Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Waktunya Menagih Hak Perempuan dalam Omnibus Law Cipta Kerja

8 Maret 2020   19:18 Diperbarui: 9 Maret 2020   07:44 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo aliansi buruh wanita (Indonesia Inside)

Tanggal 8 Maret kembali diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day). Berbagai poster ucapan berseliweran di lini masa media sosial dengan substansi beragam.

Ada yang mengajak untuk lebih menghargai kaum puan, mengapresiasi para wanita pelestari budaya, ada pula yang mengampanyekan kembali tagar #bodypositivity yang beberapa hari lalu diangkat oleh Tara Basro.

Peringatan ini memang baru mendapat restu dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1977. Namun perayaannya sendiri sudah lebih dulu digelar sejak tahun 1917 di Uni Soviet.

Alasan utama yang melatari peringatan ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ilmuwan. Tetapi sejarah mencatat, para pekerja wanita selalu berada di garis terdepan dalam menyuarakan aspirasinya. Mereka secara rutin turun ke jalan setiap masuk bulan Maret tanggal kedelapan.

Karenanya, peringatan Hari Perempuan Internasional di tahun 2020 ini hendaknya kita jadikan momen untuk menyambung estafet perjuangan para pekerja wanita itu dengan hal yang kurang lebih sama. Kita mulai dari membedah RUU 'sapu jagat' Omnibus Law Cipta Kerja.

Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dirilis oleh DPR terdiri dari 1028 halaman dengan 174 pasal yang beranak-pinak. Uniknya, penyebutan kata perempuan hanya berjumlah satu kali pada Pasal 153 di halaman 569 sebagai berikut.

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Bila dibaca secara sederhana, tentu yang ada di pikiran kita adalah bahwa "negara menjamin pengusaha tidak boleh memecat perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau sedang dalam masa menyusui."

Namun bila dibaca secara lebih seksama, hal ini berarti bahwa pemerintah hanya melarang pengusaha memecat para pekerja wanita itu tanpa menggariskan jaminan hak apa yang perlu dipenuhi oleh para pengusaha.

Pemerintah tidak mau ambil pusing dengan menetapkan berapa lama cuti minimal yang diperbolehkan untuk tiap kasus di atas. Kebijakan itu diserahkan sepenuhnya ke tangan pengusaha yang begitu rentan menggerus kepentingan pekerja wanita.

Ambil contoh kasus, pengusaha hanya memberikan jatah cuti hamil plus melahirkan selama 2 minggu di dalam kontrak. Kemudian seorang pekerja wanita rupanya harus beberapa kali melakukan pemeriksaan kandungan hingga tak terasa sudah menghabiskan 1,5 minggu cuti sebelum melahirkan.

Tentu saja mau tak mau ia harus mengambil cuti ekstra sebab tidak mungkin ia segera masuk bekerja beberapa hari setelah melahirkan. Lantas apakah pengusaha berpeluang memecat pekerja wanita yang satu ini?

Jawabannya, tentu saja iya. Dalih yang digunakan oleh pengusaha ialah bahwa si pekerja sudah melanggar kontrak yang ia tandatangani sendiri. Sehingga sang pengusaha bebas dari jeratan hukum RUU Cipta Kerja.

Hal yang tidak kalah pentingnya, RUU Cipta Kerja juga tidak mengatur hak cuti seorang suami pasca istrinya melahirkan. Cuti yang satu ini begitu krusial sebab kehadiran suami di sisi istri pada masa ini dapat mempecepat pemulihan dan meminimalkan risiko yang dapat terjadi pada sang ibu beserta bayinya yang baru lahir.

Oleh karenanya, negara perlu mendukung peran krusial suami tersebut lewat penjaminan yang dituangkan dalam RUU Cipta Kerja. Jangan sampai keselamatan sang ibu dan bayinya terancam hanya karena suami sibuk mengabdi kepada pengusaha.

Omnibus Law yang satu ini juga belum mengatur cuti haid. Padahal tak sedikit wanita dapat mengalami gejala premenstrual syndrome (PMS) yang amat berat. Prevalensinya mencapai 2 juta kasus per tahun di Indonesia.

Tanpa jaminan cuti, para wanita yang mengalami kondisi ini terpaksa harus tetap bekerja, bagaimana pun caranya. Tak sedikit yang memilih untuk mengonsumsi obat-obatan pereda nyeri. Padahal obat-obatan tersebut memiliki dampak degeneratif yang dapat mengganggu kestabilan hormon dan mempercepat datangnya masa menopause.

Jangan lupakan juga hak-hak pekerja wanita lainnya yang sering dilanggar oleh para pengusaha. Mulai dari penyediaan ruang laktasi di tempat kerja, hingga jaminan keamanan serta perlindungan dari aksi kejahatan seksual di tempat kerja. Nyatanya meski sudah diatur di undang-undang lama, amat banyak pengusaha yang tidak mematuhinya.

Mirisnya, aturan-aturan yang kerap dilanggar pengusaha itu semakin tak terlihat di dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah seakan ingin lebih menggerus lagi hak para pekerja wanita yang sudah sedikit jumlah realisasinya.

Pertanyaan besar pun seharusnya muncul di kepala tiap-tiap kita. Seperti: apakah atas nama investasi dan kemajuan ekonomi, para srikandi keluarga ini harus dibiarkan bekerja tanpa jaminan perlindungan yang kuat dari negara?

Atau pertanyaan seperti: apakah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak dilibatkan dalam penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja? Kalau sudah dilibatkan, mereka sesungguhnya sedang membela kepentingan perempuan yang mana?

Mari lanjutkan pengawalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun