Mohon tunggu...
Ari Budiyanti
Ari Budiyanti Mohon Tunggu... Guru - Lehrerin

Sudah menulis 2.953 artikel berbagai kategori (Fiksiana yang terbanyak) hingga 27-10-2024 dengan 2.345 highlights, 17 headlines, 111.175 poin, 1.120 followers, dan 1.301 following. Menulis di Kompasiana sejak 1 Desember 2018. Nomine Best in Fiction 2023. Masuk Kategori Kompasianer Teraktif di Kaleidoskop Kompasiana selama 4 periode: 2019, 2020, 2021, dan 2022. Salah satu tulisan masuk kategori Artikel Pilihan Terfavorit 2023. Salam literasi 💖 Just love writing 💖

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia itu Sahabat, Kekasih, dan Pasangan Hidupku

9 November 2019   08:00 Diperbarui: 13 Maret 2020   19:53 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar suara  anak kecil dari dalam rumah. Gilang kaget. Seingatnya, Riri ini belum menikah, dia hanya tinggal bersama ibunya. Tapi kenapa ada suara anak. "Dia siapa?" Tanya Gilang ketika melihat seorang anak perempuan berlari keluar dari kamar menuju Riri dan memeluknya. "Bunda, om itu siapa?" 

Anak perempuan itu saling tatap dengan Gilang. "Ini teman Bunda, Om Gilang. Kasih salam" Sari mengulurkan tangannya ke arah Gilang. Dan disambut dengan senyuman dan jabat tangan Gilang.

"Sari, ayo kembali ke kamar, sudah malam. Tidur ya sayang. Nanti Bunda menyusul. Sekarang Sari ama eyang putri dulu ya" Sari segera masuk kamar, menuruti perkataan Riri. 

"Gilang, masuk. Duduklah, aku ambilkan bukunya ya. Sebentar. Oya kamu mau minum coklat hangat atau teh ?" 

Gilang duduk di ruang tamu yang sudah lama tak dikunjunginya. "Air putih saja Ri, kalau ada yang dingin. Aku tidak lama koq" sebenarnya ada penasaran di hati Gilang. Mengapa gadis kecil itu memanggil Bunda pada Riri.

"Ini bukunya." Riri membawa segelas air putih dingin dan buku pesanan Gilang. 

"Maaf ya, aku lupa terus sampai kamu harus ambil ke mari."

"Bunda? Mengapa kamu punya anak dan udah usia balita?" Tidak menjawab perkataan Riri, tapi langsung memberi tanya. 

"Oh Sari itu anak angkatku, aku merawatnya di rumah sudah jalan hampir 6 bulan. Aku mengadopsinya dari panti asuhan. Karena panti asuhan itu hampir ditutup. Sudah tidak bisa beroperasi lagi karena tidak ada donatur. Aku dapat info dari Ibuku. Lalu Ibu memintaku mengadopsi salah satu anak dari sana. Dan Sari yang terpilih. Aku mendadak jadi seorang Bunda yang tak berpengalaman. Banyak penyesuaian yang membuatku sering lupa ini itu. Termasuk bawa buku yang kau pesan. " penjelasan Riri membuat Gilang terdiam. Ternyata ini yang membuatnya jadi pelupa. Selain pekerjaan kantor yang banyak, Riri ternyata punya anak angkat. 

"Kenapa tak pernah cerita?" Tanya Gilang lagi. Riri hanya tersenyum. Bulan lalu Sari sakit sehingga Riri terpaksa beberapa kali ijin tidak masuk kerja untuk mengantar dan menunggui Sari berobat. Ibunya tidak cukup kuat untuk bepergian sendiri mengantar Sari. Tapi kalau hanya menemani Sari bermain di rumah, masih bisa. Karena Sari termasuk anak yang tidak terlalu aktif. Kegemarannya berkisar di dunia lukis. Jadi tidak terlalu susah mengurus Sari sehari-hari. 

Tapi berbeda saat Riri pulang kerja, Sari akan menyita banyak waktu Riri, mulai mendongeng, belajar, bermain dan lain-lain. Riri jadi sering bangun kesiangan. Meski tidak sampai terlambat ke kantor, tapi dia tak lagi bisa mengerjakan tugas kantor saat sudah di rumah. Akibatnya pekerjaannya menumpuk di kantor. 

Inilah alasan lain mengapa Riri berkali-kali lupa membawa buku pesanan Gilang. Gilang baru memahami. Seharusnya dia tak menghakimi Riri apalagi sampai marah. Kini Gilang telah tahu, sahabatnya telah menjadi seorang Ibu dengan anak satu. 

"Jadi besok dan seterusnya saat sibuk, kau tidak bisa mengurus Sari?" Tanya Gilang setelah mendengar cerita Riri. Riri mengangguk sedih. "Iya, aku belum tahu. Kalau pekerjaanku sampai ke luar kota, dan seandainya harus menginap, aku cemas meninggalkan Ibu dan Sari berdua saja di rumah" jawab Riri resah. 

"Minggu depan aku sudah mulai berkurang pekerjaannya. Tidak terlalu sibuk. Kalau boleh, aku bisa menolongmu menjaga Ibumu dan Sari saat kau harus keluar kota dan sampai menginap." Kata Gilang. Riri terperanjat. Gilang melanjutkan "Tapi ada syaratnya" Riri menatap Gilang resah. "Kalau minta bayaran uang, aku tidak punya." Kata Riri langsung.

Gilang tertawa "Hai, aku tidak kurang uang. Aku tidak minta uang" kata Gilang lagi. "Lalu apa syaratnya?" Penasaran Riri dibuatnya. "Biarkan aku melihat koleksi bukumu dan meminjam semua buku yang ingin aku baca, deal?"

Bagi banyak orang mungkin biasa saja meminjamkan buku. Tapi tidak bagi Riri, tidak semua buku dia akan pinjamkan. Hanya buku-buku tertentu saja yang dia pinjamkan. Dan Gilang tahu itu. Setelah berpikir sejenak, "oke deal, tapi apa kau yakin bisa menolongku mengurus Sari pas aku tidak di rumah?"

Gilang dalam hati kecilnya tertawa, berasa sudah kayak ayah dan bunda saja sekarang. "Kan aku hanya ada di rumahmu saat kau menginap di luar kota saja. Tidak seharian di sini. Hanya setelah aku pulang kerja sampai malam kan" Kata Gilang yakin. "Jangan salah, aku udah pengalaman mengurus balita, keponakanku saja ada 5. Aku pernah juga bantu urus mereka. Lagian kan ada Ibumu. Aku hanya menjadi pengawas keamanan rumah saja kan? Bisa lah kalau cuma begitu." Gilang menjelaskan jobdisknya sendiri dengan detail. Riri hanya tersenyum. 

"Besok kukabari ya, aku tanyakan sama Ibuku apakah mau kau temani. Anyway, thanks ya for your care." Kata Riri. "Don't mention it" jawab Gilang singkat. Lalu pamit pulang karena hari telah mulai larut. 

Hari-hari berikutnya, Riri dan Gilang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Riri sudah mendapat ijin untuk tetap tinggal di kantor dan tidak ikut acara-acara di luar kota. Apalagi sampai menginap di luar kota. Ketua tim mengetahui kondisi Riri dan memakluminya. Meskipun ada syaratnya. Riri masih harus membantu segala persiapan tertulis dan mengirimkan via email pada ketua tim. Rasanya tak masalah buat Riri. 

Riri lupa memberi kabar pada Gilang dan Gilang juga sengaja tak bertanya. Baginya kalau Riri tak menghubunginya berarti Riri masih bisa mengatasi semua. Sampai suatu hari. 

"Gilang, besok aku diminta menggantikan teman yang mendadak sakit. Aku terpaksa ke luar kota juga. Bisakah kau menolongku?" Pesan singkat dari Riri langsung dipahaminya. Keesokan harinya di sore hari sepulang kerja, Gilang langsung menuju rumah Riri. Sekitar pukul 6 sore Gilang sudah  tiba di sana. Riri sudah menitipkan sebuah tulisan pada Ibunya. Hal-hal yang mungkin akan diperlukan Sari. Beneran berasa jadi seorang ayah. 

Sari awalnya merasa takut-takut sama Gilang. Namun karena Ibunya Riri bersikap baik pada Gilang, akhirnya Sari pun merasa nyaman. Hingga malam tiba waktunya Sari tidur, Gilang membacakan satu buku cerita sesuai permintaan Riri dalam daftar tulisannya. Riri tidur bersama Eyang Putri atau Ibunya Riri. 

"Nak Gilang, nanti istirahat di kamar Riri saja ya. Biar Ibu yang tidur bersama Sari di kamar Ibu." Karena rumah ini hanya terdiri dari dua kamar saja. Tadinya kupikir akan tidur di sofa depan saja sudah cukup. Riri juga tidak bilang apa-apa di kertas pesannya. 

Perlahan kumasuki kamar Riri. Ini pertama kalinya Gilang masuk ke dalam ruang paling pribadi milik Riri. Di situlah letak harta karun Riri. Berlarik koleksi bukunya berderet rapi di rak. Gilang melihat-lihat dan memilih judul yang tepat. Buku yang terakhir dipinjamnya sudah kembali ke tempatnya. Hanya butuh waktu singkat bagi Gilang menyelesaikan sebuah buku ketika hasrat membacanya muncul. 

The Day I Die, judul buku yang berhasil menarik perhatian Gilang. Lalu ditariknya buku itu dari tempatnya dan mulai membaca. Gilang memilih membaca sambil duduk di sofa ruang tamu. Mengikuti kisah dalam buku itu sungguh membuatnya lupa tidur. Sampai Gilang tanpa sadar mengantuk dan tertidur di sofa itu. Gilang terbangun saat matahari sudah meninggi, dia kesiangan. Tapi segera saja dia tenang karena hari Sabtu, dia libur kerja. Tercium aroma kopi dan coklat hangat dan aneka masakan lainnya.

"Sudah bangun nak Gilang? Kenapa tidak tidur di kamar Riri?" Tanya Ibu sambil memberikan segelas coklat hangat pagi itu. Gilang rasa Ibu juga masih hapal minuman kesukaannya waktu dulu dia masih sering main ke sini. Jaman masih rajin kerja kelompok semasa SMA. Sudah lama sekali. Riri memang sahabat Gilang sejak masa SMA.

Sari juga sudah bangun dan langsung ikut bergabung mengobrol dengan Gilang. Sari menyodorkan sebuah kertas dengan gambar. Di situ ada lukisan sebuah keluarga kecil di depan rumah dengan halaman penuh bunga. Gilang tertegun mendapati tulisan di atas gambar orang yang dibuat Sari. Ayah Gilang, Bunda Riri, Eyang Putri dan Sari berdiri di tengah gambar Riri dan Gilang. 

"Kapan Sari menggambar ini?" Tanya Gilang penasaran. "Tadi pagi-pagi sekali waktu Om Gilang masih tidur. Sari menemani Eyang di dapur sambil menggambar." Jawab Sari. "Tapi kenapa di sini tulisannya Ayah Gilang ya, bukan om Gilang?" Tanya Gilang pura-pura tak paham. Sari hanya tersenyum tidak menjawab, lalu lari ke kamar eyangnya. Gilang hanya tersenyum. 

"Sari sudah sangat menyukai nak Gilang, sejak pertama melihat nak Gilang beberapa hari lalu. Sari terus bertanya pada Riri dan juga pada Ibu tentang nak Gilang. Meskipun sudah dijelaskan kalau nak Gilang ini temannya Bunda Riri, tapi Sari rupanya punya harapan tersendiri ya. Tidak usah terlalu dipikirkan kalau memang nak Gilang tidak suka dengan gambar itu. Namanya juga anak-anak" 

Ibu menjelaskan panjang lebar, Gilang membalas dengan senyuman. Setelah selesai sarapan pagi, kami bertiga duduk di halaman depan rumah dan saling bercerita. Tak berkurang bunga-bunga yang ditanam Riri. Masih sama banyak dibanding dulu. Malah kelihatannya bertambah banyak. 

Masa-masa SMA paling sering Gilang menggoda Riri. Mengetuk pintu rumahnya dan membawa beberapa bunga. Namun langsung ketahuan oleh Riri kalau bunga-bunga itu berasal dari halaman rumahnya sendiri. Gilang tersenyum geli mengingat kenangan itu. Betapa marahnya Riri melihat tanaman bunganya dipetik. 

"Sari, apa sama Bunda Riri dibolehin metik bunga?" Riri mengangguk. Tapi lalu menyahut. "Tapi kata Bunda, bunga-bunga itu lebih indah kalau tetap di tanamannya. Sesekali metik boleh, asal jangan terlalu sering" Sari mengulangi nasehat Riri. Gilang hanya tersenyum mendengarkan. Timbul lagi ide masa SMA dulu. "Bagaimana kalau kita petik beberapa bunga lalu kita rangkai untuk Bunda Riri?" Sari langsung mengangguk. Lalu dia berlari ke dalam rumah mengambil gunting untuk memotong beberapa bunga. Ibu memberikan vas berisi air untuk menyimpan bunga yang sudah dipetik.

Menjelang jam makan siang, Riri pulang. Dia membawa oleh-oleh untuk Gilang dan Ibunya. Tak lupa mainan buat Sari. Gilang hanya tersenyum melihat mainan yang dibawa Riri. Boneka Barbie cantik berambut panjang. 

Setelah menikmati makan siang bersama, mengobrol sebentar, Ibu mengajak Sari tidur siang sehingga kini hanya ada Gilang di ruang tamu bersama Riri. 

"Itu pasti idemu kan?" Kata Riri menunjuk ke arah vas bunga yang menghias indah di atas meja dengan bunga-bunga dari halaman. Gilang hanya tertawa kecil. Riri tidak marah-marah melihat bunganya dipetik. Mungkin karena sudah ada Sari di kehidupannya. "Tapi kalau ini ide Sari" kata Gilang mengulurkan sebuah gambar yang diterimanya pagi tadi. "Sari ingin punya ayah, sudah kau pikirkan siapa yang akan jadi ayahnya?" 

Riri menatap gambar yang dipegangnya. Lalu sembari mengalihkan pandangan ke arah Gilang. Gilang pun langsung bilang "Jadi, apa boleh aku jadi ayahnya Sari?" Kata Gilang langsung tanpa basa-basi. Tak ada jawab dari Riri. Ruangan menjadi sepi tanpa suara. 

Bukan rahasia lagi bagi Riri, perasaan Gilang padanya masih sama seperti masa SMA. Tadinya Riri kira itu hanya cinta monyet, cinta anak remaja. Namun Gilang membuktikan keseriusannya. Tetap berada di sisinya dalam suka dan dukanya. Selalu siap menolongnya saat dibutuhkan. Gilang sahabatnya itu, akankah akhirnya menjadi kekasihnya? "Gilang, apa kau serius?" Kata Riri memecahkan keheningan. "Sangat serius." Kata Gilang tanpa ada ragu. Sahabat yang sudah dicintainya sejak SMA yang sangat ingin dipersandingnya sebagai pasangan hidup selamanya. Akankah ini menjadi saatnya?

Riri pun kembali diam. Dalam senyap hanya terdengar sayup-sayup lagu Janji Suci Yovie Nuno, menambah romantisnya moment itu. Akhirnya Riri menjawab "Baiklah, kau boleh jadi ayahnya Sari" kata Riri dengan pasti. Gilang tersenyum senang. Akhirnya penantiannya berakhir indah. Sahabatnya kini telah jadi kekasihnya. Bahkan janji suci itu terikrarkan bersama akhirnya beberapa bulan kemudian. Berarti harapan Sari dalam gambarnya terwujud.

Kini, kedua sahabat itu telah menjadi sepasang kekasih dan juga sekaligus menjadi pasangan hidup. 

Artist: Yovie And Nuno

Song : Janji Suci

Album: Cinta

...

Tamat

...

Written by Ari

9 November 2019

 ...

Baca juga ya kisah sebelumnya: 

Bukan-ku-berniat-lupa-maaf

...

Selamat berakhir pekan

#CerpenAri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun