 Juli 2014.
- Rocky Gerung. 2010. Sutan Sjahrir dan Politik Pedagogi, dalam buku 'Mengenang Sjahrir', Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H