Tulisan ini sebelumnya sudah saya publikasikan di web saya yang lain di www.duniaperpustakaan.com
SALUT .. SALUT.. SALUT dan SALUT …..
Mungkin kata-kata itu yang pertama ingin aku sampaikan teruntuk Eko Cahyono pendiri dari Perpustakaan Anak Bangsa yang beralamat di Jalan Brawijaya, Desa Sukopuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Apa yang dilakukan Eko Cahyono sungguh termat luar biasa. Hanya untuk memperjuangkan lokasi perpustakaanya yang terancam tergusur, dia rela menawarkan ginjalnya, sebuah pengorbanan yang mungkin belum pernah di lakukan oleh orang-orang yang mungkin selalu berkoar-koar mengabdikan diri untuk kemajuan perpustakaan.
Walaupun niat tersebut tidak terlaksana, tapi tekad dan semangat Eko perlu kita tiru dan contoh, hanya saja caranya yang mungkin berbeda. Karena untuk memajukan perpustakaan di Indonesia memang butuh perjuangan dan rintangan yang berat. Ironisnya kadang rintangan dan halangan itu Justru datang dari birokrasi dan lembaga yang SEWAJIBNYA memperjuangkan terus perpustakaan di Indonesia supaya terus maju dan berkembang.
Tapi hari ini kita memiliki banyak pelajaran dari kisah Eko ini, ternyata untuk memiliki tekad yang tinggi untuk benar-benar memperjuangkan kemajuan perpustakaan di Indonesia yang paling utama dan terutama adalah dari NIAT dan PENGABDIAN yang TULUS untuk memperjuangkan kemajuan perpustakaan di Indonesia, hal itu pula yang sudah dilakukan oleh Eko.
Eko mungkin bukan lulusan dari sebuah Universitas jurusan ilmu perpustakaan, beliau juga bukan dari kalangan Dosen atau profesor di bidang perpustakaan, dia juga bukan seorang Pejabat yang menangani tentang Perpustakaan, TAPI, LIHATLAH, apa yang dia lakukan mungkin belum pernah dilakukan oleh orang-orang yang saya sebutkan diatas. Eko dengan setulus hati tanpa pamrih benar-benar mengabdi untuk mengabdi dan tak pernah berharap balas jasa dari apa yang sudah di kerjakanya untuk perpustakaan Anak Bangsa.
Sedangkan para pejabat, dosen, dan mungkin saya sendiri yang selama ini berkoar mengkampanyekan kemajuan perpustakaan BELUM TENTU melakukanya dengan sepenuh hati seperti apa yang sudah dilakukan oleh Eko. Bisa jadi mungkin karena para pejabat-pejabat di negeri ini mau bekerja untuk memajukan perpustakaan karena mendapatkan UPAH. Sedangkan apa yang sudah di lakukan oleh Eko benar-benar tanpa pamrih, sesuatu yang patut kita teladani dan kita tiru perjuanganya.
Hari ini kita para pustakawan dan semua pihak yang selalu dan selalu berjuang untuk memajukan perpustakaan di Indonesia harus belajar dan mengambil teladan dari apa yang sudah dilakukan oleh Eko.
Jika seorang Eko yang tanpa pamrih dan digaji, beliau terus berjuang untuk memajukan perpustakaan di daerahnya, maka sepatutnya kita atau siapapun yang bekerja sebagai pustakawan yang di setiap bulanya mendapatkan gaji untuk berusaha dan berusaha untuk terus bekerja dengan baik dan penuh tanggung jawab. Karena apa yang pustakawan lakukan saat ini sesungguhnya sebuah pengabdian yang memiliki peran luar biasa dalam ikut serta memajukan sebuah bangsa.
Dan teruntuk para pejabat dan semua pihak yang memang sepatutnya memberikan perhatian kepada kemajuan perpustakaan untuk terus dan terus bekerja keras lagi supaya perpustakaan di Indonesia semakin maju dan terus berkembang menjadi lebih baik lagi.
Untuk anda yang belum tahu kisah dari Eko Cahyono, saya kutipkan profile beliau yang saya ambil dari detik.com dibawah ini;
Malang – Niat Eko Cahyono (30), menjual ginjal miliknya demi mempertahankan perpustakaan yang akan digusur sempat mendapat perhatian dari masyarakat. Terbukti 3 orang dari luar Jawa Timur sempat menanyakan harga ginjal miliknya.
“Karena tidak ada uang, organ ginjal maunya saya jual. Saat itu ada tiga orang dari Bali, Jakarta, dan Solo berniat akan membeli. Namun, saya mengalami kegagalan ketika akan menjualnya,” kata Eko, saat ditemui detiksurabaya.com di perpustakaan ‘Anak Bangsa’ di Jalan Brawijaya, Desa Sukopuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Selasa (18/5/2010).
Putra pasangan Supeno (55) dan Ponisah (48), ini mengaku selama akan menjual ginjalnya, banyak terjadi kendala akhirnya ginjalnya gagal terjual, meski telah ada kesepakatan harga. “Orang Bali itu meninggal sebelumnya membeli ginjal saya dengan harga 400 juta, sementara orang Jakarta itu batal membeli, karena telah diberi ginjal oleh saudaranya,” cerita Eko, yang tidak mengira jika harga ginjal miliknya ditawar dengan harga mahal.
Dalam kondisi itu, Eko banyak mendapatkan pencerahan dari guru spritualnya agar tidak kembali berniat menjual ginjalnya. Dalam waktu bersamaan berkah pun datang, Suyono (50), pemilik lahan batal untuk menjual tanahnya.
“Saya berpikir mungkin Tuhan tidak merestui saya menjual ginjal, setelah banyak kegagalan serta batalnya Pak Suyono menjual lahannya. Terlebih banyak pihak telah menyumbang katalog hingga kini berjumlah 20 ribu katalog,” tutur Eko.
Meski begitu, Eko saat ini masih terobsesi untuk menjual ginjalnya. Karena ancaman perpustakaan miliknya tergusur dari lahan itu masih mengusik benaknya setiap hari.
“Masih belum aman di sini, bisa saja nanti digusur. Karena itu niat untuk menjual ginjal tetap ada. Bahkan kalo ada yang mau, saya mau mendonorkannya,” kata alumnus SD Negeri I Sukopuro ini.
Perpustakaan Anak Bangsa ini didirikan Eko, berawal saat dia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari pabrik kulit tempat dia bekerja tahun 1997 silam. Sebuah motor bebek miliknya nekat dia jual Rp 7 Juta hanya untuk memenuhi obsesinya membangun sebuah perpustakaan.
(bdh/bdh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H