Selalu saja begini bila ada masalah terjadi. Kesal, marah, dan berkata dalam hati. Aku ingin berhenti. Aku tak mau lagi berpuisi. Namun apa yang terjadi?
Sebuah sapaan ramah menggema manis di relung kalbu. "Mana puisi terbarumu? Aku menunggu. Kau tahu, aku selalu menantikan bait-baitmu. "
Sebuah tawa lembut dalam sapa hangat kembali kurasakan. "Apapun kata orang, jangan terlalu dipikirkan berlebih, ingat aku saja, yang selalu menunggu karya dari hatimu, iya puisi hati."
Kami tertawa bersama. Ada secercah harap dalam hati untuk segera bersua. Aku rindu. Bisikku dalam kalbu. Kamu kapan datang. Kapan kita berbicara berdua lagi tentang segala hal. Rasaku padamu semakin dalam.
Bahkan kala rasa ingin berkaryaku telah mati, kau selalu saja sanggup menarikku lagi. Dari segala tempat yang tersembunyi. Kau tahu, aku selalu bahagia di sisimu. Kaulah kekasih hati idaman pemuisi.Â
Ketika kumemejamkan mata, aku tersadar, kau hanya sebuah ilusi dalam anganku. Kau adalah diriku dalam versi lainnya. Kau adalah secarik rindu yang kudamba. Seberkas cinta yang ingin kugenggam.Â
Iya kau tak pernah ada karena sejatinya kau adalah yang paling kubutuhkan kini. Kau adalah diriku. Bayanganku sendiri.
Ironi
... .
Written by Ari Budiyanti