Di era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang pesat, dunia akademik mengalami transformasi signifikan. Salah satu aspek yang mengalami perubahan adalah publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah menjadi indikator utama dalam menilai kualitas seorang dosen dan institusi pendidikan tinggi. Di Indonesia, terdapat fenomena yang meresahkan yaitu banyaknya dosen yang mempublikasikan karya ilmiah di jurnal predator untuk mendapatkan gelar Professor. Fenomena ini tidak hanya merusak kredibilitas akademisi dan institusi pendidikan tinggi, tetapi juga mengancam integritas ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jurnal predator adalah jurnal yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah tetapi tidak mengikuti standar akademik yang ketat. Mereka sering kali mengenakan biaya publikasi yang tinggi, tidak melakukan peer-review yang memadai, dan memiliki tingkat penerimaan artikel yang sangat tinggi tanpa mempertimbangkan kualitas. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas akademik dan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut artikel yang ditulis oleh Machacek dan Srholec, Indonesia adalah salah satu negara yang menyumbang 16,73% artikel di jurnal predator dari semua artikel yang dipublikasikan oleh institusi di Indonesia pada tahun 2015-2017. Persentase ini hanya terpaut 0,27% dari negara dengan persentase tertinggi, yaitu Kazakhstan, yang memproduksi 17% artikel di jurnal predator. Menariknya, jurnal-jurnal predator ini juga terindeks di Scopus, basis data yang sering digunakan oleh peneliti di Indonesia.
Menurut artikel yang ditulis oleh Machacek dan Srholec, Indonesia adalah salah satu negara yang menyumbang 16,73% artikel di jurnal predator dari semua artikel yang dipublikasikan oleh institusi di Indonesia pada tahun 2015-2017. Persentase ini hanya terpaut 0,27% dari negara dengan persentase tertinggi, yaitu Kazakhstan, yang memproduksi 17% artikel di jurnal predator. Menariknya, jurnal-jurnal predator ini juga terindeks di Scopus, basis data yang sering digunakan oleh peneliti di Indonesia.
Dorongan untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal predator salah satunya berasal dari tekanan untuk mencapai gelar akademik yang lebih tinggi. Di Indonesia, untuk menjadi seorang Profesor, seorang dosen harus memiliki sejumlah publikasi di jurnal internasional bereputasi. Standar ini bertujuan untuk memastikan bahwa akademisi Indonesia memiliki kontribusi signifikan dalam penelitian global. Namun, dalam praktiknya, standar ini malah menjadi beban yang berat dan menciptakan tekanan luar biasa bagi dosen yang ingin naik pangkat.
Selain itu, sistem penilaian kinerja dosen di banyak institusi pendidikan tinggi di Indonesia sangat menekankan pada kuantitas daripada kualitas publikasi. Banyak dosen merasa terpaksa untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka secepat mungkin agar dapat memenuhi target kuantitas yang ditetapkan oleh institusi mereka. Dalam konteks ini, jurnal predator menawarkan solusi cepat dan mudah untuk mencapai target tersebut. Tanpa proses review yang ketat, karya ilmiah bisa diterima dan dipublikasikan dalam waktu singkat, memungkinkan dosen untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat.
Namun, konsekuensi dari publikasi di jurnal predator sangat merugikan. Hal tersebut merusak integritas akademik. Karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal predator sering kali tidak melalui proses peer-review yang memadai, sehingga kualitas dan validitas penelitian tersebut sangat diragukan. Publikasi semacam ini tidak hanya merugikan reputasi individu dosen, tetapi juga mencemari reputasi institusi pendidikan tinggi di mana mereka bekerja. Ketika dosen dari sebuah universitas banyak mempublikasikan karya ilmiah di jurnal predator, hal ini dapat merusak reputasi universitas tersebut di mata komunitas akademik internasional.
Fenomena ini juga berdampak negatif pada kualitas pendidikan. Dosen yang lebih fokus pada kuantitas publikasi daripada kualitas penelitian cenderung kurang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan yang sejati. Mahasiswa yang belajar dari dosen-dosen ini mungkin tidak mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang metodologi penelitian yang baik dan etika akademik yang benar. Akibatnya, lulusan yang dihasilkan mungkin tidak siap untuk menghadapi tantangan di dunia akademik dan industri yang semakin kompetitif.
Konsekuensi selanjutnya yaitu adanya implikasi finansial yang signifikan. Biaya publikasi di jurnal predator sering kali sangat tinggi. Dosen yang ingin mempublikasikan karya ilmiah mereka di jurnal ini harus mengeluarkan dana pribadi atau menggunakan dana institusi. Pengeluaran ini pada akhirnya bisa menjadi beban keuangan yang tidak perlu bagi dosen dan institusi, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kegiatan akademik lainnya yang lebih produktif dan bermakna.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah strategis perlu diambil oleh berbagai pihak terkait. Pertama, institusi pendidikan tinggi perlu meninjau ulang sistem penilaian kinerja dosen. Alih-alih hanya menekankan pada kuantitas publikasi, institusi harus memberikan penghargaan yang lebih besar pada kualitas penelitian dan kontribusi nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Evaluasi kinerja yang lebih holistik, yang mencakup pengajaran, bimbingan mahasiswa, dan keterlibatan dalam kegiatan komunitas, akan lebih adil dan realistis.
Kedua, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu memberikan panduan yang jelas dan tegas mengenai publikasi ilmiah. Pemerintah bisa menyusun daftar jurnal bereputasi dan jurnal predator yang harus dihindari. Selain itu, pelatihan dan workshop mengenai etika publikasi dan metodologi penelitian yang baik harus diselenggarakan secara rutin untuk meningkatkan kapasitas dosen.
Ketiga, kolaborasi internasional harus ditingkatkan. Dosen-dosen Indonesia harus didorong untuk berkolaborasi dengan peneliti-peneliti internasional yang memiliki reputasi baik. Kolaborasi semacam ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas penelitian, tetapi juga membantu dosen-dosen Indonesia memahami standar dan etika penelitian yang berlaku secara global.
Keempat, peran asosiasi profesi dan komunitas akademik sangat penting. Asosiasi profesi dapat berperan sebagai pengawas independen yang memonitor publikasi ilmiah dan memberikan rekomendasi atau sanksi terhadap praktik-praktik yang tidak etis. Komunitas akademik, baik di tingkat nasional maupun internasional, harus lebih proaktif dalam mengedukasi anggotanya tentang bahaya jurnal predator dan pentingnya menjaga integritas akademik.
Terakhir, individu dosen itu sendiri harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi terhadap etika akademik. Meskipun tekanan untuk mempublikasikan karya ilmiah sangat besar, dosen harus selalu mengutamakan kualitas dan integritas dalam setiap penelitian yang mereka lakukan. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan tentang etika publikasi dan penelitian harus menjadi bagian dari pengembangan profesional dosen.
Fenomena publikasi ilmiah di jurnal predator adalah cerminan dari kompleksitas masalah dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolektif dan komprehensif dari semua pihak terkait. Dengan langkah-langkah yang tepat, integritas akademik dapat dipertahankan dan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia dapat terus meningkat. Masa depan pendidikan tinggi di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita menyikapi dan mengatasi tantangan ini dengan bijaksana dan berintegritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H