Kemaren saya menghadiri penayangan perdana film “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” di Plaza Senayan, sekaligus baru tahu kalau pas premier itu ternyata banyak artis berseliweran. Selayang pandang ada Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan, Dion Wiyoko, Laudya Chyntia Bella, Erwin Gutawa, Harvey Malaiholo (saya hampir saya mendatangi dia kan bertanya kenapa CF nggak lolos 5 besar Golden Voice tujuh tahun yang lalu), Pandji, dan artis-artis lainnya yang saya tidak kenal, dan tentu saja nggak kenal saya, apalagi kenal OOM ALFA.
Ah, sudahlah, tanpa berpanjang-panjang mari kita mulai review-nya.
Film ini mengambil sudut pandang Sani Tawainela, seorang tukang ojek–nantinya diperankan oleh Chico Jericho. Ya, sebenarnya bukan tukang ojek biasa karena di masa remajanya dia pernah memperkuat tim nasional pelajar Indonesia yang berlaga di Brunei. Laga sepakbola di tengah hujan, ketika Sani menjadi antagonis karena menjadi pemain-pengganti-yang-malah-bikin-penalti, adalah awal dari film ini. Sejatinya, memang banyak anak-anak yang di masa kecilnya jago bola tapi kemudian tidak bisa meneruskan kariernya di lapangan hijau karena aneka alasan.
Scene kemudian lompat ke tahun 2000 ketika konflik Ambon. Siapa yang tidak ingat salah satu konflik terparah di era modern negeri Merah Putih itu? Sutradara Angga Sasongko mengambil sisi Sani sebagai orang Tulehu yang pergi ke Ambon untuk mencari terigu. So simple. Sani lantas terjebak di tengah konflik sebelum kemudian diselamatkan oleh TNI. Ada bagian bagus ketika Sani dan figuran TNI berdialog singkat tentang ‘terima kasih’ dan ‘sama-sama’, tidak ada kesan TNI garang. Cool.
Sani melihat bahwa anak-anak tidak seharusnya ada di tengah konflik dan kemudian mencoba menggunakan sepakbola sebagai distraksi anak-anak tersebut. Dia kemudian mengajak eks rekan satu tim-nya, Rafi, untuk mengajak anak-anak itu berlatih. Sembari melatih, Sani juga mengumpulkan anak-anak berbakat, salah duanya dalam diri Kasim dan Salembe. Konflik Ambon tidak terlalu mengemuka sejak bagian ini karena yang lebih menonjol adalah konflik rumah tangga Sani dan Haspa karena Sani lebih memilih untuk melatih sepakbola (gratisan) daripada ngojek.
Buat penggemar sepakbola lokal, pasti akan merasa familiar dengan dialog yang menyebut nama. Pada dialog ketika Sani memanggil nama-nama seperti Alfin Tuassalamony, Rizky Pellu, dan Hendra Adi Bayaw, mestinya penggemar sepakbola akan berpikir ‘oh ternyata begitu to’. Ya, seperti yang dibilang di segala promosi film ini, diangkat dari kisah nyata sehingga pemain-pemainnya ya nyata semua. Hal bagus untuk sebuah film sepakbola bagi saya karena memang lebih seru menonton film jenis ini yang diangkat dari kisah nyata. Itu dia kenapa kisah Goal tidak menarik perhatian saya.
Konflik di dalam film ini memainkan amplitudo tersendiri. Naik turun konflik dimainkan seolah lurus setidaknya dalam 1 jam pertama. Kalau kita tidak menikmati sisi lain film berupa dialog dalam bahasa Maluku, kemungkinan untuk kabur setengah jalan bisa saja terjadi.
Ada satu tokoh yang menarik perhatian saya dalam film ini, namanya Pangana. Sosoknya sudah ada sejak era Sani tobat main bola sampai pada akhirnya. Jika menonton film ini, perhatikan sosok Pangana, dan kalian akan tertawa hingga terharu melihatnya. Pangana adalah salah satu nilai plus dari saya untuk film ini.
Konflik Ambon pada dasarnya digunakan sebagai dasar film ini saja, karena separo berikut dari film adalah jatah konflik pertemanan, sepakbola, dan rumah tangga. Terkadang jadi membingungkan karena konflik-konflik itu digabung dalam satu plot yang berdekatan. Semoga anak-anak masih bisa mencerna konflik itu karena bagaimanapun film ini REKOMENDASI BAGUS untuk disaksikan oleh anak-anak dalam liburan sekolahnya.
Angga dan Chico cukup mampu memainkan emosi dalam beberapa adegan. Ketika Haspa mengeluh soal Sani yang memperhatikan anak orang dan tidak memperhatikan anak sendiri, itu mulai menaikkan emosi. Apalagi ditambah ketika Sani meminjamkan uang pada Salembe di saat anaknya mau imunisasi. Dan sayangnya sejurus kemudian muncul konflik pertemanan antara Rafi dan Sani yang berujung pecah kongsi, sehingga jadi pusing karena konflik semua. Sekali lagi, karena saya mencoba berpikir dari sisi remaja. Mungkin juga remaja sekarang punya pola pikir yang berbeda, siapa tahu?
Saya sendiri tidak menduga bahwa Yosef akan punya peran yang sangat penting di kelanjutan cerita ketika tahu-tahu dia nongol di pos ojek Sani. Nah, Yosef ini menjadi penting karena dia yang kemudian memberi link perihal konflik agama. Ya, ketika Kristen dan Islam seharusnya bisa bersatu di Maluku. Well, menyimak dialog Yosef dan Pak Kepala Sekolah, rasanya saya pengen memperdengarkan itu kepada orang-orang yang menyerang umat agama lain yang sedang beribadah. Dan secara umum, seharusnya mereka menyimak film ini dari awal sampai akhir untuk mengetahui bahwa konflik itu sama sekali nggak berguna.
Guliran cerita kemudian memunculkan sosok bijak bernama Sufyan. Ya, saya tahu sih kalau Sufyan ini menjadi peredam, tapi tetap kemunculannya cukup aneh. Tahu-tahu nongol dari warung kopi Mama Alfin, dan langsung ngomong resolusi konflik. Saya sebagai penonton lebih ngeh sosoknya sebagai Glenn. Penjelasan umum soal sosok Sufyan ini baru muncul di adegan-adegan berikutnya, dan kemunculannya jadi aneh lagi di beberapa scene lanjutan. Intinya, sosok Sufyan ini yang kemudian mengantarkan cerita ke tataran berikutnya yakni saat tim Maluku akan ikut Indonesia Cup U-15 di Jakarta.
Permainan tempo yang cukup baik ditampilkan ketika adegan Sani dapat sumbangan untuk berangkat ke Jakarta dari Papa Jago, lalu dari pendeta, hingga kemudian orang-orang lain, persis di depan rumahnya. Penonton pasti mengira duit untuk berangkat ke Jakarta sampai kemudian muncul adegan yang berhubungan dengan kambing dan dilanjutkan emosi Haspa. Apa itu? Saksikan sendiri ya!
Puncak dari film ini tentu saja perjuangan di Jakarta. Well, sekali lagi konfliknya naik turun. Kekalahan dari DKI di pertandingan pertama, konflik antar pemain, konflik Sani dan Haspa, tahu-tahu munculnya Sufyan hingga kekalahan di babak 1 pertandingan kedua. Rentetan konflik-konflik ini kadang membuat saya lelah. Mungkin karena nontonnya sudah malam dan berpikir pulangnya bakal naik apa, sih. Film ini kemudian mencapai titik balik di ruang ganti menuju babak 2 pertandingan kedua. Disinilah kemudian muncul soal “BETA MALUKU!”
Bagian ini sungguh menggugah jiwa, khususnya pada bagian ‘beta bukan tulehu, bukan passo, bukan Kristen, bukan Islam, tapi beta MALUKU’. Benar-benar sangat menggugah jiwa nasionalisme. Sekali lagi, jangan pandang ini sebagai kedaerahan, pandanglah dari sisi yang lebih universal bahwa kita tidak terbatas pada suku dan agama, tapi pada sesuatu yang lebih besar yang kita bela.
Dari rentetan konflik sejak menjelang berangkat sampai akhir, sosok Salembe alias Salim Ohorella cukup menjadi fokus. Bebeto sang pemeran bisa memainkan peran dengan sangat baik untuk bikin orang emosi. Caranya mirip dengan si bocah di Soegija yang juga mampu memainkan peran yang sejenis.
Satu lagi yang harus kita saksikan dari film ini adalah bagian terakhir ketika di final tayangan bagian adu penalti distop sama TV. Ya maklum sepakbola anak-anak tahun segitu siapa juga yang mau menyiarkan kalau nggak dibayar. Beda sama Evan Dimas, dkk jaman sekarang. Menyikapi ketidakbisaan menyaksikan adu penalti, ternyata orang-orang Maluku punya solusi. Apa itu? Saksikan sendiri pokoknya! Ini keren banget untuk disaksikan!
Ending dari film ini sudah jelas, Maluku juara. Bukan apa-apa, Piala Medco 2006 memang dijuarai oleh Maluku yang menang adu penalti. Ada beberapa perbedaan skor, tapi kan namanya juga film. Menyebut ending-nya gampang, tapi perjalanan menuju ending itu yang patut dicermati. Apalagi kita tahu bahwa ini adalah kisah nyata.
Sedikit kritik soal detail, selain yang sudah saya sampaikan dengan menyelip-nyelip di atas, ada beberapa lagi nih. Ketika adegan di Jakarta, pas menyorot Bundaran HI, disitu nongol bis TransJakarta. Sayangnya, namanya juga koridor 1, maka bis yang lewat adalah bis jenis gandeng Tiongkok edisi baru, padahal itu kan tahun 2006. Ya maksud saya kan TransJakarta-nya tidak perlu ada juga toh? Masih di scene yang berdekatan ada gambar salah satu pemain sedang memasang headset. Sedikit berlogika saja, waktu itu harga MP3 player di Jogja (tahun 2006) sama mahalnya dengan sepatu bola. Kalau sepatu bola saja mereka nabung lama, masak sih beli MP3 player dan pakai headset model itu pula. Saya nggak bisa mendeskripsikan ‘itu’ jadi saksikan sendiri deh.
Sama satu lagi, kalau Salembe tampil memukau, demikian pula Jago dan Alfin, saya justru agak kecewa dengan Kasim. Peran kiper di berbagai film sepakbola memang kebanyakan kurang maksimal, dan itu pula yang tampak pada Kasim. Bukan soal akting-nya, tapi soal berdirinya yang tidak pakai kuda-kuda. Kiper yang baik kalau berdiri ya dengan posisi kuda-kuda, apalagi ketika bola mendekat. Terkesan kurang krusial, tapi ya nyatanya penyakit film sepakbola ya seperti itu. Kalaulah ada kiper yang pakai kuda-kuda baik di film, saya malah hanya lihat itu di Shaolin Soccer saja.
Oh, terakhir nih, agak kurang penting sih. Saya cuma mau bilang kalau penampilan Chico Jericho di film ini mirip Nil Maizar, tapi versi gondrong. Overall, “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” adalah film layak tonton bagi siapapun. Bagi yang sedang berantem soal agama, sedang berantem soal suku, sedang liburan sekolah, sedang pengen lihat Chico Jericho lagi gondrong, dan sedang-sedang lainnya. Jadi, segera pergi ke bioskop dan saksikan!
sumber foto: www.cahayadaritimur.com
Tulisan ini adalah versi singkat dari yang saya tulis di blog saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H