Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengeruk Permata di Natuna

12 Januari 2020   15:22 Diperbarui: 13 Januari 2020   04:00 3428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekisruhan di Natuna memang berawal dari masuknya kapal-kapal Coast Guard ke perairan Natuna yang membersamai kapal nelayan Cina untuk menangkap ikan. Namun jika kita hendak bersikap lebih jujur, pangkal permasalahannya justru datang dari negara kita sendiri.

Statistik mencatat, Indonesia baru dapat memanfaatkan 46% dari keseluruhan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan di Natuna pada tahun 2014. Hal ini berarti bahwa lebih dari setengah potensi belum termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia di Natuna.

Sementara pada saat yang bersamaan, Cina mulai kewalahan dalam memenuhi kebutuhan ikan di dalam negerinya sendiri. Maka wajarlah mereka mencari sumber tangkapan baru di bawah garis batas Laut Cina Selatan.

Karenanya, dalam kasus Natuna hari ini, Indonesia belum memiliki posisi tawar yang cukup mengenakan. Klaim geografis tentu saja boleh dilakukan. Tetapi jika minim pemanfaatan, pasar pun tahu harus berpihak kepada siapa.

Oleh karena itu, satu-satunya cara meningkatkan posisi tawar Indonesia di Natuna adalah dengan menggencarkan pemanfaatan, mulai dari ikan. Pemerintah perlu membuka izin kepada kapal-kapal bertonase lebih besar untuk dapat melakukan penangkapan.

Sudah rahasia umum pula kalau beberapa pengusaha kapal enggan mengurus izin karena tidak ingin dikenakan biaya pajak dari hasil tangkapan. Di sinilah pemerintah perlu mengirimkan negosiator ulung agar tak kalah dengan para pengemplang pajak.

Tetapi Natuna bukan hanya tentang ikan. Perairan yang terbentang dari Kepulauan Natuna hingga ke Kepulauan Lingga itu justru memiliki banyak permata yang tidak kalah menariknya.

Permata pertama bernama gas alam. Total volumenya dapat mencapai 222 TCF (trillion cubic feet) dan baru 46 TCF diantaranya yang sudah dimanfaatkan sebagai sumber hidrokarbon. Jumlah ini hampir setengah kalinya cadangan gas alam Canada pada tahun 1992 sebesar 97 TCF.

Perhitungan potensi dari cadangan gas alam di Natuna ini pernah diselenggarakan pada tahun 2001 oleh Pertamina EP bekerja sama dengan Universitas Oxford. 

Hasilnya, penerapan teknologi gas-to-liquid (GTL) dan dry reforming di Natuna saja sudah dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar cair Indonesia untuk 18 tahun ke depan! Hanya dari Natuna.

Itu baru permata pertama. Mari lanjutkan ke permata kedua.

Offshore gas alam Chevron di Indonesia. Sumber: oilprice.com
Offshore gas alam Chevron di Indonesia. Sumber: oilprice.com

Permata kedua di Natuna ialah Crustaceae. Komoditasnya dapat berupa udang dan lobster dengan besaran masing-masing dapat mencapai 11,9 ribu ton/tahun dan 500 ton/tahun.

Tentu saja kedua komoditas ini dapat dijual dengan harga murah sebagai kelompok ikan beku di pasaran dunia. Namun ada senyawa yang lebih menarik dari Crustaceae, yakni kitin dan kitosan.

Kitin dan kitosan umum dikenal sebagai biomaterial. Mereka dapat bertindak sebagai koagulan alami, zat warna, adsorben limbah logam berat, anti jamur, flokulan, hingga anti kanker dan anti bakteri.

Struktur kitosan--muchong.com
Struktur kitosan--muchong.com
Karena kemampuannya itu, industri seperti kosmetik dan farmasi berlomba-lomba mendapatkannya. Maka tak heran jika nilai pasarnya dapat menembus angka USD 611 juta pada tahun 2018 kemarin.

Sayangnya belum banyak pengusaha lokal yang melirik kedua senyawa ini. Jumlah pelaku industrinya mungkin masih bisa dihitung jari dengan kapasitas produksi yang kecil-kecil.

Adapun permata ketiga di Natuna ialah gelombang laut sebagai potensi energi terbarukan. Pusatnya ada di bagian timur Pulau Bunguran dengan produksi listrik tertinggi dalam satu bulan dapat mencapai 111,4 MWh (Idris & Gammaranti, 2018).

Permata yang satu ini juga sama sekali belum disentuh, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Yang ada barulah kumpulah hasil assesmen yang tertumpuk rapi di kantor pusat Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI).

Jika kita merujuk kembali kepada konstitusi, tentulah kita akan sampai pada pasal dan ayat yang satu ini:

"Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,"

- Pasal 33 UUD 1945 ayat (3)

Bila direnungi, kita pasti mendapati bahwa konstitusi secara tegas mengamanatkan pemanfaatan di atas kaidah kepemilikan. Bukan sekadar dikuasai dan tidak digunakan sama sekali. Ada kesejahteraan rakyat yang dihutangi dari sini.

Frase "dikuasai oleh Negara" pun tidak dapat dimaknai sebagai anti pelibatan pihak asing. Pihak asing jelas boleh diikutsertakan dalam mengelola kekayaan negara, tetapi kedaulatan itu sama sekali tak boleh digadai berapapun harganya.

Maka dari itu, saya hendak menyarankan kepada pemerintah untuk bekerja sama dengan pihak asing dalam memanfaatkan Natuna. Bahkan kalau perlu dengan Cina! Toh mereka memiliki sumber daya yang jauh lebih siap untuk mengelola.

Ajak juga negara lain yang berbatasan langsung dengan Natuna seperti Malaysia, Vietnam dan Singapura. Tidak dilarang oleh konstitusi, kok! Hanya saja, pastikan ujungnya adalah untuk sebesar-besar kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Pun kalau tetap ingin menjaga 'harga diri bangsa', tak ada salahnya negara mencari pinjaman hutang lagi ke Bank Dunia untuk membangun infrastruktur pemanfaatan permata-permata di Natuna. Tapi ingat, hanya untuk infrastruktur pemanfaatan Natuna. Bukan infrastruktur yang lain!

Selamat mengeruk permata.

Referensi:

  • Idris, K., & Gammaranti, D. A. 2018. Assessment of wave energy resources in the vicinity of Natuna Islands. International Journal of GEOMATE, 15 (52), pp.137-145.
  • Suhartanto, T., York, A. P. E., Hanif, A., Al-Megren, H., & Green, M. L. H. 2001. Potential utilisation of Indonesia's Natuna natural gas field via methane dry reforming to synthesis gas. Catalysis Letter, 71 (1-2), pp.49-54.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun