Tentu saja mau tak mau ia harus mengambil cuti ekstra sebab tidak mungkin ia segera masuk bekerja beberapa hari setelah melahirkan. Lantas apakah pengusaha berpeluang memecat pekerja wanita yang satu ini?
Jawabannya, tentu saja iya. Dalih yang digunakan oleh pengusaha ialah bahwa si pekerja sudah melanggar kontrak yang ia tandatangani sendiri. Sehingga sang pengusaha bebas dari jeratan hukum RUU Cipta Kerja.
Hal yang tidak kalah pentingnya, RUU Cipta Kerja juga tidak mengatur hak cuti seorang suami pasca istrinya melahirkan. Cuti yang satu ini begitu krusial sebab kehadiran suami di sisi istri pada masa ini dapat mempecepat pemulihan dan meminimalkan risiko yang dapat terjadi pada sang ibu beserta bayinya yang baru lahir.
Oleh karenanya, negara perlu mendukung peran krusial suami tersebut lewat penjaminan yang dituangkan dalam RUU Cipta Kerja. Jangan sampai keselamatan sang ibu dan bayinya terancam hanya karena suami sibuk mengabdi kepada pengusaha.
Omnibus Law yang satu ini juga belum mengatur cuti haid. Padahal tak sedikit wanita dapat mengalami gejala premenstrual syndrome (PMS) yang amat berat. Prevalensinya mencapai 2 juta kasus per tahun di Indonesia.
Tanpa jaminan cuti, para wanita yang mengalami kondisi ini terpaksa harus tetap bekerja, bagaimana pun caranya. Tak sedikit yang memilih untuk mengonsumsi obat-obatan pereda nyeri. Padahal obat-obatan tersebut memiliki dampak degeneratif yang dapat mengganggu kestabilan hormon dan mempercepat datangnya masa menopause.
Jangan lupakan juga hak-hak pekerja wanita lainnya yang sering dilanggar oleh para pengusaha. Mulai dari penyediaan ruang laktasi di tempat kerja, hingga jaminan keamanan serta perlindungan dari aksi kejahatan seksual di tempat kerja. Nyatanya meski sudah diatur di undang-undang lama, amat banyak pengusaha yang tidak mematuhinya.
Mirisnya, aturan-aturan yang kerap dilanggar pengusaha itu semakin tak terlihat di dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah seakan ingin lebih menggerus lagi hak para pekerja wanita yang sudah sedikit jumlah realisasinya.
Pertanyaan besar pun seharusnya muncul di kepala tiap-tiap kita. Seperti: apakah atas nama investasi dan kemajuan ekonomi, para srikandi keluarga ini harus dibiarkan bekerja tanpa jaminan perlindungan yang kuat dari negara?
Atau pertanyaan seperti: apakah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak dilibatkan dalam penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja? Kalau sudah dilibatkan, mereka sesungguhnya sedang membela kepentingan perempuan yang mana?
Mari lanjutkan pengawalan.