Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Fiksi Ramadan] Melelang Sarung 100 Juta Milik Raja

14 Mei 2020   23:37 Diperbarui: 14 Mei 2020   23:44 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, ada sebuah negeri yang rajanya amat gemar mengenakan sarung. Apa pun momennya, sarung menjadi setelan wajib yang harus selalu ia kenakan dalam berbagai kesempatan.

Kebiasaan ini mulanya memang sempat menuai kontroversi. Pasalnya tidak ada seorang raja pun dalam sejarah negeri tersebut yang sebegitu tinggi cintanya terhadap sarung. Beruntung hukum yang berlaku memang memperbolehkan sang Raja memakai pakaian jenis apa pun selama sopan dan nyaman dalam mengemban tugas-tugas kerajaan.

Apalagi sang Raja kerap memakai sarung dengan motif-motif yang kekinian. Memadukan motif berunsur teknologi dengan budaya lama kerajaan yang sarat akan lukisan pemandangan alam. Membuat rakyatnya perlahan bukan hanya mengidolakan sang Raja, tetapi juga mengidolakan sarung-sarung yang dikenakan oleh raja tersebut.

Suatu hari, Raja berkunjung ke suatu daerah untuk menyapa dan mendengarkan aspirasi rakyatnya dalam rangkaian agenda Buka Puasa Bersama. Uniknya, dalam kesempatan tersebut sang Raja mengadakan sayembara berhadiah sarung miliknya sendiri kepada siapa pun yang mampu menyampaikan kritik kepadanya dengan cara paling halus.

Sontak orang-orang yang kebetulan sedang mengikuti perhelatan tersebut mendaftarkan dirinya agar bisa mendapatkan sarung milik Raja yang mereka idam-idamkan. Tak terkecuali dengan Rana, anak muda berusia 22 tahun yang baru saja lulus dari bangku kuliahnya.

Sayembara pun berlangsung dan ternyata Rana keluar sebagai pemenangnya. Nama Rana dipanggil untuk naik ke atas panggung untuk menerima hadiah sarung dari Raja.

Namun dalam perjalanan menuju ke atas panggung Rana justru merasakan hawa-hawa yang aneh. Ia merasa orang-orang disekelilingnya melihatnya dengan tatapan yang penuh rasa iri. Seakan mereka tidak terima kalau Rana adalah yang terpilih untuk mendapatkan sarung milik raja tersebut.

Tanpa sadar, tatapan penuh dengki itu justru memberikan ide baru di kepala Rana. Karenanya, setelah mendapatkan sarung dan berfoto bersama sang Raja, Rana meminta izin kepada Raja untuk berbicara di depan rakyat-rakyatnya.

"Tuan dan puan yang saya hormati, sungguh ini merupakan kebanggan bagi saya ketika bisa dihadiahkan sarung milik pemimpin tertinggi di negeri ini. Meskipun begitu, saya merasa belum pantas untuk mendapatkan hadiah sebesar ini. Karenanya, saya ingin melelang sarung ini saat ini juga di tempat ini. Siapa pun yang mampu memberikan harga tertinggi berhak membawa pulang sarung milik Raja yang ada di tangan saya ini."

Raja pun terbelalak kaget mendengar ucapan dari rakyatnya yang satu itu. Namun kekagetan itu tak ada apa-apanya ketika ia melihat rakyat-rakyatnya mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk menawar sarung yang baru saja ia berikan sebagai hadiah itu.

"Saya berani kasih 5 juta!"

"Saya 10 juta!"

"Kalau begitu saya berikan 20 juta!"

Rakyat begitu riuh menawarkan harga tertinggi untuk sarung sang Raja. Setelah melalui proses lelang yang cukup alot, akhirnya sarung itu berhasil dilelang dengan harga mencapai 100 juta!

Orang yang berhasil memenangkan lelang itu pun diajak naik ke atas panggung untuk menerima sarung dari Rana. Tetapi sebelum memberikan barang itu, Rana ingin melemparkan beberapa pertanyaan.

"Mengapa bapak berani membeli sarung ini sampai harus merogoh kocek hingga 100 juta?"

"Karena ini sarung milik Raja. Jumlahnya sangat langka dan tidak semua orang bisa memilikinya"

"Tapi kan Raja sudah menghadiahkannya kepada saya dan lelang ini pun dilakukan oleh saya. Berarti secara tidak langsung sarung ini memang sudah bukan milik raja tetapi merupakan milik saya bukan?"

Orang itu terdiam diiringi gelak tawa dari sebagian rakyat yang kalah dalam proses lelang. Sang Raja yang melihatnya dari dekat mulai mengangguk-anggukan kepala sambil menyunggingkan senyuman tipis.

Rana kemudian mengarahkan posisi berdirinya menghadap raja dan memulai pidatonya.

"Duhai Raja yang saya hormati, inilah potret rakyat Anda hari ini. Mereka sungguh mengagung-agungkan barang-barang milik Raja karena saking cintanya kepada Anda."

"Tetapi malahan Raja sendiri yang tidak bisa mengelola rasa cinta tersebut dengan sebagaimana mestinya. Alih-alih menggunakannya untuk menyejahterakan rakyat di seantero negeri, Raja justru terus memupuk kepopulerannya agar tak banyak diganggu selama menjabat."

"Ketahuilah bahwa tak sedikit dari rakyat yang hadir hari ini juga berpikiran sama seperti saya untuk melelang sarung milik Raja. Namun kebanyakan tidak punya cukup nyali untuk melakukannya di depan mata sang Raja sendiri dan juga memang tidak berhasil memenangkan kompetisi. Mereka ingin melelang sarung tersebut agar dapat dipergunakan sebagai modal menopang kehidupan yang kian hari terasa semakin menghimpit."

"Karenanya, uang 100 juta yang baru saja saya dapatkan ini setengahnya juga akan saya kembalikan kepada seluruh rakyat yang hadir disini. Agar bisa dibawa pulang dan barangkali bisa sedikit membantu memenuhi kehidupan sehari-hari"

"Tentu saja Raja bisa mengucurkan uang yang jauh lebih besar ketimbang saya yang seorang rakyat jelata ini. Bentuknya pun tak harus kucuran dana segar. Ia dapat berupa bantuan pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Tetapi alih-alih fokus menyediakan layanan bagi rakyatnya, Raja justru memilih untuk menghibahkan sarungnya sebagai cinderamata."

"Saya hanya ingin menitipkan pesan kepada Raja agar semakin bijak dalam mengelola potensi yang dimiliki oleh negeri ini. Apalagi negeri ini sudah dititipi kekayaan yang begitu besar dari Tuhan. Amat disesalkan kalau Raja harus dihadapkan pada pertanggung jawaban yang berat pada hari pertanggung jawaban di akhirat sana."

Seusai menyelesaikan pidatonya, Rana menyerahkan sarung tersebut kepada si pemenang lelang sembari menerima uang 100 juta yang hendak ia bagi dua. Langkah kakinya menuju ujung panggung tiba-tiba terhenti akibat panggilan sang Raja.

"Pidatomu bagus anak muda. Nasehatmu juga tepat menghujam hati saya. Tetapi mengapa kau tidak sumbangkan seluruh uang yang baru saja kau dapatkan itu kepada rakyat? Mengapa hanya setengahnya?"

Rana berbalik lalu menjawab dengan yakin, "Maaf Raja, itu biaya yang saya terima setelah tuntas memberikan kuliah kepada Raja di hadapan para rakyatnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun