Sedikit kritik soal detail, selain yang sudah saya sampaikan dengan menyelip-nyelip di atas, ada beberapa lagi nih. Ketika adegan di Jakarta, pas menyorot Bundaran HI, disitu nongol bis TransJakarta. Sayangnya, namanya juga koridor 1, maka bis yang lewat adalah bis jenis gandeng Tiongkok edisi baru, padahal itu kan tahun 2006. Ya maksud saya kan TransJakarta-nya tidak perlu ada juga toh? Masih di scene yang berdekatan ada gambar salah satu pemain sedang memasang headset. Sedikit berlogika saja, waktu itu harga MP3 player di Jogja (tahun 2006) sama mahalnya dengan sepatu bola. Kalau sepatu bola saja mereka nabung lama, masak sih beli MP3 player dan pakai headset model itu pula. Saya nggak bisa mendeskripsikan ‘itu’ jadi saksikan sendiri deh.
Sama satu lagi, kalau Salembe tampil memukau, demikian pula Jago dan Alfin, saya justru agak kecewa dengan Kasim. Peran kiper di berbagai film sepakbola memang kebanyakan kurang maksimal, dan itu pula yang tampak pada Kasim. Bukan soal akting-nya, tapi soal berdirinya yang tidak pakai kuda-kuda. Kiper yang baik kalau berdiri ya dengan posisi kuda-kuda, apalagi ketika bola mendekat. Terkesan kurang krusial, tapi ya nyatanya penyakit film sepakbola ya seperti itu. Kalaulah ada kiper yang pakai kuda-kuda baik di film, saya malah hanya lihat itu di Shaolin Soccer saja.
Oh, terakhir nih, agak kurang penting sih. Saya cuma mau bilang kalau penampilan Chico Jericho di film ini mirip Nil Maizar, tapi versi gondrong. Overall, “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” adalah film layak tonton bagi siapapun. Bagi yang sedang berantem soal agama, sedang berantem soal suku, sedang liburan sekolah, sedang pengen lihat Chico Jericho lagi gondrong, dan sedang-sedang lainnya. Jadi, segera pergi ke bioskop dan saksikan!
sumber foto: www.cahayadaritimur.com
Tulisan ini adalah versi singkat dari yang saya tulis di blog saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H