Wabah Covid-19 menghancurkan harga minyak dunia dan juga LNG, tapi kita tahu perlahan harga minyak mulai naik cukup signifikan yang sudah naik 100% dari posisi terendah di US$ 21 di sekitar April 2020. Harga saat ini sudah diatas US$ 42 perbarrel. Padahal dari berbagai lembaga pengamat energi dunia seperti Rystad dan lainnya memprediksi harga diatas US$ 40 akan dicapai antara triwulan 1 atau triwulan 2 tahun 2021.Â
Bukankah dalam POD Blok Abadi Masela, EPC mulai tahun 2022/2023 dan tidak sekarang. Produksi Kilang Masela juga diprediksi pada semester pertama 2027. Berdasarkan konsensus pengamat energi ditahun 2027 harga minyak dunia sudah diatas US$ 60 bahkan lebih (atau sudah menyamai harga tahun 2019 atau lebih). Bukankah POD Blok Masela disusun ditahun 2019?.
Konon, kata pengamat dan praktisi industri hulu migas, investasi hulu migas itu paling tepat saat harga minyak dunia rendah. Karena ongkos barang dan jasa akan rendah.
Para vendor akan berlomba-lomba menawarkan harga yang rendah agar biaya konstruksi kilang minyak masuk secara hitungan keuangan sehingga pemilik ladang minyak akan bangun. Jika pemilik ladang minyak gak bangun kilang, maka vendor hulu migas akan nganggur.Â
Mengapa Shell tidak melakukan investasi, bahkan Shell sedang gencar mengevaluasi rencana investasinya diberbagai dunia, termasuk Indonesia. Bahasa "komunikasi" yang Shell gunakan adalah "Blok Masela tidak mampu bersaing dengan proyek Shell di belahan dunia yang lain".
Kalo tidak mampu bersaing, mengapa Kantor Pusat Shell menyetujui proses-proses investasi di Indonesia termasuk membeli sebagian saham EMP di tahun 2010?. Artinya Shell awalnya yakin "duitnya cukup untuk investasi diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia".
Wabah Covid-19 dan harga minyak dunia yang rendah ternyata menjadi biang keladi menyebabkan Shell "gak punya duit". Mengutip data laporan triwulan 2 (Januari-Juni 2020), ternyata Shell Global lagi "tekor" US$ 18,4 miliar.
Nahh....kelihatan benang merahnya yaaa. Jika tekor berlanjut bisa saja di tahun 2020 kerugian Shell Global bisa tembusa di atas US$ 25 miliar (asumsi ada perbaikan harga dan efisiensi sehingga penambahan kerugian di semester 2 tidak linier).
Duit gede itu US$ 25 miliar karena lebih besar dibandingkan biaya investasi blok Masela sebesar US$ 19,8 miliar yang Shell punya saham 35% atau Shell menanggung sekitar US$ 7 miliar.Â
Jadi kesimpulannya, Shell hengkang dari Blok Masela karena "kagak punya duit". Tidak hanya lagi "tongpes", tetapi lebih parah lagi "tongcor atau kantongnya bocor".
Jadi pilih mana, investasi US$ 7 miliar dengan hasil akan dipetik ditahun 2027 sampai 2055. Metiknya masih lama 7 tahun, keburu mati dach? Kagak berani puasa lama, padahal estimasi keuntungan di Masela itu "Segede Dinosaurus" tapi harus puasa dulu selama 7 tahun.Â