Mohon tunggu...
Arie Wibowo
Arie Wibowo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menakar Persoalan Kelistrikan di Indonesia

14 Maret 2017   10:27 Diperbarui: 14 Maret 2017   10:36 3907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu leading sector dalam menunjang perekonomian dan pembangunan nasional. Listrik sudah menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, hampir semua peralatan rumah tangga membutuhkan listrik dalam penggunaannya seperti pesawat televisi, kulkas, air conditioner (AC), mesin cuci, laptop, komputer, handphone dan lain-lain. Selain itu, listrik juga berperan penting bagi dunia industri dan jasa dalam proses produksi untuk dapat menggerakkan perekonomian. Tidak heran, demand terhadap listrik meningkat setiap tahunnya sementara pasokan listrik sendiri sangat terbatas. Hal ini menyebabkan berbagai wilayah di tanah air sering sekali mengalami pemadaman listrik bergilir terutama di daerah-daerah pinggiran dan pedalaman. Lebih jauh, saat ini kondisi yang sangat memprihatinkan adalah masih banyak daerah di tanah air yang sama sekali belum teraliri listrik.

Rasio elektrifikasi di Indonesia secara keseluruhan bila dibandingkan dengan negara-negara kawasan masih cukup tertinggal. Pada tahun 2014, rasio elektrifikasi Indonesia masih sekitar 84,3 persen menempati peringkat ke-6 di ASEAN setelah Singapura yaitu 100 persen, Malaysia 99,4 persen, Thailand 99,3 persen, Vietnam 97,3 persen, dan Philipina sebesar 89,7 persen. Selain itu, konsumsi listrik penduduk per kWh per kapita Indonesia juga masih cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga tersebut. Rata-rata konsumsi listrik Indonesia pada 2014 sebesar 0,7 kWh per kapita. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan Singapura yaitu sebesar 8,4 kWh per kapita, Malaysia 4,3 kWh per kapita, Thailand 2,3 kWh per kapita  dan Vitenam 1,1 kWh per kapita.

Di Indonesia sendiri, dilihat dari statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah, terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa dalam penyediaan listrik. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan rasio elektrifikasi antara Sumatera, Jawa-Bali dan Indonesia Timur. Pada tahun 2009, rasio elektrifikasi pulau Jawa adalah 67,6%, Sumatera 62,7%, dan Indonesia Timur hanya sebesar 50,6%. Sedangkan pada tahun 2014, rasio elektrifikasi di pulau Jawa meningkat menjadi 87%, Sumatera menjadi 85,5%, sementara untuk Indonesia Timur menjadi 73,9%. Kondisi ini juga mencerminkan adanya perbedaan yang cukup signifikan terutama antara Jawa dan Indonesia Timur dalam penyediaan tenaga listrik yang adil dan merata bagi masyarakat.

Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh PLN, ada enam golongan pelanggan yang menikmati aliran listrik antara lain kelompok rumah tangga, kelompok bisnis, kelompok industri, kelompok sosial, kelompok gedung kantor pemerintah dan kelompok penerangan jalan umum. Dari berbagai kelompok tersebut, kelompok terbesar pengguna listrik adalah rumah tangga. Pertumbuhan konsumen rumah tangga setiap tahunnya meningkat rata-rata 3,5 juta pelanggan, diikuti oleh sektor bisnis 140 ribu pelanggan, sektor publik 82 ribu pelanggan, dan sektor industri meningkat rata-rata 2 ribu pelanggan setiap tahunnya. Adanya peningkatan tersebut yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan kapasitas pembangkit berakibat kepada pasokan listrik yang semakin terbatas.

Kondisi kelistrikan yang belum optimal menimbulkan berbagai kerugian dan masalah bagi masyarakat dan pengguna listrik. Dampak kurangnya ketersediaan listrik sangat dirasakan oleh kalangan masyarakat di wilayah-wilayah remote area yang belum teraliri listrik maupun wilayah-wialyah yang pasokan listriknya terbatas. Kurangnya pasokan listrik menyebabkan banyak rumah tangga belum bisa menikmati listrik untuk kebutuhan sehari-hari seperti penerangan. 

Di daerah-daerah yang pasokan listriknya terbatas, masyarakat harus mengalami pemadaman listrik berkali-kali setiap harinya. Selain merugikan masyarakat karena waktu operasional yang kurang, pemadaman yang dilakukan secara rutin dan tiba-tiba juga dapat merugikan konsumen akibat kerusakan peralatan rumah tangga karena korsleting arus listrik. Kondisi seperti ini sangat sering terjadi terutama di daerah-daerah luar pulau Jawa yang pasokannya terbatas seperti sebagian Sumatera dan Kalimantan, serta Indonesia Timur.

Selain rumah tangga, dampak kurangnya ketersediaan listrik juga menyulitkan para pelaku usaha. Sebagai barang kebutuhan vital bagi kehidupan masyarakat, listrik berperan penting dalam menciptakan industri-industri baru untuk mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dan mendorong perekonomian. Kurangnya pasokan listrik seperti yang terjadi di banyak wilayah atau daerah menyulitkan para pelaku bisnis untuk mengembangkan usahanya. Padahal potensi ekonomi di berbagai wilayah di Indonesia masih cukup besar. 

Hal ini berdampak kepada terhambatnya kemajuan suatu daerah. Begitu juga dengan pelayanan umum, kurangnya pasokan listrik menciptakan kondisi yang tidak optimal bagi suatu wilayah untuk menciptakan keadaan kota yang tentram, aman dan terkendali. Tidak tersedianya penerangan jalan, akses pelayanan di kantor pemerintahan yang lamban, serta tidak tesedianya jaringan telekomunikasi merupakan contoh-contoh dampak atau kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat tidak tersedianya pasokan listrik.

Persoalan kelistrikan di Indonesia memang masih sangat luas. Selain masalah kurangnya ketersediaan listrik dan minimnya pasokan seperti yang diuraikan diatas, masih banyak lagi masalah sektor ketenagalistrikan di Indonesia yang perlu dibenahi yakni seperti masalah tarif yang belum mencapai nilai keekonomiannya, subsidi listrik yang sangat besar dan tidak tepat sasaran, efisiensi PLN yang masih rendah, serta bauran energi yang masih minim. Selain itu juga terdapat masalah infrastruktur pembangkit yang kurang, persoalan kontrak kerjasama dengan pihak penyedia listrik swasta, sampai kepada persoalan pembangunan pembangkit yang mangkrak akibat perijinan, pembebasan lahan, dan masalah teknis lainnya seperti dalam proses lelang dan penunjukan langsung pihak IPPs (Independent Power Producers) dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

Dari berbagai persoalan tersebut, harus ada terobosan yang luar biasa dari pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam mereformasi serta menderegulasi sektor ketenagalistrikan nasional. Reformasi tersebut dapat dimulai dari persoalan-persoalan mendasar diatas. Proyek 35000 MW dan Desa Berlistrik yang sedang dilakukan oleh pemerintah misalnya, salah satu upaya dalam rangka mengatasi persoalan kurangnya kapasitas pembangkit ketenagalistrikan. 

Adanya proyek-proyek tersebut tentu akan meningkatkan rasio elektrifikasi yang lebih baik. Namun, perlu diingat bahwa kesuksesan proyek tersebut juga bergantung kepada berbagai persoalan lainnya seperti perijinan, pembebasan lahan, proses kerjasama dengan swasta (IPPs), serta persoalan teknis lainnya. Artinya, persoalan-persoalan tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga kebijakan pembangunan proyek tersebut harus juga didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya seperti regulasi. 

Deregulasi terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan ijin usaha, ijin mendirikan bangunan, ijin penggunaan lahan, serta aturan penyelesaian masalah hukum ketika terjiadi konflik, dapat mempermudah dan mempercepat perijinan dan pembebasan lahan dalam usaha penyediaan listrik baik oleh pemerintah maupun swasta.

Begitu juga dengan tarif, persoalan efisiensi, bauran energi dan lainnya. Reformasi dalam penggunaan bidang teknologi ketenagalistrikan serta mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) harus segera dilakukan dan dipercepat. Penggunaan pembangkit dengan bahan bakar fosil yang masih banyak digunakan oleh PLN menyebabkan rendahnya efisiensi karena biaya pokok produksi (BPP) masih diatas harga jual. 

Kondisi demikian menyebabkan pemerintah terus mengeluarkan subsidi yang cukup besar yaitu sekitar 50-100 triliun per tahun. Padahal jika harga keekonomian tercapai, anggaran untuk subsidi dapat dipangkas dan dialokasikan untuk pembangunan pembangkit baru yang lebih efisien dan efektif. Oleh sebab itu, perlu adanya usaha reformasi kebijakan teknologi ketengalistrikan untuk mendorong efisiensi di tubuh PLN sebagai perusahaan yang ditunjuk oleh negara untuk menyediakan kebutuhan listrik. Kalau itu terjadi, maka negara dapat menyediakan kebutuhan listrik yang adil dan merata bagi masyarakat serta dengan pengelolaan yang lebih efisien dan harga yang terjangkau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun