Tulisan saya terakhir di Kompasiana berjudul "Salah Kaprah Polisi Tentang APD, Menyayat Hati Para Frontliner". Istilah Frontliner saat itu saya pakai untuk mendeskripsikan seluruh pejuang medis, baik itu dokter, perawat, atau tenaga kesehatan (nakes) lainnya yang sedang berjuang di garda terdepan menghadapi pandemi COVID-19.
Kenyataannya, tulisan tersebut mendorong beberapa kawan saya untuk mendiskusikan satu pertanyaan sederhana. Benarkah dokter dan nakes itu dapat disebut sebagai frontliner?
Istilah frontliner sendiri umum dipakai dalam terminologi peperangan. Mereka yang disanjung sebagai seorang frontliner adalah mereka yang berhadapan langsung dengan musuh. Karenanya, mereka menjadi pihak yang paling besar mempertaruhkan nyawanya dalam peperangan tersebut.
Uniknya, dalam perang sungguhan, barisan dokter dan nakes memang tidak pernah ditaruh di posisi terdepan. Mereka selalu berada di posisi paling belakang. Posisi yang amat dekat dengan jantung pertahanan.
Penempatan dokter dan nakes di posisi ini tentu bukan tanpa alasan. Mereka harus dilindungi habis-habisan ketika mereka tengah bekerja mengobati para prajurit yang terluka. Andai dokter berguguran, maka jumlah prajurit akan langsung berkurang signifikan karena tidak ada lagi yang dapat membantu mereka dalam proses penyembuhan.
Dengan kata lain, menempatkan dokter dan nakes di garda terdepan adalah langkah bunuh diri bagi kubu mana pun yang hendak memenangkan peperangan.
Seorang anestesiologis dari Atlanta, Dr. Michelle Au, membagikan pandangannya terkait sanjungan frontliner yang banyak disematkan orang-orang kepada para dokter dan nakes selama pandemi ini terjadi.
Menurut Dr. Michelle, dokter dan nakes tidak seharusnya ditempatkan di garis depan dalam peperangan apa pun. Hal ini dikarenakan jumlah sumber daya medis terbatas, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya fasilitas kesehatan.
Pun dalam kondisi pandemi COVID-19, rumah sakit tetap harus melayani pasien dengan berbagai kebutuhan di luar penanganan pasien virus Corona. Ada pasien kanker, pasien bedah, pasien cuci darah, hingga pasien yang harus melahirkan bayi tercintanya. Semua pelayanan itu tetap berjalan di tengah tingginya kebutuhan tenaga medis akibat COVID-19.
Sebagai gantinya, Dr. Michelle menyatakan kalau dokter dan nakes lebih tepat disebut sebagai last line of defence alias garis terakhir pertahanan. Mereka adalah para pejuang terakhir yang harus mengobati sebanyak-banyak pejuang dari garis depan sambil menjaga diri agar tidak mati.
Lantas siapa yang harus menjadi frontliner dalam perang melawan virus SARS-CoV-2 ini?
Jawabannya adalah Anda yang sedang membaca tulisan ini. Anda dan saya yang memiliki profesi apa pun di luar dokter dan paramedis. Kitalah frontliner dalam pandemi kali ini.
Berbagai macam senjata telah diberikan kepada kita untuk berjuang di garis terdepan ini. Seperti physical distancing, membiasakan cuci tangan dengan sabun, atau kiat-kiat menerapkan pola hidup sehat dan bersih.
Senjata-senjata itu harus kita gunakan untuk melindungi diri, keluarga, serta orang-orang yang ada di lingkungan kita. Jangan sampai mereka dibiarkan terkena virus Corona, lalu menjadi pasien dan akhirnya semakin memberatkan kerja dokter dan nakes di garis belakang sana.
Kita harus membentuk barisan yang kokoh agar laju pertambahan pasien dapat ditekan. Kalau perlu, kita ikut menggalang dana untuk membekali dokter dan nakes itu dengan masker dan APD yang sesuai, agar mereka juga tak mudah tertular virus dari pasien yang mereka tangani.
Kelak, langkah kecil kita ini juga akan dicatat oleh sejarah. Anak cucu kita kelak akan belajar dari para pendahulunya, bahwa pandemi virus Corona ini dapat dikalahkan bukan hanya oleh dokter. Tetapi juga oleh kita yang bukan siapa-siapa.
Selamat berjuang di garis terdepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H