Awal belajar Gita, banyak hal-hal istimewa yang memicu terjadinya konflik batin. Tuhan Shiva, Jiwa ('J' besar) Yang Maha Tinggi, setiap pagi selalu mengingatkan bahwa Beliau adalah Sang Ayah, Ayah (Ruhani) dari setiap jiwa di dunia ini.
Tidak serta merta saya dapat menerima konsep (pelajaran) Â ini. Sebab selama ini yang saya tahu adalah bahwa Tuhan tidak beranak. Sampai suatu ketika Beliau menjelaskan bahwa memang Beliau tidak pernah beranak. Beliau tidak berwujud jasmani, tidak hamil dan tidak melahirkan.
Beliau adalah sosok Ruhani, yang hanya mengajarkan hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan ruhani. Mengapa Beliau mengajarkan hal-hal yang bersifat ruhani?
Karena tidak ada yang lain yang mampu mengajarkan rahasia kehidupan ruhani, kecuali Beliau, Sang Ruh Tertinggi. Beliau disebut Sang Benih, Sang Intisari. Hanya Sang Benih yang mengetahui seluruh rahasia tentang pohon.
Pelajaran pertama dan utama yang Beliau ajarkan adalah tentang sejarah saya, asal muasal saya, siapa orang tua sejati saya dan apa pekerjaan orang tua saya. Beliau mengajarkan beda antara sekedar tahu dan mengenal.Â
Mengenal itu berbeda dengan sekedar tahu. Jika saya mengenal seseorang, saya tahu sejarahnya. Saya tahu nama aslinya, saya tahu rumahnya, saya tahu keluarganya, saya tahu pekerjaannya dan saya tahu hal ikhwal tentang dirinya. Inilah yang disebut kenal.
Cukup lama saya tidak paham-paham tentang materi ini, sampai kemudian suatu saat saya merenungkan kelahiran saya sendiri.
Saat awal ibu mengandung, hanya ada gumpalan darah dalam rahim. Segumpal darah, belum bisa apa-apa. Sebelum 120 hari, yaitu sebelum calon raga itu siap, saya (sang ruh), belum masuk ke dalamnya.
Jadi, dari mana asal saya? Dimana saya sebelum masuk janin?Â
Saya lantas sadar. Hubungan badan, hanya menghasilkan calon badan. Sementara saya (ruh), bukanlah hasil hubungan badan. Saya datang kemudian, setelah calon raga, siap. Jika demikian, siapakah sejatinya orang tua saya?
Lalu memori saya tertuju pada kematian. Saat saya disebut mati, sejatinya saya sedang pergi  meninggal (kan) badan saya. Badan saya bisa hancur, tetapi saya (ruh),  tidak. Saya hanya pergi meninggalkan badan saya. Tetapi, saya pergi kemana? Orang bilang saya pulang. Pulang kemana? Pulang kepada siapa?
Saat itulah saya meneteskan air mata kasih. Penjelasan Tuhan, baru dapat saya pahami. Berulang-ulang Beliau memberitahu bahwa saya adalah ruh dan Beliau (Ruh Tersuci) adalah orang tua asli dari setiap ruh. Berulang-ulang Beliau mengajarkan saya untuk memanggil Beliau dengan sebutan Ayah, tetapi saya menolak dan bahkan lari.
Tetapi Beliau tidak pernah marah atas penolakan saya. Beliau paham bahwa tidak mudah bagi saya untuk menerima kenyataan yang tidak biasa, ini.
Dalam kehidupan jasmani saja, ketika seorang anak telah diadopsi, diasuh dan dipelihara orang lain sejak bayi, lalu kemudian ketika dewasa, tiba-tiba datang sosok tak dikenal mengaku-ngaku sebagai ibunya yang asli, maka sang anak tersebut pasti akan menolak, berontak, bahkan tidak mau menerima kenyataan.
Saya sadar hanya sebentar, lalu abai, meninggalkan omong kosong Beliau. Tetapi pengetahuan ini terus mengganggu pikiran. Sampai saya kemudian bisa menerima kenyataan terindah dari segala kenyataan indah yang pernah saya lalui.
Didatangi Tuhan dan kemudian dijelaskan bahwa saya sejatinya adalah Anak Tuhan, adalah merupakan pengalaman teragung. Ini merupakan sebuah kehormatan yang tidak setiap orang mampu mengalami, memahami dan menerima dengan lapang dada.
Saya ingat cerita kehidupan dunia fisik. Jika seorang anak tidak mau mengakui orang tua aslinya, setelah merasa nyaman diadopsi oleh orang tua asuh, Â maka kehidupannya akan bergumul dengan penderitaan, kesengsaraan, susah payah dan tersandung-sandung. Apa yang akan terjadi, jika ini terjadi dalam kehidupan ruhani? Pantas, cerita hidup saya selama ini, banyak harus bergumul dengan macam cobaan/masalah. Ada kebahagiaan tetapi diiringi dengan mengalami kesulitan dan penderitaan. Itu semua karena, saya tidak mau menerima kenyataan bahwa Beliau adalah Ayah/Ibu saya. Saya tidak betul-betul kenal Tuhan, walau saya beragama.
Menyadari betapa durhakanya saya, saya jatuh, berlutut dan kemudian tersungkur dalam isak tangis. Di hadapan Beliau, saya mengakui kesalahan saya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, telah menjadi anak durhaka, yang melupakan sejarah. Sekarang, saya bisa menerima kenyataan bahwa Beliau adalah orang tua sejati saya, juga orang tua sejati para jiwa. Betapa indah dan sakralnya pertemuan kembali antara anak ruhani dengan Orangtua Ruhani, yang telah lama terpisah. Setiap hari yang terjadi hanyalah perbincangan-perbincangan yang sifatnya illahiah. Â
Sejak kesadaran ini hadir, apapun situasi yang datang, yang saya alami hanyalah pemahaman dan pengertian. Semua gejolak permusuhan, lenyap. Karena, Beliau, Sang Ayah telah menjelaskan semuanya.
Jika sejatinya kita berasal dari satu ayah (satu ibu)Â yang sama, bukankah ini artinya, kita bersaudara? Lalu mengapa kita berkelahi dan bertengkar?
Saya pernah bertanya tentang ini dan Beliau jawab:
"Anak-anak, kalian suka bertengkar seperti yatim piatu. Seperti anak-anak yang tidak memiliki (kehilangan) orang tua. Sebab, kalian melupakan sejarah kalian. Kalian telah lupa siapa sejatinya kalian dan siapa sejatinya, Ayah kalian".
Terima Kasih Tuhan, terima kasih sudah membaca. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H