Dulu, ketika memasuki tahun 2000, di ambang perubahan milenia, Ada rasa semangat dan optimisme menyambut perubahan angka yang signifikan di kalender.
Waktu itu saya sudah punya akses ke internet, walau belum se-mobile sekarang. Maklum, komputernya masih PC yang disambungkan ke internet melalui fasilitas dial up yang berisik sekali.
Sudah mulai bisa mengakses "Dunia" lewat layar ajaib bernama komputer. Mulai berkomunikasi dengan orang di negara lain lewat MIRC dan beberapa tahun kemudian menjalin silaturahmi via Friendster ( Almarhum ). Diteror ketakutan kejadian kekacauan Dunia karena Y2K( yang tidak terjadi) , kemajuan di masa depan masih jadi mimpi yang optimis.
Optimisme yang muncul adalah " Wah, canggih banget bisa mengetahui Berita di seluruh Dunia, hanya dengan mengetik beberapa kata" , waktu itu Yahoo masih merajalela. Sekarang sudah dijual katanya.
Kebayang kan betapa kerennya masa depan. Apalagi kalau pernah nonton film Back To The Future, Tahun 2015 itu Tahun dimana orang-orang punya Mobil terbang, skate board bisa melayang dan sebagainya. Betapa serunya masa depan !!
Dan sekarang sudah tahun 2017. Semua pada punya Mobil atau skate board terbang memang belum jadi nyata. Tapi kemajuan di bidang teknologi sangatlah pesat. Sekarang apapun tinggal pencet tombol di smartphone bisa dilakukan. Pesan makanan, beli sayur, beli motor , ngegosip, jualan, kerja, siaran langsung seperti punya channel TV sendiri dsb.
Tapi buat generasi sekarang terkadang memiliki smartphone alias telepon pintar tidak dibarengi dengan kepintaran memilah informasi.
Kebanyakan dari Kita (ya, saya juga pernah) begitu cepat percaya dengan kebenaran informasi yang kita dengan berita yang kita dapat dari internet. Baik dari Twitter, WhatsApp, Facebook , Instagram dsb. Padahal kebenarannya belum bisa dikonfirmasi.
Pengalaman saya waktu saat Ibu Ainun Habibie sakit, lalu ada kabar beliau berpulang. Membaca kabar tersebut dari akun Twitter teman, dengan sedih, saya Me - RT twit itu dan mengucap bela sungkawa. Padahal ternyata beliau waktu itu masih ada. Pas tahu, merasa berdosa sekali. Langsung saya hapus dan meminta maaf pada followers. Salah saya adalah terlalu mudah percaya berita tanpa mengkonfirmasikannya. Demi kekinian, yang penting duluan mengabarkan. Kejadian ini membuat saya lebih berhati-hati dalam membaca dan menyebarkan berita.
Daaan , di Tahun 2017 ini penyebaran berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kok makin parah ya. Dengan mudah orang percaya berita yang disebarkan lewat media sosial. Dengan judul dan kalimat yang bombastis , berita tersebut langsung dishare ke teman atau keluarga. Dengan kalimat ajaib " Share dari grup sebelah" tanpa perduli isinya kadang membuat hati tidak nyaman, menyinggung, mencolek isu SARA, menghina dsb.
Parahnya, yang nge share hanya membaca beberapa kalimat awal saja. Tidak membaca sampai selesai. Kalaupun selesai, kadang logikanya tidak dipakai. Padahal kalau dipakai, mungkin dia tidak mau menyebarkannya. Kalaupun dibaca seksama, sekarang orang malas untuk mengkonfirmasi berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu.
Ketika dikonfrontir soal kebenaran berita tersebut, jawabannya rata-rata gak tahu. Dapet dari grup sebelah. Tidak ada rasa tanggung jawab telah menyebar berita yang meresahkan.
Hello, zaman sekarang Ada Google kali. Kalau Ada berita yang yang kira-kira ga masuk akal, tinggal search. Bandingkan beberapa situs berita terpercaya dan kredibel. Lihat di TV. Tanya orang , dan banyak media lain yang bisa dijadikan sebagai pembanding. Cek Dan ricek ! Kroscek. Jadilah pengguna teknologi yang tidak hanya pintar, tapi juga bertanggung jawab. Janganlah malas untuk mengkonfirmasi. Janganlah jadi bagian penyebar hoax.
Satu lagi yang meresahkan adalah begitu mudah orang berkomentar negatif di social media orang lain. Misalnya di akun Instagram Artis yang sedang bermasalah. Dengan mudahnya orang mengomentari dengan kata-kata yang menyakitkan, menghina, membully dan sebagainya. MENGERIKAN ! Mentang-mentang tidak berjumpa langsung, para pengecut merasa berhak menghina orang lain di akun social medianya. Coba kalau di dunia nyata , saya jamin mereka tidak akan berani datang ke rumah orang, lalu menghina orang di rumahnya. Ga ada angin, gak ada hujan. Kenal juga nggak. Berani-beraninya menghina. Pasti disangka orang gila atau dijemput Pak Polisi.
"Ah , resiko jadi publik figur. Berani posting, harus berani juga dikomentari"
Begitu jawabannya.
Betul , posting di social media beresiko dikomentari orang. Tapi apakah alasan itu membuat kita punya hak menghina orang di depan publik ? Gara-gara gosip, Kita boleh mempermalukan orang di akun social medianya?
Malah Kita yang akan malu karena bertindak seperti itu di social media.
Himbauan saya, ini sudah 2017 lho ! Yok Kita jangan malas mengkonfirmasi berita. Lebih pintar memilah berita. Stop menyebar Hoax dan lebih santun di dunia Maya. Hidup akan lebih tenteram, hati senang dan lapang, manfaatkan internet semaksimal mungkin untuk kebaikan.
Maukah Kita diingat masa depan sebagai Generasi Hoax ? Generasi Malas Konfirmasi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H