"Hilal telah nampak." kata Kak Fadli malam itu. Bukankah itu artinya bulan Ramadan sudah selesai dan berganti bulan Syawal. Begitu penjelasan yang pernah kudengar dari kak Fadli tetangga kami.Â
Sejak tahun lalu, aku memutuskan bekerja dari rumah. Setelah lama tak pulang ke kota lahirku, aku tahun lalu menjelang Lebaran akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Ayah dan Bundaku. Melihat kondisi mereka berdua, akhirnya aku memilih bekerja di rumah saja.
Aku tinggal di kota Bekasi. Sebelumnya aku bekerja di Tangerang. Sebagai anak tunggal, aku merasa perlu berada di rumah saat ini, terlebih lagi kondisi Ayah yang sudah lebih 1 tahun ini di kursi roda. Kondisi kelemahan fisik Ayah menuntut Bunda bekerja ekstra keras. Rasanya tak tega hatiku kembali ke Tangerang untuk menetap dan bekerja di sana. Meski banyak hal yang ingin kuraih, namun tinggal di Bekasi dekat Ayah Bunda adalah pilihan paling tepat saat itu. kini sudah berjalan 1 tahun.
"Dhuh, dhuh. Melamun lagi ya. Malam-malam begini, di akhir bulan Ramadan pula. Besok aku merayakan Lebaran. Dita dengar kak Fadli, tidak?" sambil kak Fadli menatapku serius. Wanita yang dekat di hatinya sudah hampir 1 tahun ini, menurut pengakuan jujurnya malam ini. Sejak kepulanganku setahun lalu, Kak Fadli menjadi rekan bisnisku.Â
Sebenarnya aku sebelumnya pernah bertemu kak Fadli beberapa kali, tapi tidak terlalu kenal dekat. Apalagi setelah sempat 1 tahun tidak pulang. Kak Fadli banyak menolong Ayah dan Bunda jika ada keperluan penting dan mendadak.
Bunda mengenalkan kak Fadli padaku saat sudah kembali memilih bekerja dari rumah. Aku memutuskan berbisnis tanaman hias. Bukankah sejak kecil Bunda dan Ayah sudah mengajariku merawat tanaman hias. Akhirnya kujadikan bisnis saja dan kutekuni dengan serius.Â
Malam ini, sebelum Kak Fadli menyatakan perasaannya padaku, aku merasa biasa saja. Namun setelah dia menyatakan hatinya padaku, rasanya kelu lidah ini untuk berbicara. Jadi aku malah seperti cuek padanya. Apakah aku juga tidak bisa merasakan hal yang sama dengan perasaannya?
"Dita, jika perkataanku tadi membuat galau hatimu, lupakanlah. Aku tak tahan kalau didiemkan begini olehmu. Kita bicara lagi besok ya, aku pamit." Kak Fadli berdiri dan masuk ke rumah untuk menemui Ayah Bunda di ruang tamu. Kak Fadli berpamitan dengan sopan, dan mengatakan akan mengunjungi kami lagi besok pagi. Aku dan Kak Fadli memang sedari tadi mengobrol di teras rumah.
Sejak adanya Corona, dua bulan sudah bisnis kami jadi goncang. Tak lagi ada kunjungan dari pelanggan untuk membeli bunga dan tanama hias lainnya dari tempat kami. Dalam suasana berat seperti ini, mengapa Kak Fadli menyatakan perasaannya. Entahlah, aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Rasanya pusing kepalaku, bagaimana mendapatkan penghasilan tambahan di masa sulit ini.
Sejak ada larangan keluar rumah, kak Fadli memang lebih jarang datang ke rumah. Walau rumah kami bersebelahan, tapi kami hanya saling bicara melalui video call saja. Lagian, tidak ada yang dikerjakan juga di rumah. Tanpa adanya pembeli yang datang ke kios bunga kami, mau bagaimana? Merawat bunga hanya menyirami secara rutin bisa kulakukan sendiri.
Boleh dibilang dua bulan ini kami jalan masing-masing dalam mencukupi kebutuhan kami. Tidak ada pembagian keuntungan dari bisnis tanaman hias kami untuk sementara.
Kak Fadli masih ada usaha sampingan lainnya yang dijalankannya secara online. Dia mengajar Bahasa Inggris secara online. Kalau aku, hanya mengandalkan uang tabungan untuk bertahan hidup dua bulan ini. Memang sesekali dimintai tolong kak Fadli untuk mengerjakan beberapa berkas berkaitan dengan les online Bahasa Inggrisnya. Katanya dia banyak yang harus dikerjakan sehingga tidak sempat menyelesaikan hal-hal adminitrasi. Tapi aku tahu itu hanya alasan saja untuk memberiku sedikit penghasilan di masa-masa sulit ini.
Malam ini, sebelum kak Fadli membicarakan tentang Hilal yang telah nampak, pertanda tanggal 1 Syawal itu telah tiba, dia menyatakan perasaannya padaku dan itu membuat aku terkejut bukan main. Selama ini aku sudah merasa nyaman dengan Kak Fadli, sudah menganggapnya seperti kakakku. Tapi memang susah jika dua orang lelaki dan perempuan bersahabat. Terlebih jika salah satunya mempunyai perasaan khusus. Tak bisakah kami hanya menjadi sahabat saja? keluhku dalam hati.
Kak Fadli hanya tersenyum padaku dengan hati yang nampak resah. Lalu pulang menuju rumahnya. Aku hanya mengantar sampai gerbang depan sebelum dia tiba-tiba mengatatakan ini "Dita, jika kau ingin kita hanya bersahabat saja, aku tidak keberatan. Tapi berhentilah mendiamkanku seperti yang kau laukan malam ini ya. Tetaplah menjadi Dita yang kukenal seperti biasanya. Sampai besok ya." Aku hanya mengangguk dan memberikan senyum kecil yang kupaksakan.
Kak Fadli seolah tahu yang kupikirkan, aku hanya ingin bersahabat saja dengannya. Kututup gerbang halaman depan rumah dan kupandangi bunga-bunga di kios bunga kami. Menitik airmata tanpa terasa. Apakah aku mencintai kak Fadli juga, Tuhan? Tapi, aku dan dia berbeda keyakinan, aku tak bisa menerima perasaannya saat ini.Â
Tanpa kusadari, Bunda sudah berada di sampingku. Lalu memelukku. "Dita, Bunda tahu yang kau rasakan Nak, kiranya Tuhan yang menguatkanmu." Bunda memang mendidikku sejak kecil menjadi wanita yang kuat. Karena Bunda juga seorang wanita yang kuat.Â
Rasanya berat bagiku malam ini, Kak Fadli seorang yang sangat baik dan murah hati, dambaan setiap wanita sebagai pendamping hidup. Namun, tidak bagiku, bagaimanapun perbedaan keyakinan diantara aku dan kak Fadli, menjadi salah satu alasan kuat untuk kami tak bisa menjadi lebih dari sahabat. Tak bisa bagiku melanggar prinsipku ini. Semoga besok pagi, aku bisa mengatakannya pada kak Fadli. We can be just friend.
...
...
Kisah sebelumnya: pulang-aku-rindu-ayah
Kisah ini berlanjut dari Fiksiana seri tahun lalu saat mengikuti samber thr 2019. Mungkin akan berlanjut kisahnya di tahun 2021Â
....
Written by Ari Budiyanti
22 Mei 2020
Artkel ke 27 samber thr 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H