Fenomena ini terjadi karena adanya praktik hidden curriculum. Hidden curriculum digunakan kaum borjuis untuk mengontrol tenaga kerja, dan maka dari itu mereka menyebut pendidikan mereproduksi ketidaksetaraan. Sekolah mengeksploitasi murid-muridnya dengan praktik hidden curriculum, dimana murid dituntut kepatuhan, kesetiaan, dan kepasifan. Kreativitas, inisiatif, dan spontanitaspun ditekan. Seakan-akan siswa menjadi objek yang mudah diatur dan dapat beradaptasi dengan apa yang diinginkan kapitalis.
Dengan indoktrinasi melalui pendidikan yang terus berusaha mengabadikan ketaatan masyarakat terhadap struktur, meredam pengetahuan alternatif akan pembangunan, dan minimnya pendidikan yang memupuk kesadaran kritis dan kesadaran kelas, oposisi kritis akan keadaan saat ini akan tetap minim. Dimana sebagian besar masyarakat dengan butanya percaya bahwa mobilitas kelas ke atas dapat dengan mudah diraih apabila kerja keras, mandiri dan disiplin; kesuksesan bergantung kepada sistem meritokrasi.
Satu lagi tokoh yang membahas mengenai reproduksi dan eksploitasi dalam pendidikan yaitu Michael Apple. Pemikirannya memiliki keterkaitan dengan Pierre Bourdieu, Bowles, dan Gintis yang memandang bahwa sistem pendidikan dan budaya merupakan elemen yang sangat penting dalam pemeliharaan hubungan yang ada dari dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat.
Sekolah tidak hanya mengontrol siswa dalam berperilaku, melainkan juga mengontrol makna. Kelompok yang dominan ataupun ideologi dominan berhak melakukan kontrol makna tersebut. Ia melestarikan dan mendistribusikan pengetahuan formalnya. Dari sinilah Apple berasumsi bahwa sekolah telah memberikan legitimasi budaya pada pengetahuan kelompok tertentu. Terlihat adanya praktik rasis yang berlangsung di sekolah karena adanya distribusi kebudayaan kelompok tertentu.
Kelompok minoritas akan selalu berada di struktur bawah dan akan terus direproduksi. Apabila ditengarai, hal ini disebabkan karena kelompok dominan memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang lebih besar untuk menanamkan pengaruh kekuasannya di sekolah. Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa kurikulum, mereproduksi ketimpangan struktur sosial di masyarakat.
Jika kita telaah lebih dalam melalui pemikiran radikalsisme neo marxist, setiap pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia terdapat reproduksi dan eksploitasi yang massive melalui pendidikan. Sekolah menjadi pasar tenaga kerja yang akan digunakan selanjutnya oleh perusahaan. Terutama di era modern saat ini, segala hal dapat dirujuk menjadi penumpukkan kapital atau keuntungan. Perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang siap dan terampil yang di produksi di sekolah.
Setelah lulus mereka langsung memasuki dunia kerja di perusahaan tersebut. Hal ini sudah tercermin dari pembagian jurusan di setiap sekolah menengah. Sekolah mengarahkan pendidikan melalui jurusan-jurusan yang nantinya akan ia masuki, dan di bidang tersebutlah nantinya mereka akan bekerja sesuai dengan jurusan yang dipilihnya.
Dengan demikian, sekolah mengatur pola pikir masyarakat dan bukan sebaliknya. Reproduksi dan eksploitasi akan terus berlangsung. Namun, dibutuhkan kesadaran kritis bahwa ada sesuatu yang melampaui sistem pendidikan di sekolah. Dari sinilah kita beranjak bahwa pendidikan di Indonesia maupun dunia tidak hanya sekedar penanaman moral dan menciptakan kompetensi di segala aspek. Lebih dari itu, pendidikan di Indonesia maupun di dunia mereproduksi kekuasaan pemegang kekuasaan dan mengeksploitasi siswa secara tidak sadar. Begitulah pandangan neo Marxist dalam memandang pendidikan di sekolah di era modern saat ini.
Referensi:Â
Anyon, Jean. 2011. Marx and Education. New York: Routledge
Apple, Michael W. 2004. Ideology and Curriculum Third Edition. New York: RoutledgeFalmer