Dari peringkat, jelas China 2018 jauh lebih mengerikan daripada China 2021. Secara mental, Indonesia juga sudah cukup terbentuk dengan jalan terjal sejak dini.
 Kalau China segrup sama Tahiti dan Belanda yang notabene jelas jauh di bawah mereka, maka Indonesia tergabung di grup neraka. Indonesia menang lawan Thailand dan Taiwan dengan skor sangat tipis 3-2. Di QF dan semifinal pun Indonesia ketemu lawan yang juga berat dengan beban berat.
Ingat pada laga lawan Malaysia, Indonesia berangkat dengan MS1 Anthony Ginting dan MD1 Marcus/Kevin yang belum 2 minggu dikalahkan oleh lawan yang sama di Piala Sudirman.Â
Secara mental, kalau kalah bisa makin anjlok tapi kalau menang bakal sangat yahud dan hasilnya gemilang. Di semi final, Axelsen tidak perlu dihitung. Dia levelnya lagi tinggi-tingginya.Â
Tapi, kemenangan Jojo atas Antonsen menjadi titik balik yang sangat mantap apalagi mengingat belum seminggu Jojo kalah dari Kunlavut di babak penyisihan grup. Jojo tadi adalah Jojo yang selama ini kita rindukan.
Boleh jadi, lemesnya pemain putra kita di Olimpiade dan kemudian Sudirman (ingat, waktu kalah dari Malaysia di Vantaa, dua poin disumbang pemain putri semua) tampaknya memang karena ketiadaan turnamen. Begitu ada laga rutin dan beruntun, nyatanya para jagoan Indonesia masih ada pada levelnya.
Dengan segala latar belakang itu, sudah jelas bahwa tidak ada waktu yang lebih baik lagi bagi Indonesia untuk membawa pulang piala itu sekaligus memberikan gelar yang lengkap buat sang kapten Hendra Setiawan yang boleh dibilang sudah memenangi semuanya di level personal, tapi selalu ada kendala ketika berurusan dengan nomor beregu.
Yok, bisa yok!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H