Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia membuat keputusan yang cukup kontroversial dengan menyelenggarakan upacara kemerdekaan di dua lokasi, yakni Jakarta dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Kebijakan ini memunculkan perdebatan publik mengenai urgensi dan relevansinya. Di satu sisi, keputusan ini dianggap sebagai simbol transisi dan afirmasi terhadap IKN sebagai pusat pemerintahan yang baru. Namun, di sisi lain, banyak yang mempertanyakan efisiensi, makna, serta dampak sosial-ekonomi dari keputusan tersebut.Â
Urgensi upacara kemerdekaan di dua tempat dapat dilihat dari perspektif simbolisme nasional. Upacara kemerdekaan Indonesia, yang selama ini identik dengan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, memiliki nilai historis dan emosional yang kuat bagi bangsa Indonesia. Monas bukan sekadar sebuah bangunan, melainkan simbol perjuangan kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Pindahnya sebagian upacara ke IKN Nusantara bisa dianggap sebagai pengalihan makna dari simbol nasional yang sudah tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat.Â
IKN, meskipun dirancang sebagai simbol masa depan Indonesia, belum memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan perjuangan kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, urgensi untuk memindahkan upacara kemerdekaan ke IKN patut dipertanyakan. Apakah dengan melakukan ini, kita berisiko mengurangi penghargaan terhadap sejarah dan perjuangan panjang yang telah dilakukan oleh para pahlawan kita? Selain itu, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa Jakarta masih merupakan pusat ekonomi, budaya, dan politik yang berakar dalam sejarah Indonesia. Dengan demikian, upacara di dua tempat bisa mengaburkan simbolisme nasional yang seharusnya dipertahankan.
Dari segi sosial-ekonomi, penyelenggaraan upacara kemerdekaan di dua lokasi menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi penggunaan anggaran negara. Jika upacara kemerdekaan dipaksakan untuk dilaksanakan di dua lokasi, akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk memastikan infrastruktur sementara tersedia, serta untuk pengamanan, transportasi, dan akomodasi bagi ribuan orang yang akan terlibat dalam acara tersebut. Biaya yang diperlukan untuk mengadakan dua upacara besar tentu tidak sedikit, terutama di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program yang lebih mendesak, seperti penanganan kemiskinan atau perbaikan infrastruktur, justru dialokasikan untuk upacara simbolis.Â
Dalam hal ini, urgensi untuk mempertahankan tradisi di Jakarta sekaligus memperkenalkan IKN sebagai pusat pemerintahan baru menjadi kurang relevan ketika mempertimbangkan keterbatasan anggaran dan prioritas nasional yang lebih mendesak. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di IKN sendiri masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk minimnya sumber daya manusia dan logistik yang memadai. Mengalihkan sebagian anggaran untuk upacara kemerdekaan di IKN sangat tidak bijak dalam konteks ini.
Lebih lanjut, keputusan untuk mengadakan upacara di dua tempat juga dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi politik pemerintah. Pemerintah ingin menegaskan bahwa IKN Nusantara bukan hanya proyek infrastruktur semata, tetapi juga simbol perubahan dan komitmen terhadap masa depan Indonesia. Namun, langkah ini bisa dianggap sebagai tindakan yang terburu-buru dan kurang mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Mengingat bahwa IKN masih dalam tahap pengembangan awal, mengadakan upacara di sana bisa dilihat sebagai upaya untuk memaksakan legitimasi yang mungkin belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat luas. Bahkan, ada risiko bahwa sebagian masyarakat akan merasa teralienasi dari proses pemindahan ibu kota, terutama mereka yang masih merasa Jakarta sebagai pusat segalanya. Komunikasi politik yang kurang matang ini justru bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan pencitraan daripada esensi dari kemerdekaan itu sendiri.
Selanjutnya, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang makna keberlanjutan (sustainability) dari penyelenggaraan upacara di dua tempat. Salah satu argumen yang mendukung IKN adalah bahwa kota ini akan menjadi pusat pemerintahan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Namun, penyelenggaraan upacara kemerdekaan di dua tempat memerlukan mobilisasi besar-besaran, termasuk transportasi pejabat, persiapan infrastruktur sementara, dan konsumsi energi yang lebih tinggi. Hal ini berpotensi menimbulkan jejak karbon yang lebih besar, bertentangan dengan tujuan keberlanjutan yang sering disebutkan sebagai salah satu alasan utama pemindahan ibu kota. Dengan demikian, urgensi untuk mengadakan upacara di IKN menjadi kurang jelas ketika dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan kota yang lebih berkelanjutan.
Dalam hal legitimasi dan penerimaan publik, urgensi penyelenggaraan upacara di dua tempat juga patut dipertanyakan. Meskipun pemerintah berupaya untuk menunjukkan komitmen terhadap IKN sebagai ibu kota baru, tidak dapat diabaikan bahwa masih ada keraguan di kalangan masyarakat mengenai proyek ini. Sebuah survei yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa tidak semua lapisan masyarakat mendukung pemindahan ibu kota.Â
Mengingat hal ini, penyelenggaraan upacara di IKN bisa dianggap sebagai langkah yang prematur dan berisiko menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada upaya untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan publik terhadap IKN melalui dialog dan partisipasi yang lebih inklusif, daripada mengadakan upacara simbolis yang mungkin tidak memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan publik.
Daripada memindahkan seluruh upacara ke IKN, alternatif yang lebih bijaksana adalah mengadakan acara tambahan di IKN yang melibatkan masyarakat lokal dan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pembangunan IKN tanpa mengorbankan nilai sejarah dan simbolisme yang ada di Jakarta. Misalnya, upacara peringatan yang lebih kecil atau acara budaya yang melibatkan warga setempat bisa diadakan di IKN sebagai bagian dari perayaan nasional.
Selain itu, pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk memberikan update transparan tentang perkembangan IKN kepada masyarakat, menunjukkan kemajuan nyata yang telah dicapai dan tantangan yang masih dihadapi. Ini tidak hanya akan menjaga keterlibatan publik, tetapi juga menekankan bahwa pembangunan IKN adalah proses yang membutuhkan waktu, sumber daya, dan dukungan berkelanjutan dari seluruh bangsa.
Pada akhirnya, urgensi penyelenggaraan upacara kemerdekaan di dua tempat, Jakarta dan IKN, tampaknya lebih bersifat simbolis daripada substansial. Meskipun upaya untuk menegaskan posisi IKN sebagai ibu kota baru dapat dipahami, langkah ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan tentang makna simbolisme nasional, efisiensi penggunaan anggaran, komunikasi politik, dampak sosial, dan keberlanjutan.Â
Dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi, keputusan untuk mengadakan upacara di dua tempat tampaknya belum sepenuhnya matang dan membutuhkan pertimbangan yang lebih mendalam. Lebih bijaksana jika pemerintah memprioritaskan penguatan fondasi IKN sebagai pusat pemerintahan baru melalui program-program yang lebih konkret dan partisipatif, sebelum mengalihkan upacara kemerdekaan ke sana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H