Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertamina Mulai Bertransformasi

4 Februari 2015   02:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:52 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara Pertamina, maka yang muncul dibenak publik diantaranya yang terkait dengan hal positif antara lain BUMN terbesar dan paling untung, idaman pencari kerja, bisnis menggurita dari sabang sampai merauke dan bisnis hulu-bisnis hilir. Sedangkan hal negatif diantaranya tidak efisien, sarang koruptor dan kalah bersaing. Persepsi positif maupun negatif, tentunya merupakan cermin dari kinerja dan persepsi Pertamina di mata khalayak luas. Apakah persepsi tersebut salah, tentunya tidak. Justru beragam persepsi yang ada hendaknya dapat dijawab dengan kinerja dan prestasi oleh Pertamina.

Pertamina sering diartikan "Pertambangan Minyak Nasional", memang tidak salah karena saat terjadi nasionalisasi dari perusahaan Belanda menjadi perusahaan nasional dengan nama PT Permina di era Presiden Soekarno lalu menjadi nama PT Pertamina. Perlindungan negara dan hak khusus terjadi di awal tahun 1970an Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 8 tahun 1971, dimana di dalamnya mengatur peran Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara yang ditugaskan melaksanakan pengusahaan migas mulai dari mengelola dan menghasilkan migas dari ladang-ladang minyak di seluruh wilayah Indonesia, mengolahnya menjadi berbagai produk dan menyediakan serta melayani kebutuhan bahan bakar minyak & gas di seluruh Indonesia. Ibarat kekuasaan yang tidak ada batas sebagai regulator dan operator, maka Pertamina menjadi pusat dari semua aktivitas industri perminyakan di Indonesia. Kekuasaan yang besar dan kinerja di tahun 1970an yang kinclong dan mampu memproduksi minyak 1,4 juta ton diakhir 1970an, maka negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam belajar ke Pertamina.

Tsunami Kecil Pertamina

Era reformasi 1998 yang diikuti dengan perubahaan UU, menjadi lebih liberal dan menempatkan Pertamina sejajar dengan perusahaan minyak lainnya dan yang membedakan adalah hanya dominasi Pertamina sebagai penyalur BBM bersubsidi. Namun kenyataannya bisnis BBM bersubsidi adalah bisnis penyaluran dari BBM yang dimiliki Pemerintah dan diolah di kilang Pertamina. Harga BBM bersubsidi yang pasca reformasi memiliki jarak yang jauh dengan BBM Non Subsidi menyebabkan keuntungan yang diraih Pertamina menjadi tidak optimal karena sudah dipatok pada angka "alfa" sesuai wilayah distribusi. Lebih dari itu, seolah-olah Pertamina 'kaget' dengan perubahan lingkungan bisnis yang mulai dari hulu adalah semakin banyak pemain dibidang industri hulu khususnya asing dengan ditandai masuknya perusahaan minyak China secara agresif. Disektor distribusi, bermunculan perusahaan dibidang jasa perkapalan, terlebih saat itu 2 kapal tanker raksasa yang sedang dibangun di Korea Selatan oleh Direksi di awal tahun 2000an dijual karena cashflow terganggu, sehingga Pertamina semakin terjebak harus menyewa kapal untuk mengangkut produknya. Pada sektor hilir, dikota-kota besar menjamur SPBU asing yang memiliki reputasi dunia, sedangkan di sektor pengolahan/retail munculnya merk baru di pelumas, termasuk yang fenomenal adalah oli Top 1 dapat dikatakan Pertamina babak beluar disemua lini, disaat belum siap betul sedangkan setelah reformasi "hak ekslusif Pertamina dicabut".

Petronas jauh didepan

Jika kemudian "murid" lebih sukses dibandingkan "guru" yaitu Petronas yang lari kencang meninggalkan Pertamina tentulah bukan hal yang luar biasa. Kekuasaan besar Pertamina dimasa lalu yang tidak diikuti kesiapan untuk mengalami perubahan, maka Pertamina yang diibaratkan orang bertubuh gemuk penuh lemak tidak bisa berlari, jangankan sampai finsih bisa saja ditengah jalan akan kolaps. Keberhasilan Petronas mengambil sisi positif Pertamina dan tidak mengikuti langkah buruk/negatif menjadikan Petronas bagaikan atlet berotot yang mampu bergerak lincah dan lari kencang. Dibawah ini menunjukkan perbedaan mencolok antara Petronas vs Pertamina

1422963672714088336
1422963672714088336

..

Jangankan dibandingkan Pertamina, total keuntungan Petronas mengalahkan total keuntungan BUMN di Indonesia. Kemampuan Petronas menguasai sampai 50% produksi minyak dalam negeri Malaysia masih ditopang juga dari produksi di luar negeri. Hebatnya adalah Petronas masuk sampai industri hilir, tidak hanya hulu. Sehingga jika terjadi gejolak minyak dunia menjadi "balance". Saat harga minyak dunia tinggi, maka sektor hulu (upstream) akan memberikan keuntungan besar, sedangkan saat harga minyak rendah maka sektor hilir akan memberikan margin yang besar.

Kaki Terikat, Tidak Bisa Lari, Harus Melompat

Anjloknya harga minyak mentah, memberikan pukulan bagi Pertamina yang ditahun sebelumnya kontribusi keuntungan terbesar dari sektor hulu. Namun, situasi ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan di industri hilir karena harga BBM masih ditentukan Pemerintah untuk yang subsidi, sedangkan bisnis elpiji non subsidi kenyataannya masih juga dikendalikan Pemerintah. Harga minyak yang "mengalami stall" bagaikan manajemen Pertamina naik rollcoaster. Selain itu mulai menurunnya pasokan minyak dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku di kilang yang didesain sesuai dengan karakteristik minyak dalam negeri menjadi problem tersendiri dengan penurunan efisiensi kilang, bahkan tidak mungkin suatu saat kilang Pertamina akan stop karena minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi tidak ada.

Pembentukan Tim Reformasi yang diketuai Faisal Basri semakin membuat Pertamina menjadi terang benderang di mata publik. Namun sebenarnya jauh hari sebelum Pemerintah membentuk Tim Reformasi, didalam tubuh Pertamina dengan diliputi kesadaran untuk melakukan perubahan sudah mulai merintis langkah strategis agar Pertamina tidak saja survive tetapi mampu mewujudkan Visi menjadi "Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia. Misi: Menjalankan usaha minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan secara terintegrasi, berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat".

Pertamina yang terus menjadi sasaran tembak, tentu aspek negatif yang masih dalam upaya untuk perbaikan menjadi bahan berita yang seksi, sedangkan perubahan positif dapat dikatakan "nyaris" tidak terberitakan secara masif. Tipikal jurnalis yang mencari berita yang layak jual, tentu tidak dapat disalahkan juga. Salah satu sasaran tembak adalah Petral yang diibaratkan sebagai sarang mafia.

Berikan Blok Habis Masa Kontrak ke Pertamina

Hiruk pikuk pemberitaan seputar akan habisnya blok Mahakam menjadi konsumsi pers. Diluar keramaian media, Pertamina sudah mendapatkan pengalihan Blok Kampar dan Blok Siak yang habis kontraknya dari KKS asing. Memang kedua blok tersebut tidak besar, dan menjadi signifikan jika blok Mahakam diberikan ke Pertamina. Banyak yang menyangsikan apakah Pertamina mampu mengelola blok Mahakam!!.. Pengalaman Pertamina mengelola ONSWJ yang bahkan mampu menaikkan kapasitas produksinya 100% dalam kurun waktu sekitar 4 tahun  menunjukkan bahwa SDM Pertamina sudah memiliki kualifikasi yang sama dengan SDM KKS Asing. Jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak memberikan pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina, KKS lama yaitu Total bisa saja dilibatkan tetapi dengan porsi saham minimal, tetapi jika dialihkan 100% ke Pertamina pasti bisa juga dikelola dengan baik. Jika diawal ada penurunan produksi adalah wajar sebagai masa transisi, tetapi melihat prestasi di ONSWJ, maka Pertamina sudah siap!!.

Salah satu program Nawacita Jokowi-JK yaitu ketahanan dibidang energi harus diterjemahkan salah satunya adalah ketahanan stok nasional yang dikuasai negara. Jika blok Mahakam diberikan ke Pertamina, maka secara tidak langsung negara akan memiliki kekuasaan untuk mengelola stok nasional. Pemerintah harus berkaca pada kemampuan Petronas yang menguasai 50% produksi minyak dalam negeri Malaysia telah memberikan kestabilan neraca energi yang lebih baik. Kompetisi Pertamina dengan perusahaan lain tetap perlu, namun memastikan penguasaan 50% produksi minyak mentah nasional dibawah kendali negara juga tidak kalah pentingnya karena merupakan amanat UUD 1945 pasal 33.

Bekerja Dalam Diam

Ditengah hiruk pikuk perpolitikan nasional dan isu-isu sektor migas, dalam kesenyapan berita "yang baik" tentang Pertamina, jajaran manajemen dan karyawan terus bekerja keras menterjemahkan kebijakan Pemerintah dalam ketahanan energi. Proyek Refining Development Masterplan Program (RDMP) di 5 kilang minyak yang dimiliki Pertamina akan meningkatkan daya saing Pertamina yang tinggi dikawasan Asia Pasifik. Selama ini kilang minyak Pertamina mengolah minyak jenis light sweet crude yang berharga mahal. Dengan RDMP ini kilang-kilang Pertamina akan mampu mengolah minyak-minyak sour crude yang lebih murah. Di dukung dengan kompleksitas yang tinggi, margin akan semakin baik sehingga secara rata-rata akan menjadi yang paling kompetitif di kawasan Asia Pasifik. Melalui RDMP maka diproyeksikan akan meningkatkan kemampuan mengolah minyak mentah dari posisi sekarang sekitar 820 ribu barel perhari menjadi sekitar 1,68 juta barel perhari atau meningkat 2 kali lipat, serta kemampuan mengolah sulfur yang lebih baik mencapai 2,0% dibandingkan saat ini maksimal 0,2%. Proyek RDMP juga akan meningkatkan output hasil kilang yang diperkirakan mencapai 1,52 juta barel perhari dibandingkan saat ini 620 ribu barel perhari. Jika dibayangkan RDMP selesai dalam waktu 1 tahun maka Indonesia akan bebas impor BBM. Tapi RDMP membutuhkan beberapa tahun, yang menjadi pertanyaan jika proyek RDMP dimulai beberapa tahun lalu, tentu tahun ini sudah tidak impor BBM lagi. Namun lebih baik terlambat dibandingkan tidak sama sekali.

Antisipasi Indonesia mengimpor banyak minyak mentah yang sekaligus meningkatkan cadangan pasokan, telah diantisipasi Pertamina dengan membangun kilang penampungan, seperti di Refinery Unit II Dumai.

Antisipasi Bisnis

Peningkatan kemampuan kilang harus diantisipasi oleh Pertamina dengan produk turunan lain selain BBM seperti pelumas, aspalt, green coke dan lainnya. Sehingga penting pula untuk memperkuat "merek" produk Non BBM serta jangkauan distribusi dan penguasaan pasar. Jika kemampuan kilang Pertamina naik 2X lipat, maka dapat diasumsikan produk Non BBM akan meningkat pula sekitar 2X lipat pada waktu yang bersamaan. Jika peningkatan produk BBM dapat langsung diserap dalam bentuk Pemerintah mengurangi bahkan menstop impor BBM, namun produk Non BBM harus mencari jalan sendiri agar terserap di pasar.

Tidak kalah pentingnya adalah kemampuan Pertamina melakukan sinergi antara holding dengan anak usaha, antar anak usaha, antara anak usaha dengan cucu usaha, bahkan antar cucu usaha. Salah satu sinergi yang penting adalah di jalur distribusi dan pemasaran. Dahulu kala di Telkom, setiap produk memiliki distribusi dan outlet sendiri seperti kantor Telkom, Grapari Telkomsel, kantor Flexi. Sekarang tentu tidak ditemukan lagi. Jangankan kantor, bahkan Telkom melakukan penjualan secara bundling dari berbagai produk yang dimilikinya. Maka antisipasi serupa harus dilakukan oleh Pertamina, minimal SPBU yang sudah tersebar dimana-mana akan dapat dijumpai produk retail pertamina. SPBU adalah salah satu sarana pemasaran yang strategis. Bahkan dahulu kala saat voucher pulsa masih belum dijual menggunakan pulsa elektrik, sales pulsa bekerjasama dengan beberapa SPBU untuk menjual voucher tersebut.

Keputusan Pemerintah yang menghilangkan subsidi BBM di Jawa, Madura dan Bali, harus mampu disikapi dengan "SPBU yang dipercantik". Dahulu kala, program Pertamina Pasti PAS adalah jaminan mutu pelayanan dan standar SPBU, namun saat ini sudah tidak seperti itu, mungkin sertifikasi pasti PAS masih ada, tetapi kenyataannya seolah-olah "Pasti PAS yang dahulu kayaknya lebih baik dibandingkan Pasti PAS yang sekarang".

Transformasi Pertamina Dimulai

Upaya transformasi di Pertamina yang sudah dimulai dapat jodoh dengan CEO yang dikenal sebagai CEO transformasi. Sosok Dwi Soetjipto tidak dapat dipungkiri adalah CEO yang sudah membuktikan mampu melakukan transformasi perusahaan dengan baik, kemampuan menyatukan 3 BUMN yaitu Semen Gresik, Semen Padang dan Semen Tonasa menjadi bersinergi adalah menunjukkan kemampuan sosok Dwi Soetjipto untuk melakukan perubahan. Dalam kurun waktu 9 tahun memimpin Semen Gresik Group yang saat ini menjadi Semen Indonesia Group mampu menaikkan kapasitas produksi hampir 100%, menaikkan keuntungan hampir 1.000% dan menjadikan Semen Indonesia perusahaan semen terbesar di Asia Tenggara. Atas keberhasilan ini, maka berbagai penghargaan sebagai CEO terbaik diraih Dwi Soetjipto.

Mungkin publik belum merasakan gebrakan Pertamina dan Dwi Soetjipto, namun hal tersebut wajar karena hiruk pikuk dan kegaduhan nasional serta ekses kegaduhan tentang Pertamina akan menutupi prestasi kecil yang sudah diraih. Kelak prestasi kecil ini akan menjadikan Pertamina lebih percaya diri dan menggelinding bagai bola salju menjadi prestasi yang besar di kemudian hari.

Keberhasilan Pertamina merubah sistem tender pengadaan minyak mentah impor yang awalnya berpusat di PETRAL menjadi melebur di dalam Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina kelak akan menghasilkan perubahan dan penghematan yang signifikan. Hal yang sangat terlihat adalah tidak lagi harus membuka Letter of Credit yang nilainya sangat besar sekitar Rp 60 triliun, dapat dibayangkan sudah berapa penghematan dari fee ke bank untuk penerbitan jaminan tersebut. Dari aspek operasional, akan timbul kompetisi yang ketat dalam penentuan harga karena posisi PETRAL sama dengan pemasok lain. Perubahan kontrak dari FIC menjadi FOB tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga turut menjaga agar tidak semakin banyak devisa negara yang lari keluar, jika dalam pelaksanaannya Pertamina memberikan kesempatan pada perusahaan nasional atau dilaksanakan oleh anak usaha sendiri pada jasa pengakutan menggunakan kapal. Jadi perubahan ini tidak hanya dilihat pada aspek keuntungan untuk Pertamina, tetapi juga keuntungan bagi Pemerintah. Konon setiap akhir bulan dimasa lalu dollar menguat karena Pertamina butuh dolar banyak untuk impor. Jika komponen impor yang dibayar dalam dollar berkurang, tentu tekanan terhadap rupiah juga akan turun.

Kita tunggu kejutan dari Pertamina. Setelah bekerja dalam diam, tentu publik akan tersentak jika suatu saat Pertamina mencapai prestasi yang fenomenal. "Ooo...ternyata Pertamina bisa!!!..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun