Mohon tunggu...
@Arie
@Arie Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang mau berfikir luar biasa. that is

Orang biasa, yang mau berfikir luar biasa. Hobi menulis sejak remaja, sayangnya baru ketemu Kompasiana. Humanis, Humoris, Optimis. Menjalani hidup apa ada nya.@ Selalu Bersyukur . Mencintai NKRI. " Salam Satu Negeri,!!" MERDEKA,!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reformasi, Demo, dan Kekuasaan

30 September 2019   19:23 Diperbarui: 30 September 2019   19:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, Senin. 30 september 2019, tepat sekitar pukul : 16, 38, kericuhan kembali pecah. Demo Mahasiswa, Pelajar, dan beberapa komponen lain, yang sedia nya  di gelar di depan Gedung DPRRI Senayan, meluber kemana - mana. Bisa jadi karena ditutupnya akses mendekat ke gedung dewan yang di pagari kawat berduri sepanjang satu kilometer itu, massa aksi jadi jengkel, dan menyebar ke sekitar senayan.

Di kawasan Pal Merah, yang berada di belakang gedung dewan, sempat terjadi bentrokan antara massa pengunjuk rasa, nampaknya sebagian besar pelajar, dengan satuan polisi  yang bertugas mengawal dan mengamankan demo.

Massa katanya melempari petugas dengan botol aqua, batu, dan benda apa saja yang mereka dapatkan disekitar lokasi. Pihak petugas pengamanan tak tinggal diam, mereka juga membalas dengan tembakan gas air mata, dan water canon, di arahkan ke massa pendemo tersebut. Dan kembali, tanda - tanda demo akan rusuh, terulang. ( lihat disini )

Dulu, waktu kami masih remaja, malam ini adalah malam yang ditunggu - tunggu, karena biasanya ada acara nobar, alias nonton bareng, film Pemberontakan G 30 S/PKI.  Ya, ! di zaman orde baru, malam ini di putar serentak secara nasional, semua saluran tv, hanya ada satu film, ya film itu. 

film itu mengingatkan tentang sejarah terbunuhnya para Pahlawan revolusi, gerakan makar yang digerakkan PKI, dan tampilnya Suharto sebagai pahlawan dengan surat sakti Super Semar, yang ( kata nya ) di teken Bung Karno, guna memulihkan keamanan dan situasi.

Sayang nya sekarang, pemutaran film itu ditiadakan. Mungkin harus nya bisa di ganti dengan film tentang gerakan reformasi Mahasiswa, 1998, ya?

Masih kembali ke zaman dulu, Orba  merancang pembangunan dengan Pelita, Pembangunan Lima Tahun, berkesinambungan. Tahap demi tahap. Mulai Pelita satu, sampai Pelita enam.

Orde Baru menyebutnya membangun landasan. Untuk suatu saat , = entah kapan?,= kita bisa take off, tinggal landas. Dalam mengendalikan pemerintahan, Orde Baru mempunyai GBHN, garis Besar Haluan Negara, sebagai kompas acuan, tujuan dari negara ini, akan kemana nanti nya.

 Sekarang, kelihatannya pemerintah tidak lagi memerlukan GBHN, entah karena dianggap sudah sampai tujuan, sehingga kita tak lagi memerlukan kompas negara, atau, barangkali, karena kepala pemerintahan pasca reformasi, merasa lebih pintar dari orang - orang Orba, lebih tau, lebih mumpuni, dan lebih ke kinian, jadi terserah  mereka, negara mau dibawa kemana?

Kembali ke demo massa.  ( lihat disini )

Zaman Orba, memang stabilitas adalah berhala utama yang harus disembah. Atas nama stabilitas, pemerintah, apalagi zaman nya LBM, berkuasa, nyawa masyarakat  Indonesia, khususnya umat Islam, lebih murah dari nyawa seekor ayam. Peluru yang dibeli dengan tetesan keringat rakyat pembayar pajak, dengan mudah di tembak kan kembali kepada rakyat, untuk merenggut nyawa mereka. Tragis ! 

Selain berbenturan dengan aparat, masyarakat juga mengalami beberapa peristiwa yang sangat mengerikan, yang tidak diketahui siapa pelaku nya ? ( lihat disini )

Syukurlah sekarang kita berada di zaman Repot Nasi, eh, Reformasi. Zaman ini, beda sama zaman Orba. Zaman ini, Presiden dipilih langsung oleh masyarakat, bukan dipilih oleh DPRRI/MPRRI. Zaman ini, selain ada DPRRI, ada juga DPD, senator yang mewakili daerah (katanya ).

Zaman ini, mungkin seorang presiden merasa sebagai wakil Tuhan, karena kata nya, Suara Rakyat, kan Suara Tuhan? 

 Sebagai wakil Tuhan, seorang presiden tak boleh di kritik, apalagi dihina. Sebagai seorang wakil Tuhan, Ia bisa menentukan hidup dan mati , mencabut dan memberikan nyawa. Menempatkan seseorang dalam surga atau neraka nya. Membuat undang - undang dan aturan sesuai keinginan nya. Dan tidak perlu sesuai keinginan masyarakat. Sebagai wakil Tuhan, rakyat harus menundukkan kepala setiap kali nama nya disebut. 

Dan sebagai wakil Tuhan, peduli setan kalian semua,! Kenapa kalian demo, ? kalian hanya mengganggu kepentingan umum. Kalian hanya membuat macet jalan tol, yang menghasilkan uang buat pengusaha kaya. Kalian hanya mengganggu kami. Silahkan kalian bermandi peluh dan bermandi darah, tak ada pengaruhnya bagi kami.

Dan jika kalian dianggap membahayakan kekuasaan kami, kedudukan kami, kepentingan kami, Kelompok kami, Keluarga kami,  maka kami tak kan segan mengirim kalian ke kamar mayat. Ini zaman Repot Nasi Bung,! Eh, Reformasi Bung,!.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun