Mohon tunggu...
Arief Setiawan
Arief Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

pecinta kegilaan http://arieflmj.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bergosip Bersama Mahatma Gandhi

12 Februari 2011   18:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_89705" align="aligncenter" width="320" caption=""][/caption]

Satyagraha merupakan tindakan utama kejujuran.” Mahatma gandhi.

Malam sangat melelahkan. Pikiran ku terbang melayang tak tentu arah. Tubuh ini sejatinya masih bugar, tapi pikiran membuatku sangat lelah menghadapi hari tanpa kepastian. Bukan karena banyak pikiran ketika siang, tapi apa yang ku lihat dan dengar di media massa membuat ku terpaku. Apalagi kalau bukan soal kekerasan yang melanda negeri ini.

“Aku tak ingin negeri yang kucinta ini seperti Sudan. Pecah karena intoleransi,” gumam ku dalam hati.

Meski demikian, malam tetap memaksa ku untuk tak terus berpikir. Ya, aku harus beristirahat untuk sejenak melupakan kejadian beberapa hari ini. Aku pun menyerah, hari harus terus berlanjut untuk menggenapi apa yang akan terjadi kelak. tanpa basa-basi, aku pun terlelap di bawah atap tanpa sorot lampu kamar.

Dalam tidur aku bermimpi tentang acara gosip yang sedari dulu marak disuguhkan ke pemirsa. Namun, ini bukan seperti acara gosip selebritis. Bukan juga pembicaraan tentang gosip yang sedang hangat di kalangan artis. Sekedar gosip jalanan atau dalam bahasa jawa disebut rasan-rasan. Wow...ternyata aku lagi rasan-rasan dengan Mahatma Gandhi

“Aku sangat prihatin atas tragedi yang terjadi pada bangsa manusia di negara mu nak. Aku sangat heran, mengapa manusia bisa seganas itu pada sesamanya. Padahal, kita sama-sama hidup di bumi manusia,” ujar Gandhi pada ku ketika mengawali pembicaraan.

Aku langsung terperanjat. Antara percaya dan tidak bisa bertemu seseorang berjiwa besar yang senantiasa mengampanyekan perdamaian, Mahatma Gandhi. Ya, meski hanya dalam mimpi, itu seolah nyata adanya, di depan mata ku. “Aku tak percaya,” gumam ku dalam hati.

“Sudah, jangan kaget lagi dengan kehadiranku. Aku hanya bisa trenyuh melihat kondisi seperti ini. penuh darah, amarah, dan tanpa logika. Kekerasan hanya akan merendahkan kehidupan,” katanya sembari menepuk pundak ku seraya ingin menenangkan keadaan.

Hanya bisa terdiam saja karena aku sedang berada di samping orang besar yang hidupnya dipenuhi dengan altruisme. Aku terpesona dengan nada bicara, begitu pula diksinya. “Kekerasan sudah jadi makanan tiap hari di negeri ini. Bukan saja konflik manifest seperti yang sekarang sedang hangat jadi pembicaraan. Kekerasan simbolik yang tak pernah disadari seringkali muncul tanpa dan sang pelaku dengan bangga memperagakannya,” ujarku sambil mengutip Bordieu yang baru saja ku baca.

Kami pun terus mengobrol ngalor-ngidul soal peristiwa berlumur darah yang terjadi negara masing-masing. Soal kekerasan yang sering diterima oleh minoritas maupun aparatur negara. Begitu pula Gandhi, beliau juga bercerita tentang aksi kekerasan yang menandai hilangnya rasa kemanusiaan di negaranya. Sampai lupa waktu.

Tak lupa pula, Gandhi menjelaskan inti pasifisme-nya yang senatiasa ia pegang tegus, satyagraha. Beliau menjelaskan inti pokok ajaran Satyagraha yang lembut tapi mematikan itu: pengorbanan, nirkekerasan, pengorbanan diri, serta integrasi antara cara dan tujuan damai. Dunia akan sangat terasa indah bila nilai tersebut nyata dalam kehidupan. “Tak ada hal baru yang bisa ku ajarkan kepada dunia. Kebenaran dan anti-kekerasan sama tuanya dengan gunung-gunung,” imbuhnya.

Satyagraha bukanlah konsepsi mudah. Aku pun bertanya pada Gandhi soal efektivitas laku seperti itu. Bukan untuk menyangsikan kebenarannya, tapi menghadapkannya dengan realitas sesungguhnya. Kenyataan tentang jalan kekerasan yang sering dipakai pihak tertentu agar kehendaknya terpenuhi. Butuh proses panjang karena terkait pembentukan kesadaran.

“Akhir dari kampanye Satyagraha bisa dianggap lebih berharga, hanya ketika, hal ini membuat para Satyagrahi menjadi lebih kuat dan bersemangat dari diri mereka pada awalnya,” jawabnya dengan keyakinan penuh.

Belum tuntas beragam pertanyaan ku sampaikan pada beliau. Seketika, beliau menghilang dari sisi ku, entah ke mana. Bukan dia pergi meninggalkan ku dengan sejuta pertanyaan tersisa. Alarm yang meraung dengan keras membuyarkan mimpi ku tentang “pertemuan besar” ini. ternyata matahari sudah menyapa. Pagi sudah tiba...


Dari berbagai sumber...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun