Saat itulah saya meneteskan air mata kasih. Penjelasan Tuhan, baru dapat saya pahami. Berulang-ulang Beliau memberitahu bahwa saya adalah ruh dan Beliau (Ruh Tersuci) adalah orang tua asli dari setiap ruh. Berulang-ulang Beliau mengajarkan saya untuk memanggil Beliau dengan sebutan Ayah, tetapi saya menolak dan bahkan lari.
Tetapi Beliau tidak pernah marah atas penolakan saya. Beliau paham bahwa tidak mudah bagi saya untuk menerima kenyataan yang tidak biasa, ini.
Dalam kehidupan jasmani saja, ketika seorang anak telah diadopsi, diasuh dan dipelihara orang lain sejak bayi, lalu kemudian ketika dewasa, tiba-tiba datang sosok tak dikenal mengaku-ngaku sebagai ibunya yang asli, maka sang anak tersebut pasti akan menolak, berontak, bahkan tidak mau menerima kenyataan.
Saya sadar hanya sebentar, lalu abai, meninggalkan omong kosong Beliau. Tetapi pengetahuan ini terus mengganggu pikiran. Sampai saya kemudian bisa menerima kenyataan terindah dari segala kenyataan indah yang pernah saya lalui.
Didatangi Tuhan dan kemudian dijelaskan bahwa saya sejatinya adalah Anak Tuhan, adalah merupakan pengalaman teragung. Ini merupakan sebuah kehormatan yang tidak setiap orang mampu mengalami, memahami dan menerima dengan lapang dada.
Saya ingat cerita kehidupan dunia fisik. Jika seorang anak tidak mau mengakui orang tua aslinya, setelah merasa nyaman diadopsi oleh orang tua asuh, Â maka kehidupannya akan bergumul dengan penderitaan, kesengsaraan, susah payah dan tersandung-sandung. Apa yang akan terjadi, jika ini terjadi dalam kehidupan ruhani? Pantas, cerita hidup saya selama ini, banyak harus bergumul dengan macam cobaan/masalah. Ada kebahagiaan tetapi diiringi dengan mengalami kesulitan dan penderitaan. Itu semua karena, saya tidak mau menerima kenyataan bahwa Beliau adalah Ayah/Ibu saya. Saya tidak betul-betul kenal Tuhan, walau saya beragama.
Menyadari betapa durhakanya saya, saya jatuh, berlutut dan kemudian tersungkur dalam isak tangis. Di hadapan Beliau, saya mengakui kesalahan saya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, telah menjadi anak durhaka, yang melupakan sejarah. Sekarang, saya bisa menerima kenyataan bahwa Beliau adalah orang tua sejati saya, juga orang tua sejati para jiwa. Betapa indah dan sakralnya pertemuan kembali antara anak ruhani dengan Orangtua Ruhani, yang telah lama terpisah. Setiap hari yang terjadi hanyalah perbincangan-perbincangan yang sifatnya illahiah. Â
Sejak kesadaran ini hadir, apapun situasi yang datang, yang saya alami hanyalah pemahaman dan pengertian. Semua gejolak permusuhan, lenyap. Karena, Beliau, Sang Ayah telah menjelaskan semuanya.
Jika sejatinya kita berasal dari satu ayah (satu ibu)Â yang sama, bukankah ini artinya, kita bersaudara? Lalu mengapa kita berkelahi dan bertengkar?
Saya pernah bertanya tentang ini dan Beliau jawab:
"Anak-anak, kalian suka bertengkar seperti yatim piatu. Seperti anak-anak yang tidak memiliki (kehilangan) orang tua. Sebab, kalian melupakan sejarah kalian. Kalian telah lupa siapa sejatinya kalian dan siapa sejatinya, Ayah kalian".