Guru agama sebagai pelita yanag memegang peran sentral dalam menentukan generasi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan melalui pendidikan agama. Kehadiran guru agama menjadi bagian yang tidak bisa dielakkan dalam mewujudkan cita-cita luhur tujuan pendidikan nasional.Â
Namun, rupanya kita skeptis soal ini, sebab pendidikan agama di sekolah kurang perhatian karena minimnya tenanga pengajar. Bahkan jumlah guru agama masih terbatas dan sebagian bersar masih berstatus honorer.
Dua hari yang lalu (25-26/4), Harian Umum Kompas banyak menyoroti persoalan Pendidikan Agama dan Guru Agama. Berbagai persoalan itu didedah mulai dari regulasi, status guru honorer dan nasib guru, rekrutmen PPPK, konten pengajaran, hasil pendidikan yang tidak sesuai dengan perilaku siswa, hingga berbagai tantangan yang membayangi guru agama.
Rumitnya persoalan guru agama ditambah dengan dualisme pengelolaan Pendidikan Agama Islam. Di satu sisi, guru dan pelajaran pendidikan agama Islam di bawah naungan kelola Kementerian Agama, di sisi yang lain juga turut urun dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.Â
Urusan pengelolaan ini berimplikasi pada pemerintah daerah yang sulit dan bimbang dalam mengajukan formasi untuk penerimaan PPPK serta menganggarkan dana untuk gaji pegawai. Bahkan di sebagian daerah ditemukan tidak menyediakan untuk formasi guru agama hingga berimbas pada kewenangan pengangkatan guru ASN PPPK.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama No 16 Tahun 2010 menyebutkan bahwa usulan guru agama merupakan kewenangan Kementerian Agama dan atau Pemerintah Daerah.Â
Jika melihat pada regulasi ini, alangkah lebih bijak jika kewenangan pengelolaan guru agama dikelola di bawah naungan Kementerian Agama dengan dukungan anggaran yang memadai agar pemerintah daerah tidak gamang dalam menentukan gaji dalam belanja pegawai.
Inkonsistensi Hasil Pendidikan
Rupanya persoalan guru agama tidak berhenti di sini. Ada beragam persoalan yang turut serta mewarnai kehidupan guru agama. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional Kemendikbudristek, menunjukkan inkonsistensi antara hasil pendidikan agama dan perilaku menghargai terhadap kemanusiaan universal. Padahal nilai ini yang paling dasar dipesankan oleh ajaran agama.