Joget ala Mathias Boe dilakukan oleh Fajar Alfian pasca menuntaskan pertandingan melawan Denmark. Skor besar 3-1 untuk Indonesia sehingga Indonesia masuk final Piala Thomas lagi.Â
Upaya untuk membawa pulang kembali lambang supremasi badminton putra ke tanah air benar-benar begitu dekat untuk diwujudkan. Dan sesungguhnya rasanya tidak ada waktu yang lebih baik daripada 17 Oktober 2021 untuk membawa pulang kembali Piala Thomas.Â
Alasan pertama, tim Piala Thomas Indonesia hadir sebagai unggulan pertama dengan 3 ganda putra dan 2 tunggal putra yang ada di 10 besar dunia.Â
Mas Vito sebagai single ketiga juga ada di posisi 19 dunia. Alasan kedua, gelaran Piala Thomas kali ini juga tidak dimeriahkan oleh pemain kondang seperti Duo Menara (China) serta dua pasangan Jepang Yuta/Endo dan Kamura/Sonoda. Yuta-nya sih ada, tapi bersama pasangan baru.
China juga tidak membawa Chen Long. Kalau dibawa terus ketemu Indonesia sebenarnya seru karena berarti Anthony Ginting vs Chen Long di MS1 dan Jonatan Christe vs Shi Yu Qi di MS2. Walaupun kedua jagoan Indonesia kalah dari keduanya pas Olimpiade tapi setidaknya pada duel ini, Indonesia ada menangnya.
Sekadar gambaran, kalau saja besok China menurunkan Shi Yu Qi, maka profilnya agak menakutkan karena di karir yang tercatat di BWF, Ginting belum pernah menang lawan Juki.
Ketika China tanpa Duo Menara dan Chen Long tetap sampai final, rasanya kok bikin heran. Ini China kagak ada jelek-jeleknya apa gimana? Di MD mereka bahkan kayak lagi kocok ulang.Â
Duo Menara nggak ada, Zhang Nan sudah nggak dibawa dan Han Chengkai pangsiun dini maka jadilah He Ji Ting/Tan Qiang sebagai MD dengan peringkat tertinggi. Sebagai gambaran, skor mereka dengan Minions itu 1-7 dan terakhir mereka menang adalah pada pertemuan pertama dengan Minions di Malaysia 2018.
Pokoknya, kalau cuma melihat peringkat, sudah jelas Indonesia di atas angin. Cuma ya, ini kan China, negoro paling yahud urusan badminton. Makanya dengan skuad model begini pun mereka tetap bisa masuk final dengan bahagia.
Kalau dirunut ketika main di laga pasti menang, China tidak memainkan SYQ. Lu Guang Zu jadi MS1. He/Tan masih main lawan Tahiti dan musuh bebuyutan Leo/Daniel di junior yakni Di/Wang jadi MD2.Â
Mulai pas lawan Belanda, China memainkan MD baru. He dipasangkan dengan Zhou Hao Dong, mantannya Han Chengkai (dulu waktu doyan ngalahin Minions, keduanya disebut pasangan cengkeh kedondong sama BL).Â
Liu Cheng yang lepas dari Zhang Nan dipasangkan dengan Wang Yi Lyu, peraih emas Olimpiade Tokyo nomor XD. Hasilnya cukup yahud. He/Zhou memang kalah lawan asuhan Mathias Boe, si Satwik dan Chirag, tapi sisanya mereka dapat poin.
Boleh dibilang, jalannya China ke final agak enteng dibanding Indonesia. China di QF ketemu Thailand. Gun memang di bawah SYQ levelnya, MD Thailand juga lagi reset. Kejutannya adalah Li Shi Feng yang seumur-umur nggak pernah menang dari anak ajaib Kunlavut Vitidsarn tiba-tiba bisa menang dengan skor afrika di game penentuan.
Di semifinal pun mereka berhadapan dengan Jepang versi tidak maksimal karena MD mereka juga reset. Finalis Kejuaraan Dunia 2019 Hoki/Kobayashi dipecah dengan menaruh Yuta Watanabe sebagai pendamping Hoki dan eksperimen itu gagal.Â
Di sisi lain, di MD2 ada nama Akira Koga dan Taichi Saito dan gagal juga memberi poin. Li Shi Feng kembali jadi bintang dengan kemenangan atas Kanta Tsuneyama. Pemain peringkat 65 yang kurang lebih seangkatan dengan Gregoria Mariska Tunjung ini harus diwaspadai terutama kalau melihat penampilannya di 2 laga terakhir.Â
Sekadar bocoran, Li Shi Feng ini juga satu angkatan WJC dengan Muhammad Rehan Diaz, suaminya Tania Oktaviani Kusumah, atlet WD yang di awal tahun 2021 degradasi dari pelatnas.
Kalau tadi itu SYQ beneran cedera sampai harus retired, mestinya dia nggak main besok. Tahun 2019, Ginting punya rekor 2-0 dengan Lu Guang Zu yang tampaknya akan jadi MS1 kalau SYQ nggak main. MD1 prediksi saya akan tetap di He/Zhou. Racikan baru ini lumayan bikin mumet walaupun sudah terbukti bahwa kalau ketemu MD yang sudah 'jadi' dan papan atas seperti Satwik/Chirag, mereka kalah juga. Ingat bahwa mereka lawan MD1 dari Thailand dan Jepang yang sifatnya juga masih baru karena satunya baru reset dan satunya gado-gado. Mestinya sih kalau ketemu Minions, Indonesia bisa tetap dapat poin.
Li Shi Feng ini harus diwaspadai sama Jojo mengingat dia lagi naik semangatnya pasca mengalahkan View. Iya, View yang sama yang membantai Jojo di babak grup. Nah, prediksi saya sih untuk MD2 yang main tetap senior gado-gado Liu/Wang walaupun Di/Wang sebenarnya lebih punya kematangan dalam bermain bersama. Tiga kemenangan sejauh ini jadi bekal bagus buat Liu/Wang. Apalagi secara personal mereka bukan abal-abal. Di AG 2018 beregu putra, Liu Cheng mengalahkan FajRi bersama Zhang Nan di partai penentuan sesudah SYQ mengalahkan Ginting dan Chen Long mengalahkan Jojo. Jadi kalau di final yang turun adalah FajRi, perlu waspada betul. Untuk MS3, secara peringkat lagi-lagi Indonesia di atas dan secara profil junior Weng Hong Yang nggak semenakutkan View, tapi lagi-lagi ini China yang rodanya di atas melulu. Waspada jelas wajib.
Dalam dua final Piala Thomas terakhir, Indonesia kalah agak nyesek. Di 2010, dalam dua laga musuh bebuyutan Indonesia kalah semua. Taufik Hidayat kalah sama Lin Dan dan Markis Kido/Hendra Setiawan kalah dari Cai Yun/Fu Haifeng.Â
Walhasil, Simon Santoso di partai ketiga mendapat beban berat dan gagal. Â Paling dekat sebenarnya di 2016 waktu kalah dengan Denmark. Duo MS kalah tapi duo MD menang. Di partai penentuan, ada Ihsan Maulana Mustofa yang masih muda belia mendapat beban melawan Hans-Kristian Vittinghus yang jelas banyak pengalaman.
Perlu diingat pula bagaimana kita kalah di semifinal Thomas Cup 2018 dari China. Ginting kalah dari Chen Long di partai perdana, SYQ mengalahkan Jojo di partai ketiga dan Duo Menara mengalahkan The Daddies di partai penentuan dengan insiden gagal buka baju yang kondang itu.Â
Dari peringkat, jelas China 2018 jauh lebih mengerikan daripada China 2021. Secara mental, Indonesia juga sudah cukup terbentuk dengan jalan terjal sejak dini.
 Kalau China segrup sama Tahiti dan Belanda yang notabene jelas jauh di bawah mereka, maka Indonesia tergabung di grup neraka. Indonesia menang lawan Thailand dan Taiwan dengan skor sangat tipis 3-2. Di QF dan semifinal pun Indonesia ketemu lawan yang juga berat dengan beban berat.
Ingat pada laga lawan Malaysia, Indonesia berangkat dengan MS1 Anthony Ginting dan MD1 Marcus/Kevin yang belum 2 minggu dikalahkan oleh lawan yang sama di Piala Sudirman.Â
Secara mental, kalau kalah bisa makin anjlok tapi kalau menang bakal sangat yahud dan hasilnya gemilang. Di semi final, Axelsen tidak perlu dihitung. Dia levelnya lagi tinggi-tingginya.Â
Tapi, kemenangan Jojo atas Antonsen menjadi titik balik yang sangat mantap apalagi mengingat belum seminggu Jojo kalah dari Kunlavut di babak penyisihan grup. Jojo tadi adalah Jojo yang selama ini kita rindukan.
Boleh jadi, lemesnya pemain putra kita di Olimpiade dan kemudian Sudirman (ingat, waktu kalah dari Malaysia di Vantaa, dua poin disumbang pemain putri semua) tampaknya memang karena ketiadaan turnamen. Begitu ada laga rutin dan beruntun, nyatanya para jagoan Indonesia masih ada pada levelnya.
Dengan segala latar belakang itu, sudah jelas bahwa tidak ada waktu yang lebih baik lagi bagi Indonesia untuk membawa pulang piala itu sekaligus memberikan gelar yang lengkap buat sang kapten Hendra Setiawan yang boleh dibilang sudah memenangi semuanya di level personal, tapi selalu ada kendala ketika berurusan dengan nomor beregu.
Yok, bisa yok!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H