Mohon tunggu...
Arief Rahman Fadillah
Arief Rahman Fadillah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Reproduksi dan Eksploitasi dalam Pendidikan di Era Modern: Implementasi Pandangan Neo Marxist

2 Januari 2021   15:40 Diperbarui: 2 Januari 2021   15:44 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendidikan merupakan upaya sadar untuk menciptakan dan mengembangkan kompetensi setiap individu. Pendidikan juga sangat terkait erat dengan transmisi  pengetahuan yang diturunkan oleh agen kepada generasi selanjutnya. Transmisi pengetahuan ditujukan sebagai metode untuk melanjutkan eksistensi masyarakat seperti nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat.

Masyarakat dengan segala otoritasnya dapat menentukan arah pendidikan yang diinginkan agar sesuai dengan kebutuhannya. Pada umumnya, pendidikan merupakan wadah untuk seseorang mendapatkan pengetahuan melalui proses pembelajaran. Sekolah di dalam sektor pendidikan menjadi penunjang terlaksananya penanaman nilai-nilai normatif, seperti penanaman moral dan peningkatan kognitif. Sekolah dalam hal ini menjadi bagian integral dalam masyarakat untuk menunjang terlaksananya transmisi kebudayaan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sekolah dalam pandangan luas adalah suatu bangunan atau Lembaga untuk belajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Selain itu juga sekolah merupakan sistem interaksi sosial suatu organisasi keseluruhan yang terdiri atas interaksi pribadi terkait bersama dalam suatu hubungan organic. Secara keseluruhan, dapat diartikan bahwa sekolah adalah suatu Lembaga yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Dalam terselenggaranya sekolah terdapat kurikulum yang menentukan orientasi proses pembelajarannya. Namun, sering kali kurikulum pendidikan dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan kelas tertentu. Dalam hal ini sekolah dapat berperan menjadi sarana reproduksi sosial sekaligus alat eksploitasi yang dilakukan oleh kelas atas.

Penggagas teori reproduksi, Pierre Bourdieu telah meramalkan hal ini akan terjadi. dimana pada masyarakat modern dan era penuh digital, system pendidikan digunakan hanya untuk mereproduksi budaya kelas dominan dalam rangka memegang dan melepaskan  kekuasaan.

Dalam penjelasan Bourdieu tersebut terdapat makna yaitu hingga saat ini peserta didik merupakan sumber daya dari borjouis untuk terus mendapatkan kapitalnya melalui reproduksi budaya dominannya. Sekolah menengah adalah salah satu contohnya. Dimana di dalamnya terdapat pembagian jurusan, setiap jurusan memiliki prospek yang berbeda-beda. Hal ini apabila dikaitkan dengan reproduksi dari neo-marxist maka akan disimpulkan bahwa sekolah merupakan mesin produksi kapitalis. Bourdieu percaya bahwa sistem pendidikan selalu digunakan untuk mereproduksi budaya kelas dominan dalam rangka mengendalikan kekuasannya.[1] Dalam proses reproduksinya, Bourdieu terinspirasi dari Louis Althusser mengenai ideological state apparatuses, yaitu proses ideologisasi secara halus dan tanpa disadari.

Pelaksanaan ideological state apparatuses berlangsung seperti sesuatu yang natural, tanpa sadar. Hal inilah yang digunakan budaya dominan untuk menanamkan pengaruhnya melalui norma dan nilai dalam berbagai relasi sosial. Dalam hal ini, makna dari reproduksi adalah bagaimana hubungan kekuasaan 'sewenang-wenang' di antara kelompok direproduksi dari generasi ke generasi sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut tampak alami dan sah dan dengan demikian bertahan relatif tidak tertandingi.

Sekolah mereproduksi struktur kekuasaan secara tidak langsung, bukan dengan mengajarkan kepatuhan dan kepatuhan secara kasar, tetapi dengan mengatur aktivitas sehari-hari mereka dengan cara yang konsisten dengan makna yang tidak perlu dipertanyakan. Inilah maksud dari ideological state apparatuses. Jelas bahwa terdapat sistem oligarki di dalam pendidikan.

Pendidikan bukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lagi, tetapi menjadi pemenuhan kepentingan budaya dominan atau kelas atas. Penjelasan tersebut semakin memperlihatkan bahwa kekuasaan beroperasi  dan menyembunyikan diri melalui budaya. Dalam kaitannya dengan teori reproduksi Bourdieu, ia membaginya menjadi dua kelas. Kelas pendominasi dan kelas terdominasi. Kelompok terdominasi adalah mereka yang hanya menerima begitu saja konstruksi yang ditawarkan oleh kelompok pendominasi. Kelompok pendominasi harus memiliki modal yang mampu melegitimasi dominasinya, caranya adalah penaklukan moral dan intelektual kelompok terdominasi. 

Dalam buku Rakhmat Hidayat yang berjudul "Pengantar Sosiologi Kurikulum" terdapat penjelasan bahwa pendidikan, khususnya kurikulum secara total membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya arena pertarungan guna memperebutkan posisi dominan yang diperjuangkan. Dalam kontestasi tersebut terjadi ketidaksetaraan dalam pendistribusian berbagai kapital. Akibatnya, melahirkan posisi dominan dari agen tertentu.[2] Dengan demikian di dalam sekolah selalu terdapat kekerasan simbolik yang slelau terkondisikan oleh kelompok dominan. 

Pembahasan mengenai reproduksi juga disinggung oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis. Teori Bowles Gintis cenderung melihat bahwa Pendidikan adalah salah satu sarana untuk melestarikan dominasi. Pendidikan dalam pandangannya merupakan refleksi dari suatu hegemoni kapitalis. Latar belakang pembahasan Bowles dan Gintis mengenai sekolah mereproduksi ketidaksetaraan dan ketidakadilan didasarkan pada fenomena yang terjadi di Amerika Serikat. Dalam teorinya ia mengadakan prinsip direct reproduction, dimana direct reproduction ini adalah usaha untuk melanjutkan dan mengekalkan sistem kemasyarakatan kapitalis. Ia juga membahas mengenai prinsip korespondensi. Prinsip ini memberi penjelasan bahwa nilai-nilai yang dipelajari murid di sekolah sesuai dengan nilai dan norma yang diinginkan kapitalis agar mempermudah pengeksploitasian di masa depan.

Selalu terdapat relasi antara sekolah dengan hegemoni kapitalis. Hal ini dapat terlihat dalam organisasi internal sekolah dengan internal tenaga kerja kapitalis dalam struktur, norma, dan nilai. Apa yang terjadi di sekolah merupakan cerminan dunia kerja. Sistem  hierarki di sekolah mencerminkan struktur pasar tenaga kerja. Kepala sekolah sebagai direktur, sementara murid-murid berada di bawah hierarki tersebut. Murid memakai seragam, harus datang tepat waktu, tidak boleh melanggar peraturan, dan lain sebagainya memperjelas pengelihatan bahwa pendidikan memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara barinteraksi di tempat kerja dan memberikan persiapan langsung untuk masuk ke pasar dunia kerja.

Fenomena ini terjadi karena adanya praktik hidden curriculum. Hidden curriculum digunakan kaum borjuis untuk mengontrol tenaga kerja, dan maka dari itu mereka menyebut pendidikan mereproduksi ketidaksetaraan. Sekolah mengeksploitasi murid-muridnya dengan praktik hidden curriculum, dimana murid dituntut kepatuhan, kesetiaan, dan kepasifan. Kreativitas, inisiatif, dan spontanitaspun ditekan. Seakan-akan siswa menjadi objek yang mudah diatur dan dapat beradaptasi dengan apa yang diinginkan kapitalis.

Dengan indoktrinasi melalui pendidikan yang terus berusaha mengabadikan ketaatan masyarakat terhadap struktur, meredam pengetahuan alternatif akan pembangunan, dan minimnya pendidikan yang memupuk kesadaran kritis dan kesadaran kelas, oposisi kritis akan keadaan saat ini akan tetap minim. Dimana sebagian besar masyarakat dengan butanya percaya bahwa mobilitas kelas ke atas dapat dengan mudah diraih apabila kerja keras, mandiri dan disiplin; kesuksesan bergantung kepada sistem meritokrasi.

Satu lagi tokoh yang membahas mengenai reproduksi dan eksploitasi dalam pendidikan yaitu Michael Apple. Pemikirannya memiliki keterkaitan dengan Pierre Bourdieu, Bowles, dan Gintis yang memandang bahwa sistem pendidikan dan budaya merupakan elemen yang sangat penting dalam pemeliharaan hubungan yang ada dari dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat.

Sekolah tidak hanya mengontrol siswa dalam berperilaku, melainkan juga mengontrol makna. Kelompok yang dominan ataupun ideologi dominan berhak melakukan kontrol makna tersebut. Ia melestarikan dan mendistribusikan pengetahuan formalnya. Dari sinilah Apple berasumsi bahwa sekolah telah memberikan legitimasi budaya pada pengetahuan kelompok tertentu. Terlihat adanya praktik rasis yang berlangsung di sekolah karena adanya distribusi kebudayaan kelompok tertentu.

Kelompok minoritas akan selalu berada di struktur bawah dan akan terus direproduksi. Apabila ditengarai, hal ini disebabkan karena kelompok dominan memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang lebih besar untuk menanamkan pengaruh kekuasannya di sekolah. Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa kurikulum, mereproduksi ketimpangan struktur sosial di masyarakat.

Jika kita telaah lebih dalam melalui pemikiran radikalsisme neo marxist, setiap pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia terdapat reproduksi dan eksploitasi yang massive melalui pendidikan. Sekolah menjadi pasar tenaga kerja yang akan digunakan selanjutnya oleh perusahaan. Terutama di era modern saat ini, segala hal dapat dirujuk menjadi penumpukkan kapital atau keuntungan. Perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang siap dan terampil yang di produksi di sekolah.

Setelah lulus mereka langsung memasuki dunia kerja di perusahaan tersebut. Hal ini sudah tercermin dari pembagian jurusan di setiap sekolah menengah. Sekolah mengarahkan pendidikan melalui jurusan-jurusan yang nantinya akan ia masuki, dan di bidang tersebutlah nantinya mereka akan bekerja sesuai dengan jurusan yang dipilihnya.

Dengan demikian, sekolah mengatur pola pikir masyarakat dan bukan sebaliknya. Reproduksi dan eksploitasi akan terus berlangsung. Namun, dibutuhkan kesadaran kritis bahwa ada sesuatu yang melampaui sistem pendidikan di sekolah. Dari sinilah kita beranjak bahwa pendidikan di Indonesia maupun dunia tidak hanya sekedar penanaman moral dan menciptakan kompetensi di segala aspek. Lebih dari itu, pendidikan di Indonesia maupun di dunia mereproduksi kekuasaan pemegang kekuasaan dan mengeksploitasi siswa secara tidak sadar. Begitulah pandangan neo Marxist dalam memandang pendidikan di sekolah di era modern saat ini.

Referensi: 

Anyon, Jean. 2011. Marx and Education. New York: Routledge

Apple, Michael W. 2004. Ideology and Curriculum Third Edition. New York: RoutledgeFalmer

Azizah, Chusnul. 2014. Peran Komunitas Online Fanfiction dalam Mengembangkan Literasi Media sebagao Praktik Reproduksi Kultural. Jurnal Libri-Net Vol. 3, No. 2.

Hidayat, Rakhmat. 2011. Perspektif Sosiologi tentang Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 17, No. 2.

Hidayat, Rakhmat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.

Pierre Bourdieu dan Jean-Claude. 1990. Reproduction in Education, Society and Culture. London: Sage Publications.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun