Aku        : "Mama tidak mengerti mengapa begitu banyak orang memprotes keputusan mama"
Anakku  :"Soal apa?"
Aku        : "Soal, mengijinkanmu menikah muda. Mama banyak mendapat pertanyaan. Hingga hari ini mereka masih tidak percaya bahwa itu keputusan yang benar. Mereka masih saja gemar mengulang-ulang membicarakan keputusan mama. Seperti tidak ada topik lain yang bisa dibicarakan..."
Anakku : "Tidak apa-apa ma.. Itu pertanda bahwa kehidupan mama menarik..."
Aku         : "Kok, bisa?"
Anakku  : "Ya iya...Itu pertanda bahwa hidup mereka sendiri tidak begitu menarik, sehingga selalu merasa perlu membicarakan kehidupan kita atau kehidupan orang lain.."
Kami tersenyum bersama. Mungkin yang dikatakan anak saya ada benarnya, sehingga saya tidak harus terusik dengan apa yang sedang terjadi pada hari-hari ini.
Itu hanyalah dialog biasa. Kami memang biasa dialog di meja makan, selepas makan bersama. Itu baru saja terjadi, saat saya berkeputusan mengijinkan anak lelaki saya menikah pada usia 22 tahun.
Bagi saya, memberikan restu atas kebahagiaannya adalah penghormatan. Dan kami terbiasa saling menghormati keputusan masing-masing. Kami membiasakan diri bertanggung jawab atas konsekuensi sebuah keputusan. Terbiasa saling mensupport dalam kemudahan dan kesulitan.
Ibu dan ayah saya menikah muda. Kami bahagia masih bisa bercengkerama dengan kakek nenek yang masih sehat hingga waktu kami semua sudah dewasa dan sudah bekerja. Namun di sisi lain, ayah dan ibu saya tidak berkesempatan melihat cucu-cucunya dewasa. Inilah yang menginspirasi anak saya untuk menikah muda.
Menikah muda adalah cita-cita anak saya. Manakala ia bilang siap, sudah berpenghasilan dan pasangannya pun siap, saya hanya perlu mengijinkan. Tidak lebih dari itu.