Mohon tunggu...
Arief Bakhtiar D.
Arief Bakhtiar D. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Twitter: @AriefBakhtiarD │ Instagram: @AriefBakhtiarD │ Goodreads: AriefBakhtiarD

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Resolusi

9 Mei 2016   10:32 Diperbarui: 9 Mei 2016   10:46 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HAMPIR setiap orang di kota, atau agak kota, di awal tahun yang baru, memikirkan sederet resolusi. 

Dan setiap orang berusaha berdiri di bawah bendera resolusi itu—saya mengutak-atik judul buku kumpulan pidato Bung Karno. Sebab kata “resolusi” mirip-mirip “revolusi”: ia adalah perlawanan terhadap diri kita dahulu, menuju diri kita besok. 

Di antara bendera-bendera Tahun Baru yang terkenal adalah kalimat “New Year, new you”. Kalimat itu dikibarkan, ditiupkan berulang-ulang, dan orang-orang lainnya diharap peduli. Kalimat itu tentu saja sebenarnya mustahil: si A tidak akan begitu saja menjadi orang berbeda pada 1 Januari 2014 ketimbang si A pada 31 Desember 2013.

Dari situ kita bisa mengerti: sederet resolusi Tahun Baru tidak selalu baik. Ia kadang hanya bunga kata-kata. Jessica Lamb-Shapiro bahkan menulis artikel yang diberi judul New Year’s Resolutions Are Bad for You di majalah TIME tanggal 30 Desember 2013.

Dalam tulisan itu Lamb-Shapiro merujuk statistik di Amerika: hanya 8 persen yang membuat resolusi Tahun Baru tetap berjalan di bawah bendera resolusi. Beberapa lupa setelah seminggu. Sebabnya, resolusi yang dibuat tidak realistis. Bendera resolusi itu berkibar terlalu tinggi, bahkan seringkali mengubah karakter diri yang telah biasa bertahun-tahun. Padahal kita tidak bisa berpikir, seperti yang dituliskan Steve Salerno di Sham: How the Self-Help Movement Made America Helpless, bahwa “beberapa kata ajaib, beberapa janji, akan secara mejik mengubah hidup mereka”. 

Kita tak bisa punya resolusi, misalnya, menjadi orang yang punya disiplin tinggi dalam sekejap. Kita tak bisa begitu saja ingin menerbitkan sebuah buku puisi laris dari situasi tak pernah terlalu tertarik dengan puisi sebelumnya. Perubahan bukan madu kata-kata. Perubahan itu, tambah Salerno, “keras, meletihkan, dan biasanya mengandung pengorbanan dan pilihan yang tidak mengenakkan”—seperti revolusi.

Tapi kita paham watak manusia: keberhasilan apa pun yang nampaknya instan dan tidak meletihkan itu mengenakkan. Para anak muda kita mudah ditipu untuk bergabung MLM setelah diperlihatkan foto seseorang (katanya bos tapi entah siapa) mejeng di depan kapal pesiar. Kita gampang saja melihat betapa indahnya, dan kepingin, menjadi Justin Bieber atau The Beatles yang dipuja seluruh dunia dan kaya raya. Kita membayangkan betapa enaknya membuat sebuah novel dan dalam waktu tak lama langsung menjadi best seller seperti Laskar Pelangi atau Ayat-Ayat Cinta. Kita mudah ngiler melihat deretan angka nol kekayaan Bill Gates. 

Ironis, bahwa kita tak melihat yang ada di balik itu: bagaimana The Beatles menempuh 10.000 jam bermusik sebelum menginvasi Amerika dan jadi tenar, bagaimana Bill Gates sebenarnya telah bergelut dengan komputer lebih dari 10.000 jam saat dia keluar dari Havard dan terus sukses, atau bagaimana kualitas seorang Habiburrahman El Shirazy sampai dia mampu menulis novel Islami yang puluhan kali cetak ulang.

Kebanyakan orang, sekali lagi, tidak melihatnya secara utuh. Mereka jarang meneliti perjuangan-perjuangan di balik sukses. Kebanyakan orang hanya melihat seakan-akan The Beatles, Bill Gates, dan Habiburrahman El Shirazy memang lahir untuk sukses dan dikagumi—tanpa menanggung sengsara, tanpa keluar peluh.

Maka, mengenai budaya kecanduan resolusi atau penguatan atau  retorika yang menyenangkan jiwa itu, Jessica Lamb-Shapiro memasukkannya sebagai “problem kronis”. Sebab apabila gagal, dan 92% manusia gagal (kalau kita percaya statistik yang dipakai Lamb-Shapiro), maka kegagalan dan ketidakkonsistenan itu berbahaya bagi kepercayaan dan harga diri. 

Solusi dari Lamb-Shapiro: daripada menulis “berat badan berkurang” dalam daftar resolusi, pikirkan langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan, target-target sederhana yang dipraktekkan setiap hari, yang bisa menghasilkan hal itu. Fokusnya pada tindakan atau aksi. Ini seperti kembali pada kebiasaan orang-orang Babilonia: pada zaman dulu orang berjanji pada Tuhan bahwa untuk Tahun Baru ini mereka akan mengembalikan alat-alat pertanian yang mereka pinjam. 

Demi perubahan mendasar itu, ‘revolusi’ itu, langkah-langkah aksi mesti dilakukan satu demi satu. Kalau saya kelak menjadi laki-laki gendut, misalnya, lalu menyesal kenapa membiarkan kegendutan itu terjadi, saya sudah tahu lebih baik membuat daftar resolusi pertobatan berikut: lari-lari kecil keliling perumahan 10 kali tiap pagi, futsal atau renang minimal seminggu sekali, makan dua kali sehari. Poin-poin itu adalah tindakan nyata ketimbang mengatakan ingin bobot turun sekian kilo dalam enam bulan lagi. Lamb-Shapiro mewanti-wanti: jangan ikat resolusi dengan harus dicapai tanggal berapa, dan jangan tunggu setahun untuk mulai lagi bila terpeleset. Sebagai tambahan, kita bisa meniru teologian puritan Amerika Jonathan Edwards yang punya 70 resolusi dan direviu tiap pekan. 

Saya ingat masa kuliah saya dulu. Saya menyangka saya akan lulus perguruan tinggi dalam waktu empat tahun. Sebab saya mengerti: pilihan yang telah dikabulkan Tuhan ini dimulai dengan suka. Bukan dari pertimbangan-pertimbangan masa depan yang materiil. Waktu itu saya amat bergairah. Tapi toh saya lulus hampir lima tahun kemudian. Skripsi yang mestinya saya target pada bulan sekian tahun sekian harus selesai ternyata belum rampung-rampung. Dengan demikian resolusi saya gagal. Dan sekarang saya tahu: ternyata lebih baik punya resolusi menulis 10 halaman per pekan, dan dari situ skripsi bisa selesai selama 10 pekan, ketimbang menunjuk bulan dan tahun.

Tentu ada kemungkinan resolusi meleset. Seorang eksekutif perusahaan yang membuat resolusi menyenangkan di tahun 1998 bisa jadi meleset karena datang masa-masa krisis ekonomi—kita bisa mengandaikan tiba-tiba dia dipecat dari perusahaan. Seorang dosen universitas negeri tahu-tahu diangkat presiden menjadi salah satu menteri di pemerintahannya—dan kehidupannya pun berubah. Sejenak atau lama hal-hal semacam itu membuat kaget. Tapi tentu kita tidak perlu berpikir terlalu rumit: manusia sanggup membuat resolusi baru lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun