"Apakah kemerdekaan Indonesia diraih dengan bambu runcing di medan perang atau keruncingan pikiran di meja diplomasi?"
Pertanyaan itu dilontarkan Rocky Gerung kepada para peserta, ketika ia menjadi pemateri dalam diskusi bertajuk 'Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa'. Kelas diskusi itu diadakan oleh Megawati Institute. Tentu pertanyaan itu tidak menuntut jawaban tunggal karena faktanya dalam sejarah, Indonesia memang menggunakan kedua cara tersebut. Perlawanan secara fisik (dengan senjata) dan perlawanan secara pikiran (dengan perundingan diplomasi). Â
Rocky hanya bermaksud menekankan bahwa diplomasi yang dilakukan oleh para founding  father Indonesia dahulu kala begitu memukau. Diplomasi itu lahir dari kecerdasan intelektual yang matang dipadukan dengan keterampilan retorika yang tajam. Sudah sejak lama negeri ini dihuni oleh pikiran-pikiran yang kokoh. Filsafat dan ideologi sudah lama menetap dalam pikiran pendiri negeri ini. Rasionalitas dan teosofi juga sudah sejak lama mewarnai kemerdekaan Indonesia. Tradisi berpikir yang kuat sudah lama tumbuh dalam bangsa ini. Seperti kata pepatah: "Sambil menyelam, minum air", sambil berkata-kata, pikiran dikonsolidasikan.Â
Salah satu diplomat ulung yang Rocky maksudkan adalah Sutan Syahrir. Sudah banyak diplomasi internasional yang dihadapinya dan bagaimana itu mengubah kebijakan dunia terhadap Indonesia. Salah satu contohnya adalah Pidato Syahrir di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1947, ketika ia mempertahankan kemerdekaan Indonesia di forum dunia. Pidato Syahrir pada saat itu disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: "Siapa yang saudara percaya? mereka atau orang-orang beradab seperti kami?". Pertanyaan itu ditanggapi langsung dengan metafora yang berkelas dari Syahrir: "Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, daripada membantah argumen saya". Terlihat bagaimana cara Syahrir membekuk argumen lawan debatnya.Â
Kemampuan Syahrir dalam berdiplomasi tentu tidak lahir secara instan. Rocky menerangkan bahwa Syahrir merupakan seorang yang memiliki kecemasan dalam melihat perubahan politik pertengahan abad ke-20, dimana pada masa itu terjadi kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme, dan juga ketegangan antara liberalisme dan fasisme di Republik Indonesia ini. Sehingga berdampak kepada kebebasan pers yang terkungkung, hal itu membuatnya dilema untuk pergi kepada politik massa atau memilih politik kader. Di tengah kebingungannya itu, Syahrir memutuskan untuk memilih politik kader. Alasan yang paling mendasar yaitu menghadapi pertarungan di kancah internasional akan lebih prestisius dengan cara memobilisasi pikiran secara sistematis. Bukan dengan memobilisasi massa untuk berdemonstrasi.Â
Pilihan ini yang membuatnya menjadi seorang pedagog bukan demagog dalam politik. Secara etimologi, pedagogi berasal dari bahasa Yunani 'paedagogeo', dimana terdiri dari 'paidos' yang berarti anak dan 'agogo' berarti pemimpin, sehingga secara harfiah pedagog, berarti pemimpin anak. Secara istilah pedagogi merupakan ilmu dan juga seni yang dilakukan seorang guru dalam mendidik dan menerapkan pola pembelajaran yang baik dan benar. Sedangkan demagog dari dari bahasa Yunani 'demos' yang bermakna rakyat dan 'agogos' yang bermakna pimpinan dalam arti negatif ataupun penghasut. Secara istilah demagogi merupakan penghasut rakyat yang pandai membakar naluri massa dengan kata bohong untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Rocky gerung sendiri, pedagogi lebih kepada mengedukasi dan mendidik melalui kekuatan kata-kata. Sedangkan, demagogi yaitu mencari sensasi dalam psikologi massa dengan berkata-kata untuk kepentingan pribadi.
 Disini terlihat posisi Syahrir lebih menjadi politikus pendidik demokrasi bukan politikus pengiring massa. Sebab demokrasi di negeri ini perlu dirawat dengan siklus politik pedagogi; yaitu mengajar rakyat untuk merdeka dalam berfikir agar merdeka dalam memutuskan pilihan. Politik pedagogi Syahrir bermotif kemanusiaan yang universal yaitu membantu rakyat keluar dari lingkaran kolonialisme, fasisme dan feodalisme. Dengan merdekanya Indonesia bagi Syahrir merupakan langkah awal untuk memerdekakan manusia di dalamnya.
Pemikiran Sutan Syahrir juga cenderung kepada ideologi sosialisme demokratis yang terbentuk sepanjang ia menempuh pendidikan di Belanda sebagai mahasiswa Hukum Universitas Amsterdam. Bagi Sjahrir, sosialisme adalah salah satu jalan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia. Bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Hal ini tergantung juga pada kesanggupan rakyat dan bangsa Indonesia dalam mewujudkan sosialisme tersebut. Melihat Indonesia sudah memiliki kedaulatan negara dan pemerintahan secara independen.
Ideologi ini pun membangun perspektif yang mendasar, bagaimana Syahrir melihat politik. Baginya politik itu harus memiliki konsep kolektivitas bukan komunalitas, sebab jika politik berjalan dengan komunalitas, politik akan menutup diri dari percakapan argumentatif. Selain itu juga mematikan kemerdekaan sekaligus memperbudak individu. Sebaliknya di dalam kolektivitas, politik dipahami sebagai urusan publik yang harus dipercakapkan dengan perhitungan pikiran, dan bukan dengan pemaksaan doktrinal. Jelas halnya bahwa konsep kolektivitas menjunjung tinggi kemerdekaan individu, tetapi diluar konteks kepentingan individu. Perbedaannya terletak pada kemerdekaan individu memungkinkan politik berjalan secara argumentatif, sedangkan kepentingan individu akan melanggengkan transaksi-transaksi bercorak oportunis. Politik yang berdasarkan kebebasan individu menggarisbawahi bahwa kebenaran tidak boleh berubah menjadi doktrin tunggal, kebenaran itu harus terus memiliki pembanding sehingga terjadi regulasi pemikiran melalui argumentasi.Â
Syahrir juga merupakan seorang politikus yang menikmati dunia gagasan dan ide dalam pusaran politik, bukan penikmat kekuasaan melalui politik. Hal itu sejalan dengan pandangan Rocky, Syahrir bukanlah petualang politik melainkan petualang pikiran. Argument itu diperkuat oleh bukti bahwa ketika Syahrir menjadi tawanan belanda dan diasingkan di pulau Banda Neira bersama tokoh nasionalis seperti Hatta, ia lebih banyak membawa buku di dalam kopernya daripada membawa pakaian. Karena ada tradisi yang tertanam dalam dirinya yaitu menyodorkan pikiran hingga ke pelosok negeri. Bahkan Syahrir menulis buku berjudul Indonesische Overpeinzingen (Renungan Indonesia) yang berisi renungan dan pandangannya terhadap Indonesia dalam menghadapi perkembangan dunia.Â
Hubungan Syahrir dengan bapak proklamator Indonesia yaitu Soekarno, pun tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Berkali-kali kedua tokoh nasionalis ini terlibat perdebatan sengit tentang dasar negara bahkan, tidak jarang satu sama lain saling mengolok-olok kelemahan masing-masing. Syahrir yang memiliki kemampuan mematahkan argumen lawan debat, sedangkan Soekarno yang memiliki kemampuan retorika dan orasi yang cakap tak khayal menuai konflik. Konflik yang panjang itu ditujukan melahirkan konsensus yang fundamental. Pada titik dimana Sjahrir mampu menyaingi Soekarno dalam pergulatan politik lalu, menjadi perdana menteri untuk pertama kalinya, membuat Soekarno bereaksi dengan mengatakan : "Seperti rotan, saya hanya melengkung tapi tidak patah".
Sebaliknya ketika Soekarno naik menjadi presiden, Sjahrir pernah menjadi tahanan politik sahabatnya itu sendiri hingga akhir hayatnya. Sjahrir tidak memendam kebencian kepada Soekarno, ia hanya memberikan pandangannya: "Politik menimbulkan gangguan obsesifitas pada absolutisme kekuasaan dan membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir rasional, jadi saya tidak mungkin menyalahkan Bung Karno."
Namun saat ini kita lihat jejak post colonial-nya telah memudar, tradisi berpikir kritis yang tercermin dari metafora percakapan publik hampir tak berbekas. Ruang publik hari-hari ini dibuat riuh oleh suasana demagogi; busa kalimat. Pada kalimat yang berbusa kita tak dapat menikmati esensi pikiran yang disampaikan. Hanya sensasi yang disadurkan sebagai obat perangsang publik. Akhirnya yang timbul adalah ejekan-ejekan dari satu kubu ke kubu lainnya. Argumen bertransformasi menjadi sebuah sentimen. Â
Oleh sebab itu menjadi keharusan bagi kita mengembalikan tujuan dasar didirikannya negara ini; bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak dapat dibodoh-bodohi. Kebodohan mengundang penjajahan. Belajar dari sejarah merupakan salah satu perang melawan purbakala kebodohan.Â
Â
Sumber Referensi:
- Hiryanto. 2017. Pedagogi, Andragogi dan Heutagogi Serta Implikasinya dalam Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Dinamika Pendidikan Volume XXII Nomor 1, Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY.
- Rocky Gerung. 2014. Demagogi, diakses dari https://majalah.tempo.co/read/bahasa/145788/demagogi, Tulisan dalam Majalah Tempo terbitan 7 Juli 2014.
- Rocky Gerung. 2010. Sutan Sjahrir dan Politik Pedagogi, dalam buku 'Mengenang Sjahrir', Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H