Mohon tunggu...
Arie Lexuz
Arie Lexuz Mohon Tunggu... -

Lexuz datang masalah hengkang, hehehehehehe... Brangkat...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PEREMPUAN = DAPUR, SUMUR DAN KASUR

3 Juni 2015   01:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:23 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman Kolonial belanda pendidikan menjadi barang mahal yang sulit untuk dapat dikonsumsi, hanya anak-anak tertentu yang boleh mengenyam pendidikan. Hanya anak para bangsawan tokoh – tokoh pergerakan, dan anak-anak mener belanda yang dapat menikmati sekolah. Namun kesempatan mengenyam pendidikan hanya berlaku pada kaum pria saja, anak-anak wanita belum dapat kesempatan untuk menjadi pandai.

Mereka yang mengenyam pendidikanpun harus mengkonsumsi pendidikan versi belanda. Mau tidak mau itulah pendidikan yang harus diterima. Menjadi wajar jika bangsa kita bodoh dan ditindas, hingga sulit untuk membedakan penindasan dan bukan penindasan. Hingga bangsa kita tidak merasa ditindas, karena semua prasarana pendidikan telah diberikan oleh belanda.

Sebuah pemikiran baru dari RA.kartini bahwa seorang wanita juga berhak memperoleh pendidikan. Tidak hanya berkutat pada urusan dapur, sumur dan kasur. Wanita perlu adannya pendidikan agar dapat merdeka. Namun perjuangan kartini belum usai, Ia wafat terlebih dahulu. Wanita tidak mengenyam pendidikan adalah suatu hal yang wajar, karena paradigma orang tua jaman dahulu jika seorang anak Wanitannya sekolah sampai tinggi akhirnnya harus kemlbali kerumah juga untuk urusan dapur, sumur, dan kasur. kodrat menjadi suatu alasan kuat bahwa wanita harus menjadi seperti itu.

Harapannya agar wanita Indonesia menerima pendidikan yang sama, wanita juga memiliki kesempatan yang sama dibidang pekerjaan, wanita juga memiliki hak-hak yang sama. Berkembangnya jaman, saat ini kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan hak yang sama telah ada di negeri ini. Negara Tidak melarang bahwa anak perempuan sekolah, Negara Tidak melarang bahwan wanita bekerja seperti pria.

Namun dengan kesempatan yang telah diberikan, wanita tidak bisa menghindari kontruksi sosial yang sudah terbangun, menjadi kewajiban ketika ia tela bersuami, dan menjadi seorang ibu. Ada suatu kewajiban yang harus dipenuhinnya sebagai seorang ibu untuk anaknnya, sebagai seorang istri untuk suaminnya, dan sebagai seorang perempuan untuk laki-lakinnya.

Menjadi dua paradigma soal “perempuan” yang bekerja atau wanita karir dengan perempuan yang tak hanya soal bekerja. Perempuan yang tidak hanya menitih karir, ia harus repot dengan anaknnya, karena suatu kewajiban urusan anak adalah urusan perempuan, belum lagi urusan menyusui, merawat, sampai ganti popok dan cuci baju adalah urusan perempuan. Laki-laki sifatnnya hanya membantu bukan sebagai pemegang tanggung jawab. Tanggung jawab itu semua sepenuhnnya urusan perempuan.

Pagi hari perempuan juga direpotkan berbelanja dan soal masak memasak, untuk melayani suami dan anak. Tangan terampil mulai mengolah bumbu berjam-jam berdiri didepan kompor untuk menyajikan masakan yang sepesial untuk orang yang dikasihinnya. Disini tetap posisinya laki-laki sifatnnya membantu bukan pemegang tanggung jawab memasak dipagi hari.

Belum lagi harus membereskan rumah yang berantakan, menyapu, mencuci piring, mencuci baju dan lain-lain. sekali lagi disini pemegang tanggung jawab penuh adalah perempuan. Laki-laki hanya membantu saja. Membantu bukan sebagai pemegang tanggung jawab namun tetap saja pada sifat membantu.

Ketika seorang istri juga bekerja mencari pendapatan untuk memenuhi keluargannya, hal ini akan menjadi terbalik. Bahwa seorang istri membantu suaminnya mencari pendapatan keluargannya. Walaupun pendapatan istri lebih besar daripada suaminya hal ini tetap saja sifatnnya membantu, karena tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi keluargannya.

Jika istri mendapat masalah dalam pekerjaannya, misal saja soal upah, tunjangan yang tidak dibayar, cuti hamil yang tidak diberikan. hal ini tidak menjadi soal, karena istri sifatnnya membantu suami mencari pendapatan. Menurut suami solusi terbaik adalah berhenti bekerja, mencari pekerjaan lain atau kembali kerumah.

Namun jarang sekali dalam kontruksi sosial menganggap seorang istri diperbolehkan oleh suaminnya untuk bekerja. Laki-laki lebih senang jika istrinya dirumah menjaga anak-anaknnya dan mengerjakan pekerjaan rumahnnya. Dengan berdiam diri dirumah akan membuat seorang perempuan menjadi tinggi hingga seperti permaisuri raja. Menghabiskan waktu didalam rumah Menunggu suami pulang mencari nafkah.

Istri dianggap tidak mampu menjaga dirinnya ataupun berinteraksi dengan sosialnnya dan menghadapi perubahan-perubahan sosial lainnya. Dan juga anggapan bahwa dunia luar sangat berbahaya juga menjadi faktor mengapa istri harus berada dirumah. Belum lagi perempuan harus menghadapi pemikiran seorang laki-laki yang tidak suka jika istrinya pandai atau lebih pandai dari suaminnya.

Jika seorang istri diperbolehkan untuk bekerja bukan berati seorang istri bebas tugas tidak merawat anak, merawat rumah, mencuci baju, cuci piring, menyapu, memasak, dan melayani suaminnya. Karena bekerja sifatnya membantu laki-laki.  

Ketika suami sedang ingin dilayani, maka wajib hukumnya seorang istri melayaninya walaupun istrinnya sedang tidak ingin. Jika seorang istri menentang mungkin acara romantismennya akan berbeda. Pemikiran rata-rata istri akan tetap patuh, Karena patuh terhadap suami adalah perbuatan yang mulia. Karena istri yang taat kepada suaminnya akan masuk surga, begitu kata orang – orang bijak. Dengan kata lain ”Surgo katut Neroko nunut”. Namun soal mengurus anak tetap menjadi tanggung jawab istri. Soal kasur, tanggung jawab istri memuaskan suami, entah bagaimana dengan kewajiban seorang suami memuaskan istri.  

Jika terdapat sebuah pertanyaan apa tanggung jawab laki-laki, maka jawabanya adalah memimpin keluarga. Ya.. jawaban itu lah yang pas menurut laki-laki dan perempuan. Maka pas lah sudah, bahwa permpuan hanya soal dapur, sumur dan kasur jika orang jawa bilang “wong wedok cuman urusan masak, macak lan manak.”  Begitukah seorang ibu diperlakukan, seorang istri diperlakukan, ataupun seorang perempuan diperlakukan atas nama kodrat.

kodrat Perempuan bukan urusan memasak didapur, bukan urusan mencuci baju, dan bukan hanya soal kebutuhan sex. Kodrat Perempuan adalah melahirkan, menyususi, dan berkelamin vagina, itu adalah suatu kodrat dari Tuhan yang tidak dapat diubah.  Perempuan memiliki kesempatan yang sama seperti laiki- laki, untuk mengerti dan memahami peradaban dan membangun peradaban manusia selanjutnya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun