Mohon tunggu...
Alexander Arie
Alexander Arie Mohon Tunggu... Administrasi - Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Penulis OOM ALFA (Bukune, 2013) dan Asyik dan Pelik Jadi Katolik (Buku Mojok, 2021). Dapat dipantau di @ariesadhar dan ariesadhar.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[Review] Cahaya dari Timur: Beta Maluku

18 Juni 2014   18:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:15 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angga dan Chico cukup mampu memainkan emosi dalam beberapa adegan. Ketika Haspa mengeluh soal Sani yang memperhatikan anak orang dan tidak memperhatikan anak sendiri, itu mulai menaikkan emosi. Apalagi ditambah ketika Sani meminjamkan uang pada Salembe di saat anaknya mau imunisasi. Dan sayangnya sejurus kemudian muncul konflik pertemanan antara Rafi dan Sani yang berujung pecah kongsi, sehingga jadi pusing karena konflik semua. Sekali lagi, karena saya mencoba berpikir dari sisi remaja. Mungkin juga remaja sekarang punya pola pikir yang berbeda, siapa tahu?

Saya sendiri tidak menduga bahwa Yosef akan punya peran yang sangat penting di kelanjutan cerita ketika tahu-tahu dia nongol di pos ojek Sani. Nah, Yosef ini menjadi penting karena dia yang kemudian memberi link perihal konflik agama. Ya, ketika Kristen dan Islam seharusnya bisa bersatu di Maluku. Well, menyimak dialog Yosef dan Pak Kepala Sekolah, rasanya saya pengen memperdengarkan itu kepada orang-orang yang menyerang umat agama lain yang sedang beribadah. Dan secara umum, seharusnya mereka menyimak film ini dari awal sampai akhir untuk mengetahui bahwa konflik itu sama sekali nggak berguna.

Guliran cerita kemudian memunculkan sosok bijak bernama Sufyan. Ya, saya tahu sih kalau Sufyan ini menjadi peredam, tapi tetap kemunculannya cukup aneh. Tahu-tahu nongol dari warung kopi Mama Alfin, dan langsung ngomong resolusi konflik. Saya sebagai penonton lebih ngeh sosoknya sebagai Glenn. Penjelasan umum soal sosok Sufyan ini baru muncul di adegan-adegan berikutnya, dan kemunculannya jadi aneh lagi di beberapa scene lanjutan. Intinya, sosok Sufyan ini yang kemudian mengantarkan cerita ke tataran berikutnya yakni saat tim Maluku akan ikut Indonesia Cup U-15 di Jakarta.

Permainan tempo yang cukup baik ditampilkan ketika adegan Sani dapat sumbangan untuk berangkat ke Jakarta dari Papa Jago, lalu dari pendeta, hingga kemudian orang-orang lain, persis di depan rumahnya. Penonton pasti mengira duit untuk berangkat ke Jakarta sampai kemudian muncul adegan yang berhubungan dengan kambing dan dilanjutkan emosi Haspa. Apa itu? Saksikan sendiri ya!

Puncak dari film ini tentu saja perjuangan di Jakarta. Well, sekali lagi konfliknya naik turun. Kekalahan dari DKI di pertandingan pertama, konflik antar pemain, konflik Sani dan Haspa, tahu-tahu munculnya Sufyan hingga kekalahan di babak 1 pertandingan kedua. Rentetan konflik-konflik ini kadang membuat saya lelah. Mungkin karena nontonnya sudah malam dan berpikir pulangnya bakal naik apa, sih. Film ini kemudian mencapai titik balik di ruang ganti menuju babak 2 pertandingan kedua. Disinilah kemudian muncul soal “BETA MALUKU!”

Bagian ini sungguh menggugah jiwa, khususnya pada bagian ‘beta bukan tulehu, bukan passo, bukan Kristen, bukan Islam, tapi beta MALUKU’. Benar-benar sangat menggugah jiwa nasionalisme. Sekali lagi, jangan pandang ini sebagai kedaerahan, pandanglah dari sisi yang lebih universal bahwa kita tidak terbatas pada suku dan agama, tapi pada sesuatu yang lebih besar yang kita bela.

Dari rentetan konflik sejak menjelang berangkat sampai akhir, sosok Salembe alias Salim Ohorella cukup menjadi fokus. Bebeto sang pemeran bisa memainkan peran dengan sangat baik untuk bikin orang emosi. Caranya mirip dengan si bocah di Soegija yang juga mampu memainkan peran yang sejenis.

Satu lagi yang harus kita saksikan dari film ini adalah bagian terakhir ketika di final tayangan bagian adu penalti distop sama TV. Ya maklum sepakbola anak-anak tahun segitu siapa juga yang mau menyiarkan kalau nggak dibayar. Beda sama Evan Dimas, dkk jaman sekarang. Menyikapi ketidakbisaan menyaksikan adu penalti, ternyata orang-orang Maluku punya solusi. Apa itu? Saksikan sendiri pokoknya! Ini keren banget untuk disaksikan!

Ending dari film ini sudah jelas, Maluku juara. Bukan apa-apa, Piala Medco 2006 memang dijuarai oleh Maluku yang menang adu penalti. Ada beberapa perbedaan skor, tapi kan namanya juga film. Menyebut ending-nya gampang, tapi perjalanan menuju ending itu yang patut dicermati. Apalagi kita tahu bahwa ini adalah kisah nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun