Korupsi telah mengakar dan melekat kuat mengiringi kehidupan masyarakat indonesia. Praktik korupsi dapat ditemui di segala sektor publik dan telah menyebar secara holistik, oleh karena itu korupsi di indonesia merupakan masalah yang kronis dan tersistematis. Korupsi tidak hanya bersemayam pada instansi dan lembaga pemerintahan, tetapi juga eksis pada lingkungan satuan pendidikan.Â
Problematika korupsi di indonesia merupakan hal krusial yang perlu ditangani bersama, tidak hanya oleh pemerintah saja namun juga turut melibatkan masyarakat luas secara aktif. Upaya pemberantasan korupsi perlu dilakukan disegala sektor, termasuk pada sektor pendidikan. Sektor pendidikan berperan besar dalam mencetak dan menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa, maka melalui pendidikan upaya pemberantasan korupsi perlu di edukasikan dan diseminasikan, salah satunya pada pendidikan perguruan tinggi. Lingkungan pendidikan perguruan tinggi dapat menjadi wadah candradimuka dalam membentuk karakter dan moralitas para mahasiswa.Â
Dalam upaya memberantas korupsi pada perguruan tinggi, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi (Rakornas PAK) tahun 2018 lalu yang pada kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari kegiatan tersebut dihasilkan komitmen penerapan pendidikan karakter dan budaya antikorupsi yang ditandatangani Menristekdikti, Mendikbud, Menag, Mendagri dan KPK.Â
Kemudian sebagai bentuk komitmen lanjutan, Menristekdikti menerbitkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Adanya kebijakan terkait penyelenggaraan pendidikan antikorupsi tersebut di intensikan dapat mencetak generasi yang bebas korupsi. Selain itu, KPK juga menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai bagian dari "Trisula" pemberantasan korupsi selain dari pencegahan dan penindakan.Â
Berdasarkan Permenristekdikti No 33 Tahun 2019, pendidikan antikorupsi merupakan proses pembelajaran dan pembentukan perilaku yang diselenggarakan pada perguruan tinggi yang berkaitan dengan pencegahan perilaku koruptif dan tindak pidana korupsi. Pendidikan antikorupsi wajib diselenggarakan melalui mata kuliah. Pimpinan perguruan tinggi bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pelaporan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi.
Sebagai seorang akademisi, tentu pimpinan perguruan tinggi beserta civitas akademika kampus mengemban amanah yang berat untuk membentuk dan memastikan perilaku peserta didiknya atau mahasiswa bebas dari perilaku koruptif. Seorang akademisi juga dituntut menjadi role model keteladanan untuk memiliki integritas yang tinggi dan bebas dari perilaku koruptif. Dengan optimalnya pembentukan karakter dan kepribadian yang dimiliki akademisi tentu akan berpengaruh baik pada penyelenggaraan pendidikan antikorupsi pada perguruan tinggi.Â
Namun beberapa bulan belakangan ini telah terdengar informasi bahwa Rektor pada salah satu Universitas Negeri di Indonesia telah di OTT oleh KPK karena dugaan suap yang dilakukan saat penerimaan mahasiswa baru. Kejadian tersebut membuat miris dan cukup menimbulkan perasaan berawai pada masyarakat terlebih lagi masyarakat yang tergolong akademisi. Bagaimana tidak seorang pimpinan universitas yang seyogianya menjadi role model dalam implementasi pendidikan antikorupsi justru malah melakukan tindakan amoral dan pidana tersebut yang tentu saja merugikan banyak kalangan.Â
Selain itu, beberapa tahun kebelakang juga telah ditemukan kasus korupsi yang dilakukan akademisi perguruan tinggi, melibatkan para pimpinan perguruan tinggi, guru besar dan dosen-dosen. Terdapat 4 kasus korupsi yang melibatkan Rektor berdasarkan data yang ditemukan penulis, yakni 2 Rektor yang korupsi pada saat masih menjabat dan 2 mantan Rektor di perguruan tinggi di Indonesia, belum lagi tindakan korupsi yang dilakukan akademisi seperti dosen dan tenaga kependidikan lainnya. Â
Berdasarkan keterangan ICW (Indonesia Corruption Watch), terdapat 240 kasus korupsi pada sektor pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum: dari sekolah hingga perguruan tinggi. Pada akhir 2021 negara mengalami kerugian sebesar 1,6 triliun akibat kasus korupsi pada sektor pendidikan dalam 6 tahun terakhir. ICW menyakini kerugian negara jauh lebih besar lantaran terdapat beberapa kasus yang belum diketahui besaran kerugiannya yang berdampak pada negara.Â
Melihat fenomena tersebut, mungkin cukup wajar jika ada yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi hanya suatu hal yang utopis, tentu cukup wajar jika masyarakat skeptis. Karena pada realitanya elemen yang diharapkan untuk turut serta memberantas korupsi pada akhirnya terjerumus ke dalam lubang tersebut. Wakil Ketua KPK, Ghufron pernah mengatakan bahwa perguruan tinggi menyumbang 86 persen koruptor untuk indonesia. Disini terlihat bahwa koruptor merupakan orang yang "well educated" yakni bagus pendidikannya.Â
Selubung pun tersibak, melalui peristiwa dan data yang diperoleh tersebut perguruan tinggi tidaklah terlepas dari praktik korupsi, bahkan menjadi penyumbang terbanyak pelaku korupsi. Fenomena yang sangat ironi sekali di kalangan akademisi perguruan tinggi.Â
Sepatutnya para akademisi memiliki kesadaran akan buruknya perilaku koruptif dan tindakan korupsi sebelum ia menyadarkan para peserta didiknya. Sebagaimana definisi dari pendidikan adalah usaha sadar, sepertinya "mungkin" saja akademisi tersebut tidak sadar atau tidak ingin menyadari akan buruknya perilaku koruptif dan tindakan korupsi yang dilakukannya tersebut.Â
Perlu diketahui masifnya tindakan korupsi dikarenakan adanya "sistem" yang memadai dan mumpuni untuk melakukan korupsi, sistem yang membuka ruang menormalisasikan korupsi. Sistem tersebut terorganisir dan sistemik berjalan di segala sektor, termasuk pendidikan. Penulis pernah berdiskusi dengan salah satu dosen di perguruan tinggi penulis, beliau mengatakan memang benar untuk memberantas korupsi secara signifikan yakni dengan mengubah sistem, namun sebagai elemen akademisi melakukannya perlu dengan strategi yang subtil dan terencana. Akademisi merupakan masyarakat biasa yang tidak memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengubah sebuah "sistem", dengan menghindarkan diri dan tidak turut serta terlibat dalam sistem yang korup sudah merupakan sebuah upaya yang sukar dan pelik, terlebih lagi tidak hanya sistem saja tapi juga sikap mental dan kultural masyarakat yang seakan menggalibkan fenomena perilaku koruptif.Â
Disini penulis ingin menekankan, dari beberapa pembahasan sebelumnya bukan berarti memberantas korupsi merupakan sesuatu yang lengkara, harapan akan tetap ada. Yang terpenting adalah edukasi dan diseminasi pendidikan antikorupsi di indonesia perlu dimasifkan, dan penegakan hukum terkait tindakan korupsi harus ditekankan. Pendidikan anti korupsi bukan menjadi penggugur tugas dan seremonial belaka, tetapi mampu meningkatkan kesadaran dan wawasan para akademisi seperti dosen-dosen dan mahasiswa walaupun secara perlahan dan inkremental.
Referensi :Â
Permenristekdikti No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi Di Perguruan Tinggi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) :
Anti-Corruption Learning Center (Pusat Edukasi Antikorupsi KPK) :
tempo.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H