Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Berobat di Indonesia, Nyaman?

21 September 2012   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:05 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik Freez kali ini, kalau meminjam bahasa anak Twitter, benar-benar anti mainstream. Ya bagaimanapun image berobat di luar negeri itu bagus sudah terang benderang. Bahkan beberapa kenalan saya bilang kalau operasi di negeri tetangga itu lebih murah dan lebih nyaman daripada di negeri sendiri.

Nah, lantas apa nyamannya berobat di Indonesia?

Syukurlah saya nggak punya banyak pengalaman dengan Rumah Sakit. Saya memang beberapa kali berurusan dengan tempat ini, tapi nggak banyak. Sekali opname, sekali periksa ke poliklinik, beberapa kali membesuk, dan beberapa kali juga ngopeni teman dan kakek/nenek yang opname. Berikut tak bahas beberapa bagiannya ya.

UGD

Saya masuk di UGD ini sebagai pasien dan sebagai teman yang ngopeni. Sewaktu masuk UGD di sebuah RS Swasta di Palembang, saya merasakan penanganan cepat dari dokter jaga sehingga kemudian gejala vomit saya bisa reda seketika. Dokter jaga cewek itu juga tidak mempermasalahkan saya yang 'sendirian' (hanya diantar supir kantor). Segala prosedur bisa diurus oleh supir kantor sebelum siang harinya bos saya datang membereskan keadaan. *kangen bos lama* hahaha..

Kali lain saya ke UGD karena panggilan seorang teman yang masuk UGD untuk penyakit yang tidak jelas. Saya membantu ngopeni saja karena katanya waktu itu istrinya hamil muda dan hari sudah malam, jadi tugas saya sebenarnya nunggu dia dapat kamar dan mengantar istrinya pulang ke rumah. Disini saya juga merasakan bahwa ada usaha yang cukup dari pelayanan di RS untuk memberikan service terbaik pada pasiennya.

Hal yang sama juga saya rasakan ketika ada teman yang mendadak hipoglikemia, diduga kebanyakan insulin karena teman ini adalah penderita DM Tipe I. Penanganannya lumayan cepat, tapi memang yang bikin miris adalah waktu mau pasang jarum infus yang meleset berkali-kali sampai berbekas banyak. Ya, memang, memasang infus untuk orang yang tidak sadar itu jauh lebih sulit.

Obat

Nah, perkara ini yang menjadi nilai minus--bagi saya--untuk pengobatan di Indonesia. Saya apoteker, jadi saya punya kecenderungan untuk bertanya obat apa yang saya makan. Malah kadang, ini pasti gejala tenaga kesehatan lain juga, ngeyel nggak perlu makan suatu obat. Orang kalau sudah tahu itu justru banyak ngeyelnya. Masih jarang perawat yang memberi obat untuk menjelaskan khasiat dari obat-obat yang diminum oleh pasien. Tapi, kalau ditanya, ada juga kok perawat yang baik hati memberi tahu dan menjelaskan soal ini kepada pasiennya.

Soal obat ini juga, saya punya cerita menarik. Ketika opname, saya ditanya dokter--karena tahu saya apoteker--"mau obat dari pabrikmu atau obat basing basing?". Saya dengan pede dan penuh percaya diri mengambil opsi pertama tanpa sadar kalau obat-obatan itu nggak masuk list obat yang ditanggung asuransi. Hahahaha.. Jadilah saya membayar obat-obatan itu sendiri :)

Pelayanan Rohani

Nah, kalau yang ini saya rasakan benar. Di berbagai RS yang pernah saya datangi baik sebagai pasien, penunggu, maupun pengunjung, ada sebagian yang memberi pelayanan khusus dari aspek rohani. Ada jam-jam khusus berdoa per pasien. Bahkan sesekali ada pemuka agama yang datang (juga per pasien) untuk memberikan pelayanan rohani berupa doa guna kesembuhan pasien.

Baik sebagai pasien, penunggu, maupun pengunjung, saya merasakan ademnya sebuah doa.

Tenaga Pelayanan

Seluruh tenaga kesehatan yang ada di tempat berobat adalah juga manusia. Pasien juga manusia. Semuanya punya kepentingan. Seperti pernah saya ceritakan di Kompasiana juga, saya juga pernah bete abis ketika melayani di Balai Kesehatan bertarif Rp. 2500 (plus obat) karena mendengar pasien berkata:

"Itu nomor 25 udah dilayani, saya nomor 24 kok belum?" (Padahal resep nomor 24 itu pulveres/puyer 90 bungkus, untuk apoteker yang nggak rutin bikin sediaan ini, jumlah 90 bisa bikin mati berdiri *hiperbola*)

"Lama amat sih?" (Padahal isi resepnya obat 5 macam, dan butuh pengolahan sedikit sebelum bisa diberikan ke pasien)

"Bisa diduluin nggak?" (Ini hakikat manusia kali ya, semuanya ingin didahulukan, tapi karena semua ingin didahulukan siapa yang duluan dong?)

"Kok obatnya dikit?" (Ini kadang bikin speechless lha wong resepnya segitu kok ya mau ditambahin?)

Saya selalu yakin bahwa tenaga kesehatan yang ada di seluruh tempat pengobatan punya keinginan untuk melayani maksimal. Beberapa dari tenaga kesehatan itu punya sumpah sendiri yang harus ditaati karena kaitannya dengan Tuhan. Hanya, sebagai manusia, pasti ada kekurangan. Mungkin pula sedang ada masalah lain, sehingga mengganggu fokus pelayanan, tapi apapun pelayanan maksimal itu adalah niatan utama. Saya selalu percaya hal ini.

Saya nggak bisa membandingkan dengan yang terjadi di luar negeri. Okelah secara teoritis saya mengenal bahwa di luar negeri, sesuatu yang bernama asuhan kefarmasian alias pharmaceutical care itu sudah semakin menggema sehingga pasien dan apoteker punya komunikasi bagus. Yang saya tahu hal ini sudah mulai diterapkan di beberapa RS di Indonesia. Karena nggak bisa membandingkan, makanya saya cuma bercerita dari yang saya alami saja baik sebagai pasien, penunggu, pengunjung, hingga sebagai tenaga kesehatan.

Memang harus diakui bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki dari sistem kesehatan di Indonesia. Dan itu adalah tugas kita bersama agar menjadi sama-sama nyaman :)

Salam!

ditulis malam-malam, dipublish siang-siang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun