Mohon tunggu...
Arief Sani
Arief Sani Mohon Tunggu... Seniman - mahasiswa

saya berdomsili di batuphat timur berkeinginan besar menjadi seorang penulis demi kebaikan sosial sebab kehebatan pena mampu mengalahkan senjata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maraknya Anak KEcil yang Menjadi Pengemis

4 Mei 2024   09:00 Diperbarui: 4 Mei 2024   13:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka ini adalah salah satu dari korban keburukan pemerintah daerah mengatasi masalah kesenjangan sosial yang berimbas kepada rusaknya generasi penerus. Jika dibilang pemerintah sudah mengeluarkan Pasal 504 dan 505 dalam KUHP tanpa adanya Tindakan Bagaimana mengatasi agar tidak ada Masyarakat yang menjadikan anak kecil sebagai umpan mengemis, artinya KUHP tersebut tidak berguna. Sedangkan larangan pemerintah kepada anggota masyarakat agar tidak memberikan sedekahnya kepada para pengemis dalam pandangan penulis tidak akan berjalan efektif apalagi jika dibarengi ancaman sangsi justru membalikkan logika anjuran bersedekah dalam agama berujung hukuman akan kontra produktif.


Pasalnya, bagi anggota masyarakat besaran sedekah yang diberikan kepada pengemis (kisaran Rp. 500,- sampai Rp. 1000,-) tentu akan terbelit dengan prosedur administrasi atau birokrasi jika uang tersebut disalurkan kepada yayasan seperti anjuran pemerintah.

Penanganan "para pengemis" selama ini masih bersifat teknis belum menyentuh "ranah struktur sosial dan budaya" di mana para pengemis dilahirkan.

upaya penjaringan para pengemis yang mirip dengan penjaringan "pelaku kriminal jalanan" ini mewujud semacam ritual tahunan bagi pemerintah. Artinya pemerintah mengakui bahwa mengatasi pengemis bukan perkara mudah. Seperti perputaran dalam rantai yang tak kunjung usai, dijaring-dibina di panti sosial-keluar panti-lalu mengemis lagi.

Bahasa penjaringan dan penertiban sendiri sebenarnya menempatkan pengemis bak "pelaku kriminal" sedangkan pemerintah sebagai pihak yang dirugikan oleh aksinya (lazimnya korban kriminalitas). Lalu bagaimana mungkin dalam posisi struktur sosial yang menempatkan "pengemis" dan "pemerintah" dengan jarak ini bisa menuntaskan masalah kesejahteraan sosial yang kini kian menggurita?

Sebagai pihak yang melakukan pembinaan, harusnya pemerintah menciptakan situasi yang tak berjarak sehingga membuat para pengemis nyaman dan tidak merasa di posisikan sebagai sampah masyarakat.

Pembinaan kepada para pengemis yang dilakukan dengan hati nurani, bukan dengan ancaman sweeping atau cemoohan sebagai sampah masyarakat hanya bisa dilakukan jika terdapat kepercayaan (trust) di antara keduanya.

Pembinaan apapun yang dilakukan pemerintah terhadap para pengemis akan berakhir sia-sia jika kerangka pikir yang digunakan hanya menggunakan pendekatan teknis tanpa menyentuh hal-hal subtasial seperti perubahan struktur sosial yang mendukung kesejahteraan sosial. Struktur sosial yang kemudian membentuk budaya "mengemis" inilah yang seharusnya digali oleh pemerintah.

Kegembiraan yang seharusnya mereka rasakan dengan mengenyam bangku Pendidikan harus tidak terealisasikan sebab kemampuan orang tua untuk membiayai Pendidikan tidak terpenuhi. Salah seorang anak Ketika saya tanyai mengenai keinginan nya untuk bersekolah menjawab "mau bang mau kali awak sekolah, tapi kata mamak awak, kalo awak sekolah tak makan sama aja bang" mendengar jawaban anak tersebut membuat hati saya ter - iris membayangkan betapa kejamnya dunia menghantam kehidupan adik ini.

Tapi ternyata tidak semua merasakan hal yang sama, ada juga yang karena keinginan mereka untuk menjadi pengeis dikarenakan untuk memenuhi uang jajan mereka. Dalam konteks hal ini saya sangat menyayangkan kepada orang tua yang membiarkan anaknya menjadi seperti ini demi memenuhi kebutuhan jajannya. Memang mereka kadang tidak beruntung hidup dikeluarga yang berkecukupan tetapi peranan orang tua untuk tidak membiarkan anak bebas semaunya adalah hal yang harus di terapkan agar si anak tumbuh menaati aturan. Baik aturan agamanya maupun aturan yang berlaku di negri ini.

Di tahun 2045 nanti kita sama -- sama tahu Indonesia akan memasuki golden age Indonesia atau juga disebut Indonesia Emas yang diharapkan di tahun itu Indonesia menjadi salah satu negara yang maju, tetapi jika dilihat dari apa yang ada saat ini kemungkinan Indonesia emas itu tidak akan dapat dirasakan seluruh negri ini. Sebab dengan Kemungkinan besar, hampir di seluruh daerah di Indonesia terjadi hal anak -- anak yang di jadikan pengemis ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun