Mohon tunggu...
Muh. Arief Nugroho
Muh. Arief Nugroho Mohon Tunggu... -

Lahir di Sleman pada tahun 1982, ia ikut pindah ke Jakarta mengikuti orang tua empat tahun kemudian. Setelah lulus kuliah di Bandung, sempat bekerja sebagai operation and maintenance engineer di Tarakan, Kalimantan Utara. Sekarang bekerja sebagai staff regulator di salah satu kementerian.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Teknologi untuk Penegakan Disiplin Pengendara Kendaraan Bermotor

16 September 2015   07:32 Diperbarui: 16 September 2015   08:20 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penelitian sebuah perusahaan pembuat oli yang berbasis di Amerika Serikat merilis hasil yang penulis yakini tidak akan dibantah warga DKI Jakarta. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Jakarta, ibukota kita tercinta, menduduki kota termacet dari 78 kota besar di muka bumi. Kemacetan di Jakarta tidak hanya disebabkan warga yang memiliki KTP DKI saja. Penulis yakin warga dari daerah penyangga ibukota, semisal Tangerang, Bogor dan Bekasi yang juga mencari nafkah di DKI juga memberikan kontribusi kemacetan.

Menurut penulis, Pemprov DKI dan Kemenhub, sebagai pemilik jalan yang  ada di DKI tidak tinggal diam. Berbagai inovasi sudah diluncurkan mulai dari busway, LRT, MRT, pelebaran jalan, pembangunan fly over dan underpass sudah mulai jamak dilihat di ibukota semenjak tahun 2000-an. Namun segala usaha itu tampak tidak terlihat hasilnya untuk mengatasi kemacetan. Pertumbuhan kendaraan dan pertambahan jalan yang tidak seimbang menjadi penyebabnya.

Data dari BPS mengungkapkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Indonesia naik dari sekitar 19 juta buah di tahun 2000 menjadi 104 juta buah di tahun 2013. Bayangkan, naik hampir 450%. Sedangkan pertumbuhan panjang jalan dalam rentang waktu yang sama hanya 200%. Artinya pertumbuhan kendaraan bermotor jauh melesat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang jalan. Kemacetan menjadi tidak terelakkan lagi di kota-kota besar di Indonesia.

Menguraikan masalah kemacetan di Ibukota Jakarta bukan hanya tanggungjawab Pemprov DKI sendiri, namun juga harus melibatkan Kemenhub, serta Pemprov, Pemkot dan Pemkab yang ada di sekitar ibukota. Penulis berpendapat semua pemangku kepentingan harus memusatkan solusi mengatasi kemacetan dengan meningkatkan fungsi angkutan masal. Saat ini hanya ada tiga opsi angkutan masal bagi warga DKI, yaitu bus kota, busway dan Kereta Listrik (KRL). Pemprov DKI memang sedang mengusahakan LRT, MRT, monorel, dll dalam waktu 5 tahun terakhir namun belum ada hasilnya hingga saat ini.

Sayangnya penulis melihat, belum ada keseriusan dari pemkot dan pemkab yang ada disekitar ibukota untuk turut menyediakan transportasi massal. Mayoritas mereka hanya menyediakan angkot sebagai solusi. Coba tengok kondisi angkot nya. Kadang penulis lihat speedo tidak jalan, kondisinya kotor dan pengab kalau siang hari. Jadi tidak heran kalau warga kelas menengah atas memilih mobil pribadi jika bepergian ke Jakarta, sedangkan yang kelas menengah bawah memilih sepeda motor. Ini hanya memperparah kemacetan.

Pengembangan transportasi massal yang ada di Jabodetabek harus menyeluruh dan menyentuh semua aspek, artinya semua pemangku kepentingan harus sepakat membuat grand design transportasi masal yang disepakati semua pihak.

Ditlantas Polda Metro Jaya (selanjutnya akan disingkat Ditlantas saja), yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penegakan hukum lalu lintas, juga dapat berperan aktif. Penulis berpendapat bahwa Ditlantas harus memperbaiki pola penegakan hukum  bila terjadi pelanggaran lalu lintas. Mengapa ini sangat penting? Karena banyak pelanggaran lalu lintas yang menjadi akar penyebab terjadinya kemacetan, misalnya angkot atau bus kota yang ngetem menunggu penumpang, padahal ada tanda larangan berhenti atau larangan parkir. Perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang tidak disiplin juga berperan banyak pada kemacetan.

Untuk menegakkan hukum di bidang lalu lintas, sudah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara konvensional. Ditlantas harus dibantu dengan teknologi untuk membantu mereka menegakkan hukum. Penulis paham bahwa SDM semisal polisi lalu lintas itu terbatas jumlahnya. Polantas bukan Superman yang bisa 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Mereka juga manusia yang juga punya rasa lelah dan jenuh.

Salah satu contoh penerapan teknologi yang bisa diterapkan Ditlantas adalah menggunakan ANPR.  ANPR, singkatan dari Automatic Number Plate Recognition, adalah suatu teknologi untuk mengetahui nomor polisi kendaraan ketika tertangkap kamera pengawas. Teknologi ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebagai langkah pertama, Ditlantas bersama dengan Pemprov dapat menerapkan suatu regulasi yang mengizinkan Ditlantas untuk mengakses semua kamera CCTV yang dimiliki swasta.

Setelah itu, perlu juga dibuat regulasi yang mewajibkan setiap CCTV yang ada di gedung, pintu masuk gedung dan yang menghadap jalan agar memenuhi suatu spesifikasi teknis sehingga dapat menggunakan teknologi ANPR. Contoh spesifikasi teknis, misalnya kamera ANPR harus mampu menangkap gambar dengan kualitas baik untuk suatu objek yang bergerak dengan kecepatan tinggi diatas 100 km/jam dan dilengkapi dengan kemampuan infrared untuk kemampuan mengenali objek di malam hari.

ANPR dapat membantu mengidentifikasi kendaraan, walaupun di malam hari. Kemampuan ANPR ini harus juga didukung oleh database pemilik kendaraan. Jadi ANPR akan terhubung secara online ke database. Fusion dari dua teknologi ini dahsyat sekali. Ditlantas dapat mengetahui posisi setiap kendaraan hampir real-time.

Pengendara akan merasa nyaman sekali. Mereka tahu jika mereka dilindungi dan merasa diawasi. Jika pengemudi merasa diawasi, mereka akan hati-hati sekali jika hendak melakukan pelanggaran. Efeknya, penulis yakin pelanggaran lalu lintas akan turun drastis.

Dari penelusuran di internet, penulis menemukan bahwa teknologi ANPR telah diterapkan di 14 negara, yakni Australia, Belgia, Denmark, Prancis, Jerman, Hungaria, Turki, Ukraina, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Belanda, Arab Saudi dan Swedia. Jadi teknologi ANPR ini applicable. Ditlantas dapat belajar pada salah satu negara ini. Tidak perlu ke semua negara, cukup studi banding yang mendalam di salah satu negara yang karakteristik lalu lintas nya mirip dengan Indonesia.

Demikian opini penulis, jika dapat diterapkan tentu akan meningkatkan citra Ditlantas Polda Metro Jaya di mata masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun