Pernyataan Deputi Bidang Statistik Sosial di BPS, Margo Yuwono, yang menyebut kalau sensus penduduk di Indonesia jauh lebih murah daripada di Australia, perlu pembuktian.Â
Sebagaimana dikutip dari Republika (16/2), menurut Margo harga sensus per kepala di Indonesia hanya sebesar Rp 14 ribu. Sementara harga sensus per kepala di Australia dapat mencapai Rp 1,4 juta.
Klaim tersebut tentu tidak salah jika kita sekedar melihat angka. Tetapi, apakah konteksnya juga tepat dan bersesuaian?
Mari kita buktikan.
Pada tahun 2010, BPS menghabiskan biaya sensus sebesar Rp 3,3 triliun. Nilai ini meningkat 10% dari rencana awal anggaran sensus yang mencapai Rp 3 triliun.Â
Nilai tersebut juga kurang lebih setara dengan $ 276,6 juta setelah dikonversi dengan kurs rata-rata pada tahun 2019 yang mencapai Rp 11.930/USD.
Hasil sensus tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.556.363 jiwa. Oleh karena itu, anggaran sensus penduduk tahun 2010 per kepala didapat sebesar $ 1,16.
Adapun pada tahun 2020 ini, BPS merencanakan anggaran sebesar Rp 4 triliun untuk mengadakan sensus yang memiliki tahapan online. Andai kita terapkan kasus yang sama pada 2010, anggaran tersebut berpotensi membengkak sebesar 10% di akhir sensus hingga mencapai angka Rp 4,4 triliun.
Rataan kurs pada tahun 2019 yang lalu adalah Rp 14.136/USD. Karenanya, anggaran Rp 4,4 triliun itu setara dengan $ 311,2 juta.Â
Penduduk Indonesia pada tahun 2020 sendiri diperkirakan mencapai 269,6 juta jiwa berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015. Maka dari itu, anggaran sensus per kepala tahun 2020 didapat sebesar $ 1,15.
Andaikan kenaikan sebesar 10% tersebut tidak terjadi. Katakanlah BPS benar-benar bisa mengatur operasionalnya sehingga tidak memerlukan tambahan anggaran. Hasilnya anggaran sensus per kepala di tahun 2020 akan turun menjadi $ 1,05.
Dengan kata lain, perhitungan yang sangat kasar ini mengisyaratkan bahwa peluang penghematan anggaran dari penerapan sistem online di sensus 2020 dapat berkisar pada rentang 0,8-9,4%.
Apakah nilai tersebut tergolong signifikan? Saya belum bisa menyimpulkan. Apalagi membandingkan nilai tersebut dengan harga sensus di negara lain.
Sebagai gambaran, sensus penduduk di Finlandia pada tahun 2010 hanya sebesar 0,2 Euro per kepala. Sensus penduduk pada tahun yang sama memakan biaya 6,2 Euro per kepala di Inggris dan 13,6 Euro per kepala di Swiss.
Artinya bahwa harga sensus per kepala di negara yang berbeda tidak bisa dikomparasikan dengan melihat nilainya saja. Ada banyak faktor internal yang lebih berpengaruh, seperti kondisi geografis dan kebutuhan negara akan kompleksitas data.
Karenanya, untuk mengatakan bahwa anggaran sensus online 2020 itu lebih murah, hanya bisa dibandingkan dengan anggaran sensus pada periode sebelumnya. Dan berdasarkan hasil perhitungan kasar di atas, nampaknya tidak terlihat penghematan yang cukup signifikan.
Lantas muncullah beragam pertanyaan. Mengapa anggaran sensus yang sudah menerapkan sistem online masih sebesar itu? Apakah target sensus online masih terlalu kecil?Â
Lalu pos biaya apa yang membuat anggaran sensus membengkak? Jangan-jangan sistem online memang belum bisa menggantikan pos biaya yang bengkak tersebut.
Anda memiliki jawabannya? Beritahu saya lewat kolom komentar di bawah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI