Tiga hari lalu, Alek curhat melalui sebuah artikel berjudul ‘Sayonara’. Ia bercerita bahwa admin membekukan akun dirinya. Meskipun ia merasa diperlakukan tidak adil, nyatanya tak ada yang sanggup membelanya. Paling tidak, hingga saya tulis ini belum ketahuan kabarnya. Dan saya, memang belum pernah mendengar cara kerja hakim admin, apakah bisa menerima argumen pembelaan, atau bisa memberikan “grasi”. Entahlah…
Asal muasal semua “pembekuan” adalah perdebatan. Sebelum kasus Alek, ada juga beberapa “perang pendapat”. Soal muslim yang mengagumi kerja bunda Theresa dan menggagas pemberlakuan surga bagi bunda Theresa, soal Syari’ah, soal PERDA Syari’ah, soal FPI dan ormas lainnya, soal Pancasila, soal Ahmadiyah hingga soal Syiah.
Apapun hasil akhir dari perselisihan itu, yang tertangkap oleh saya hanyalah “keindahan”. Mengapa? Sebab saya mendapat pengertian baru. Bahwa marah dan teduh, sama-sama membuat orang produktif menulis. Makin bermusuhan, makin getol menulis judul-judul baru. Saya baru mengerti bahwa orang marah pun, bisa produktif. Kasus ini mungkin hanya belaku bagi penulis kompasiana.
Lelah mengikuti perdebatan-perdebatan, saya memilih diam. Pikiran saya berjalan “mundur”. Dalam benak ini tiba-tiba saja terbayang perempuan-perempuan seluruh dunia yang sedang hamil. Perempuan-perempuan yang sedang mengandung janin-janinnya, sibuk mengupayakan asupan terbaik bagi janinnya, dan menunggu kelahiran dengan penuh harap, cemas, penuh doa dan suka cita.
Dalam pengembaraan pikiran, saya terpesona, terpukau dengan cara kerja Allah SWT, yang kepadaNya saya berTUHAN.
Betapa trampil tanganNya membentuk rupa-rupa janin dalam gelapnya rahim. Allah mampu mengerjakan itu sendirian. Tanpa sinar lampu, tanpa cahaya dan tanpa udara.
Saya “memperhatikan” ketika DIA memberi nyawa, membentuk wajah, kening, pipi, hidung, mulut, gusi, lidah, dagu, telinga, mata, rambut, bulu mata, alis, leher, punggung, pinggang, perut, pantat, paha, kaki, betis, tungkai, telapak dan jari jemari kaki, tangan, lengan, siku, telapak tangan, jari jemari tangan.
Sungguh…, saya haqul yakin yang bekerja itu pastilah Allah, dan BUKAN setan.
Betapa Mahirnya Allah yang saya puji keagunganNya setiap hari. Dzat Yang maha Kudus dan Maha kasih, yang hanya kepadanya saya berTUHAN. DIA letakkan dengan lembut dan sangat hati-hati, segala keperluan agar sang bayi bisa hidup.
Saya dibuat takjub ketika “mengikuti” DIA merangkai peralatan-peralatan hidup seperti usus, jantung, hati, paru, ginjal dalam tubuh bayi, memintal urat syaraf dengan cermat, otot, selaput, memasang tulang belulang, kulit, membubuhkan darah dan mengalirkannya pada pembuluh darah dan bahkan menganugerahkan lubang dubur dan alat kelamin.
DIA hubungkan tali pusat bayi dengan tali plasenta agar, janin-janin bisa beroleh asupan sehat dan selalu terhubung dengan bundanya.
Saya bertanya jauh di dalam lubuk hati. Mengapa Allah tidak pilih-pilih. Mengapa Allah tidak merasa perlu berpikir, dalam rahim bunda mana sebaiknya DIA bekerja menyempurnakan segalanya.
Allah bekerja sama baiknya, sama cintanya, sama kasihnya, sama sayangnya, sama khusuknya…
DIA “pahat” semua bayi-bayi sama cantiknya, sama lucunya, sama indahnya dan sama sempurnanya. Semuanya tuntas “sempurna”. Tak ada yang tidak sempurna.
Semua rahim bagiNya, sama baiknya. Allah “seperti tidak peduli” apakah bayi-bayi itu ada dalam rahim perempuan muslimah, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, penganut kepercayaan pada Tuhan YME dan semuanya. Allah bekerja sama baiknya, sama cintanya, sama kasihnya, sama sayangnya, dan sama khusuknya.
Allah “pahat” semua bayi-bayi sama cantiknya, sama lucunya, sama indahnya dan sama sempurnanya.
Lantas. Masihkah kurang DIA memberikan contoh bagaimana cara mengasihi semua umat? Sungguh saya seharusnya mampu membaca semua itu dengan sangat baik. Seharusnya saya belajar mampu mengerti sifat-sifat baik illahiah.
Saya lanjutkan pengembaraan saya. Mencoba masuk ke dalam perasaanNya ikut larut dalam perasaan saat DIA bekerja dengan penuh kasih dan tanpa pamrih.
Betapa tulusnya Kasih Allah ketika DIA menjaga, melindungi bayi-bayi “tak beragama” (atau seragam agamanya? atau belum punya agama?) itu. Hingga terlahir selamat dan membahagiakan seluruh dunia.
Dan di dalam rahim, dengan segala kesabaranNya, Allah “peluk” semua bayi dengan sama kasihnya, sama hangatnya, sama sayangnya dan sama hati-hatinya, agar tidak tersakiti.
DIA ajarkan seluruh bayi, cara benar meninggalkan rahim. DIA kuatkan batin bayi-bayi, agar tidak perlu bersedih dan menangis, ketika harus “berpisah” dengan Yang Maha Kasih. Dengan kuasaNya, DIA antarkan bayi-bayi keluar dari pintu rahim ibunya dan demi menenangkan sang bayi, DIA berbisik, BERJANJI akan berada lebih dekat dari urat nadi.
Saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkan bagaimana perasaan Allah dan bagaimana perasaan bayi-bayi mungil itu saat kelahirannya. Saat-saat perpisahan yang mengharukan. Saat bayi-bayi mungil “dilepas” untuk memulai tugas-tugas barunya di luar rahim.
Kala saya tersadar, sungguh saya malu. Saya sangat malu kepada Allah yang sudah berbuat dengan begitu baik pada seluruh karyaNya, tapi tidak bisa saya tiru. Satu pertanyaan saya pada diri sendiri. Mengapa saya dan mereka harus saling meludahi? Mengapa harus saling bunuh, hanya soal agama/keyakinan yang berbeda, jika memang nyatanya kami sama-sama “pernah bertemu” Tuhan (dalam rahim sang bunda)?
Rasanya saya masih perlu belajar lagi. Mengapa saya tidak mampu menangkap pelajaran besar dari Allah tentang cara bagaimana mengasihi? Mengasihi seperti cara-cara illahi. Seperti ketika DIA “mengukir” seluruh bayi-bayi.
Terima kasih telah membaca,
Salam bahagia dan terus berkarya!
Terima kasih kepada Allah SWT, terima kasih kepada semua perdebatan yang menginspirasi tulisan ini. Terima kasih juga pada Ibnul Qayyim Al_Jauziah yang sudah membagi ilmunya tentang “KUNCI KEBAHAGIAAN”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H