Mohon tunggu...
Arief Nur Rohman
Arief Nur Rohman Mohon Tunggu... Guru - Manusia

Pegiat Moderasi Beragama Provinsi Jawa Barat. Menaruh minat pada Pendidikan, Pengembangan Literasi, Sosial, Kebudayaan, dan Pemikiran KeIslaman.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Puasa: Pembentukan Sikap Asketisme

18 April 2022   06:52 Diperbarui: 18 April 2022   06:55 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah kutipan penulis (Sumber: Dok. Pribadi) Desain by. Canva

PUASA adalah satu ibadah yang menuntut pengendalian diri sekaligus satu ibadah yang paling intim dan intens. Puncak dan orientasi ibadah puasa adalah menggapai ketakwaan. Ketakwaan yang tidak hanya dimaknai sebagai rangkaian ibadah dan ritualitas semata-mata. Akan tetapi, ketakwaan yang mengejawantah dalam bentuk ibadah yang lebih luas.

Ibadah puasa memiliki beberapa ukuran keberhasilan. Paling tidak ada dua hal yang bisa kita pahami sebagai indikator, patokan, dan ukuran keberhasilannya. Pertama, Puasa secara fiqhiyah-lahiriah. Puasa dalam ukuran ini adalah kita melaksanakan puasa dengan baik sesuai ukuran Fiqh. Menjalani puasa dengan menahan diri dari segala hal yang mampu membatalkan puasa dan naluri seksual dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari di sore hari.

Kedua, Puasa dalam ukuran moral-psikologis. Keberhasilan puasa dapat dilihat juga dalam keseharian perilaku orang yang menjalani puasa. Jika seseorang berbuat kerusakan, menimbulkan kemarahan, ujaran kebencian, menebar fitnah, senang mengumbar kekayaan dan perilaku lain yang dapat melukai manusia sesamanya, adalah mereka yang gagal dalam menjalani laku ibadah puasa. Gagal dari segi ukuran fiqhiyah-lahiriah sekaligus ukuran moral-psikologis. Namun sebaliknya, mereka yang menjalani ibadah puasa mampu menjaga lisan, pikiran, dan tindakannya tidak menyakiti antar sesama manusia, mampu menebar rahmat, kasih sayang dan kebaikan, serta mampu menjalin relasi silaturahmi adalah mereka yang berhasil dalam menjalani ibadah puasa.

Dari dua indikator dan ukuran keberhasilan ibadah puasa tadi, dapat kita temui dengan mudah dan mengidentifikasinya dalam keseharian hidup kita. Namun, dalam beberapa dimensi, kita sulit mengukur keberhasilan ibadah puasa. Misalnya, puasa dalam ukuran iman-spiritual. Puasa dalam dimensi ini diukur oleh sejauh mana puasa kita diterima oleh Allah. Boleh jadi puasa yang kita jalani selama ini tidak mendatangkan keridhoan, rahmat dan karunia-Nya sehingga puasa kita tertolak. Oleh karenanya segala bentuk ibadah sudah selayaknya kita serahkan saja segala sesuatunya kepada Allah.

Sebuah kutipan penulis (Sumber: Dok. Pribadi) Desain by. Canva
Sebuah kutipan penulis (Sumber: Dok. Pribadi) Desain by. Canva

Belakangan kita temui fenomena seseorang yang gemar menebar, mengumbar, dan memperlihatkan kekayaan dirinya kepada khalayak publik melalui media sosial. Lebih jauh bahkan mereka menampilkan dirinya sebagai crazy rich atau orang kaya yang gila. Aktivitas mengumbar kekayaan di media sosial, boleh jadi untuk mengundang perhatian dan simpati publik dengan kehidupan yang super mewah, harta yang berlimpah, dan barang-barang yang branded dan megah. Atau boleh jadi juga, untuk menarik penilaian khalayak terhadap dirinya.

Hasrat, dorongan, dan keinginan untuk memiliki sesuatu adalah hal yang lumrah dan fitrah sebagai manusia. Dalam pandangan agama hal ini tidaklah dilarang, bahkan Islam menyebutnya sebagai watak alamiah manusia/ fitrah. Namun di sisi lain, Al-Quran surah Al-Hadid: 20 mengingatkan kecenderungan memperbanyak harta, membanggakan, dan mempertontonkan di hadapan khalayak banyak adalah sebuah kehidupan dan kesenangan yang palsu.

Lalu, bagaimana menekan, meredam, dan memendam hasrat yang berlebihan itu muncul dan menguasai diri?

Berbagai rangkaian ibadah dalam agama, satu di antaranya adalah puasa memiliki makna sebagai barisan spiritual (a spiritual cardon) Ziauddin Sardar menyebutnya sebagai puasa yang mampu menjaga individu dan masyarakat komunal agar tetap berperilaku secara berkeadaban. Lebih jauh, kandungan moral puasa adalah mampu membentuk sikap asketisme. Asketisme dalam terminologi Islam disebut dengan zuhud. Zuhud memiliki makna sebagai sikap hidup yang  sederhana dan bersahaja.

Puasa menjadi satu momentum untuk memutus keinginan yang berlebihan, meredam hawa nafsu yang menguasai diri dalam waktu tertentu; melepaskan diri dari segala pikiran negatif, dan mengikat kembali spiritualitas manusia sehingga kembali pada kualitas kedirian yang otentik, diri spiritual yang objektif, dan diri yang kembali fitri (suci).

Ibadah puasa dengan demikian melatih untuk bersikap asketisme, menyadarkan manusia dan mengembalikan kesejatian manusia bahwa dirinya bukan sekadar sebagai human doing yang memiliki kecenderungan untuk menumpuk kekayaan, tidak henti-hentinya bekerja, akan tetapi juga sebagai manusia yang terus menerus mencari pemaknaan hidup memlalui ketundukan secara vertikal dengan Tuhan, dan berbagi antar sesama manusia secara horizontal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun