Ini kisah saya sebagai korban bencana banjir beberapa tahun lalu di kampung. Sungguh itu adalah salah satu masa terberat yang pernah saya alami. Bagaimana tidak. Hampir satu Minggu penuh rumah kami kemasukan air banjir.
Warna coklat yang menandakan betapa kotornya. Masih untung bagi kami sekeluarga, banjirnya tidak sampai menyentuh ranjang tertinggi di rumah. Dengan demikian kasur masih bisa diselamatkan.Â
Tidak terbayang untuk korban banjir yang sampai atap. Kerusakan  besar-besaran dan kerugian materi tak terhitung jumlahnya.Â
Saya ingat saat semua keluarga mengungsi ke toko milik almarhum kakek nenek saya, saya memilih tinggal di runah yang kebanjiran. Betapa bodohnya saya membahayakan diri saya saat itu hanya takut barang-barang saya hanyut.Â
Bukan hanya itu, melihat ular air berenang membuat saya merinding setengah mati. Saya akhirnya menyerah. Saat kondisi tak lagi terkendali secara emosi, saya memilih ikut mengungsi. Listrik sudah dimatikan di area tempat tinggal kami. Penduduk desa yang kebanjiran sudah mengungsi semua.Â
Saya hanya berpikir saat itu, kalau saja saya mengalami kerugian besar secara materi, saya harus bisa ikhlas. Dukungan doa rekan-rekan saya sungguh menolong saya untuk bertahan. Bahkan ada rekan dari Bandung datang mengunjungi saya. Sungguh sebuah support moral yang sangat dibutuhkan.Â
Perlu kita bijaksana mengomentari para warga yang kena banjir. Kelelahan fisik dan emosi membuat orang-orang ini lebih sensitif dari segala macam kecaman atau sekedar omongan tak berarti dari sesamanya. Sebaiknya kita menjaga tutur kata kita saat berkomentar.
Mungkin itu kisah saya saja. Salah satu masa kelam dalam hidup saya saat banjir melanda. Herannya Ibu saya hanya bilang begini, "Banjir kan rame-rame tidak sendirian, semua kena, tidak usah terlalu pusing. " Mungkin untuk menghibur diri saja ya. Taoi jujur saya pusing berat waktu itu.
Lebih parah lagi saat kami kira banjir telah surut dan pergi dari rumah. Kami bersih-bersih dan sangat kelelahan. Tapi banjir datang lagi dan masuk rumah lagi. Inipun pernah kami alami. Rasanya ini menjadi semacam titik terlemah dalam hidup saya. Lelah fisik dan emosi.