Dia selalu bilang ingin lihat bunga tulip, bunga daffodil, maupun bunga-bunga lainnya yang aku sungguh lupa nama. Bagaimana aku bisa ingat, ku bahkan tak pernah perhatikan kalau bunga-bunga itu mekar. Aku hanya akan memperhatikan pekerajaanku, pelajaranku dan buku-bukuku yang sangat banyak. Aku juga tidak merasa tertarik dengan bunga. Biasa saja buat aku.Â
Atau sebaiknya kubawaksn dia coklat saja? Bukankah banyak wanita yang suka coklat. Apalagi di sini ada coklat yang sangat terkenal. Aku benar-benar bingung mau kubawakan apa. Setelah berpusing ria memikirkan oleh-oleh yang hendak kuberikan, akhirnya sudah kuputuskan.
Sabtu itu, aku datang ke ruang seminar dengan jantung berdebar. Astaga, mau bertemu dengannya saja aku merasa deg-degan begini. Sangat kencang jantungku berasa berdebar. Aku cari sosoknya di ruang seminar itu. Berharap ada kursi kosong di sebelahnya.Â
Dan aku tahu tempat favoritnya. Tidak jauh-jauh dari pembicara seminar. Selalu saja begitu. Benar. Aku lihat dia di sana. Masih banyak tempat kosong. Aku memang sengaja datang lebih pagi. Ternyata dia sudah datang duluan. Kulihat dia sibuk memainkan handphonenya. Foto ruang seminar dan sebentar pasti akan update di media sosialnya. Aku hanya tersenyum. Tak juga berubah sedikitpun. Keaktifannya di media sosial sangat berbeda denganku. Namun sisi baiknya, aku jadi selalu tahu kabarnya.
Aku mendekatinya tanpa dia sadari. Karena dia sibuk dengan gadgetnya. "Boleh saya duduk di sini? Kosong kan?" Kataku tanpa menyapa namanya. Dia terdiam, mendemgar suaraku. Dia secepat kilat memalingkan wajahnya dari gadget yang dipegangnya. "Angga" hampir saja dia berteriak kalau tidak cepat-cepat kuberi kode agar tenang. Aku hanya tersenyum sumringah. Dia bahkan tak menjawab tanyaku. Hanya menatapku tak berkedip. "Oh, kursi ini sudah ada pemiliknya ya? Baiklah, aku duduk di tempat lain kalau begitu" kataku lagi saat dia masih menatapku dalam diam.Â
Aku siap melangkah pergi ketika aku merasa ada yang menahanku, dia memegang lenganku. "Angga. Duduk sini saja. Kosong koq." sambil tersenyum cerah dia menjawabku. Dan ketika dia sadar sudah memegang lenganku agak lama. Dia langsung melepaskannya.Â
" Eh maaf" katanya malu-malu. Aku membalasnya dengan senyuman saja. Lalu duduk di sebelahnya. "Angga kapan pulang?" Aku mengernyitkan keningku, ingin menggodanya. "Astaga, Vira, aku baru databg sudah ditanya kapan pulang? Tidak suka kalau aku datang ya?" Jawabku dengan wajah pura-pura marah. "Apa? Bukan begitu. Maksudku, kapan kamu datang dari benua barumu itu? Kamu bahkan tak mengabariku. Kalau tahu kamu akan datang kan aku bisa kerahkan semua teman untuk kita reunian kecil hari ini" katanya tak berhenti bicara. Memang Vira beberapa kali mengatur pertemuan aku dan teman-teman tapi selalu saja gagal dan ini kali pertama aku bisa akhirmya bertemu dengannya saja.Â
Ada sedikit kesal yang dia pikirkan masih saja mempertemukan aku dengan teman-teman. Bukan dengan dia saja. Ini anak apa masih ga paham juga ya kalau yang sangat ingin kutemui hanya dia saat ini. Aku hanya memberinya senyum. Belum sempat kami mengobrol banyak, pembawa acara sudah naik ke podium  mengumumkan seminar akan segera dimulai. Akhirnya kami hanya bisa saling diam. Dia pun udah langsung mengeluarkan buku catatannya. Sibuk mendengarkan dan mencatat apa saja. Ini pula yang masih belum juga berubah darinya. Sejak awal aku mengenalnya.Â
"Nanti ku fotokopi ya catatannya." Kataku memecahkan keheningan di anatara kami saat tiba waktunya break makan siang. Dia menatapku ceria. "Tulisanku jelek. Habis pembicaranya cepat sekali bicaranya. Daya tangkapku tak sama lagi seperti masa muda." Aku tertawa kecil. "Memang sekarang udah merasa apa?" Tanyaku. Aku tak mau mengatakan kami sudah makin menua. Dia menatapku dengan riang. Astaga tatapan itu membuat jantungku ingin berhenti berdetak karenan saking cepatnya. Aku coba untuk menenangkan diri dan memberi senyuman kecil saja.Â
"Angga. Aku senang sekali bertemu denganmu hari ini. Kejutan sangat indah di akhir tahun. Bagaimana kabarmu?" Dia mengalihkan pembicaraan. "Baik. Aku sudah mendapat gelar master science ku di sana. Baru saja." Dia menepuk bahuku kencang tanda kekagetannya. Akupun sama kagetnya dengan tepukan itu. "Hei, selamat ya. Astaga. Kenapa tak beritahu aku. Kamu pasti kemaren-kemaren sangat sibuk ya. Sampai-sampai pesan-pesanku tak kau balas. Maaf aku tak tahu. " katanya dengan wajah khasnya kalau menyesal dan sedih. Aku hanya memberinya senyuman lainnya. "Inikan udah dikasi tahu. Iya agak sibuk kemaren-kemaren. Maaf ya. Jadi seperti cuek padamu." Vira hanya mengangguk. Selesai waktu makan siang. Seminar pun dilanjutkan. Kami selesai seminar sekitar pukul 3 sore.Â
"Aku antar pulang ya" kataku saat menjelang waktunya pulang. "Kamu serius Angga? Tempat tinggalku kan jauh. Di luar kota." Dia masih tak percaya dan kulihat wajah terkejutnya. "Tidak apa. Sekalian aku mengunjungi saudaraku yang tinggal tak jauh dsri tempatmu" itu alasanku saja agar dia tidak menolakku. Kami bersama memasuki mobil silverku. Dia menatapnya agak sangsi. Aku tersenyum. "Kenapa? Takut? Aku bisa koq nyetir. Aman" dia hanya tertawa kecil. "Habis selama ini aku tahunya kamu selalu kemana-mana naik kendaraan umum. Lalu jalan kaki. Aku tidak tahu kalau kamu bisa nyetir."Â