Mohon tunggu...
Arief Budimanw
Arief Budimanw Mohon Tunggu... Konsultan - surveyor

rumah di jakarta..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gedoran Depok, Penyerbuan dan Penjarahan Kota Depok saat Zaman Bersiap

19 Juni 2020   02:28 Diperbarui: 19 Juni 2020   02:58 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 7 Oktober 1945, Gerombolan melarang pedagang Indonesia untuk berjualan di Depok apalagi menjual kebutuhan pokok ke orang Belanda. Hari itu juga  terjadi perampokan di rumah asisten Wedana Depok

 Pada 11 Oktober 1945, ribuan orang Indonesia tiba di Depok,  mereka merampok hampir semua rumah yang ada di Depok.  Beberapa gedung dibakar.  Gereja hancur total. Orang eropa dan orang Kristen dikumpulkan di sebuah gedung besar di belakang stasiun Kereta api. Laki, perempuan, tua, muda, anak-anak semuanya ditelanjangi dan ditahan disitu.  Dunia luar tidak tahu apa yang terjadi.  Banyak pembunuhan terjadi. Ada gerombolan yang sangat hobi memotong kepala orang yang mereka anggap kaki tangan NICA.  Mereka jadi sangat disegani.  

Namun  penduduk Depok Kristen ada yang berhasil melarikan diri dan  mengungsi ke Jakarta. Pada saat itu jurnalis Belanda Johan Fabricius (1899-1981) tinggal di Jakarta. Pada awal September 1945, ia adalah salah satu koresponden asing pertama yang tiba dari Jakarta. Fabricius kemudian menulis: "Pengungsi, yang berhasil mencapai  Jakarta dengan berjalan kaki, menceritakan kisah yang mengkhawatirkan bahwa banyak kekacauan,  penjarahan dan teror berdarah  terjadi  di Depok." Fabricius memutuskan untuk menyelidiki dengan beberapa wartawan lain.  "Jadi kami pergi ke luar kota, bertanya-tanya seberapa jauh kami akan sampai.  Ternyata tidak jauh.  Di mana jalan samping ke Depok meninggalkan jalan raya, barikade besar kayu gelondongan telah dibuang. "Seorang pemandu Indonesia menjelaskan kepada mereka bahwa penduduk Kristen Depok menolak untuk bergabung dengan Republik  sehingga mereka  diserang.

Pembebasan

 Fabricius, khawatir, kemudian pergi ke Bogor di mana Inggris memiliki perwakilan militer: "Apakah mereka dapat melihat  Depok?" Setelah beberapa diskusi, dia mendapatkan dukungan:  "Yang mengejutkan kami, kami menerima bantuan tidak kurang dari tiga puluh tentara Gurkha".

Ketika mereka tiba di Depok, mereka menyadari skala tragedi itu.  Seorang lelaki tua mengatakan kepada Inggris bahwa wanita dan anak-anak masih dikurung di gedung dekat stasiun kereta.  "Dia membawa kami ke barak polisi Depok.  Bangunan persegi besar itu tampak sepi.  Jendela-jendelanya tertutup, dan tidak ada suara keluar bahkan ketika para Gurkha menendang membuka pintu.  Tak satu pun dari ratusan wanita dan anak-anak yang terperangkap dalam tangisan yang berani.  Matanya gelap, kuyu  penuh dengan ketakutan, menatap cahaya pertama yang masuk.  Hanya setelah mengenali seragam para Gurkha dan melihat beberapa wajah putih barulah sosok yang menyedihkan itu muncul;  seolah-olah gelombang mengangkat mereka dan mengusir mereka keluar.  Menangis, bersorak,  mereka memeluk kami sampai kami jatuh ke tanah.  "

Para pria Depok juga tidak bernasib baik.  Pada 12 Oktober 1945, mereka diikirim ke Penjara Paledang di Bogor.   Seorang saksi di sana: "Orang orang Depok  tak berhenti mengalir, hampir telanjang dan tanpa  kain, badannya  penuh  luka, lengan terangkat dan berteriak keras dari kerumunan di luar penjara, minta masuk.   Mereka berjalan dari Depok  menyeret  kakinya sampai di Bogor.  "Pada hari Minggu, 21 Oktober 1945, orang-orang itu dibebaskan dari penjara oleh Inggris.  Beberapa hari kemudian sebuah reuni dengan para wanita dan anak-anak menyusul.

 Pada bulan Maret 1946, pasukan KNIL Belanda menduduki kota Depok, dan dilakukan penyelidikan.  Hanya setahun kemudian diketahui bahwa setidaknya 35 pembunuhan telah dilakukan di Depok.  Fabricius menerbitkan laporan tentang peristiwa tersebut pada tahun 1947.

 Cerita Fabricius dikritik oleh penulis Beb Vuyk (1905-1991), yang kemudian dikenal, yang baru saja kembali dari interniran Jepang.  Dia merasa bahwa Fabricius terlalu sedikit memperhatikan kesulitan yang diderita rakyat Indonesia.  Orang-orang Depok berperilaku superior terhadap populasi Muslim di sekitarnya selama berabad-abad.  "Pembunuhan dan penjarahan selalu kriminal, tetapi setiap kejahatan ada penyebabnya," tulisnya.  Vuyk bertanya-tanya apakah Belanda belum puas mengumpulkan kemarahan dan kebencian atas pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun.  

Bagi keturunan Belanda Depok dan yang proBelanda juga yang Kristen, akhir era Jepang  sangat singkat namun mengerikan dan mencekam.  Namun bagi orang-orang Depok Islam mungkin mengingat periode itu sebagai periode yang tidak boleh dibahas.

Pengalaman mereka yang selamat dari tragedi  Depok:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun