Mohon tunggu...
Ariati Dina Puspitasari
Ariati Dina Puspitasari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Ibu dua anak yang suka belajar mengajar serta menelusuri hikmah dari suatu peristiwa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sugeng Nglajengaken Lampah, Pakde Didi

5 Mei 2020   23:30 Diperbarui: 5 Mei 2020   23:25 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Budhee,,didi kempot meninggal lho", seru saya kepada budhe, panggilan kami kepada seorang perempuan yang biasa membantu pekerjaan rumah tangga kami.

"Weh, nggih (ya) to buk, kapan le mboten onten (kapan meninggalnya)?", sahut budhe.

"Niki wau (ini tadi) jam 07.45 beritanya", jawabku.

Tersebut adalah dialog yang terjadi atas kabar meninggalnya The Lord of Brokenheart yang sangat mengagetkan saya pagi ini, Selasa, 5 Mei 2020. 

Kabar tersebut saya peroleh dari ibu saya di grup whatsapp keluarga yang sangat tahu bahwa anaknya ini adalah bagian dari sobat ambyar. Ibu masih sangat ingat bagaimana saat kehamilan kedua saya, disaat harus lembur malam untuk mengerjakan tugas, lagu-lagu pak dhe didi selalu menemani saya dan saya pun terlarut dengan cendol dawetannya.

Tak lama, saya buka berbagai grup yang saya miliki juga sedang membahas tentang kabar meninggalnya penyanyi laki-laki paruhbaya yang lagu-lagunya membuat hati menjadi ambyar bagi yang mendengarkan. 

Ya, kata ambyar adalah salah satu dari judul lagu didi kempot untuk mengungkapkan perasaan marah, sebel, kesel yang sangat kebangeten. Bahkan saat ini kata ambyar juga digunakan untuk mengungkapkan perasaan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata, maka yang keluar dari mulut adalah Ambyarrr.

Sebagai bentuk ungkapan kesedihan atas meninggalnya didi kempot tersebut, saya update status di WA. Tak disangka ada mahasiswa saya yang merespon dan berdialoglah kami yang intinya ternyata kita sama-sama sobat ambyar. 

Obrolan dengan mahasiswa saya mengingatkan kembali masa-masa dimana saya mulai mengenal lagu-lagu didi kempot, ya, tahun 1996 saat masih SD saya sudah mengenal lagu-lagu pak dhe (sapaan sobat ambyar kepada didi kempot). 

Terlebih saat SMP tahun 1998, kebetulan SMP saya di Surakarta, saat pulang ke rumah di Wonosobo saya selalu menikmati lagu-lagu pak dhe yang dinyanyikan oleh pengamen-pengamen Bus Kota disepanjang perjalanan. Hal itu juga kembali saya rasakan saat pulang ke jogja dari bekerja di Boyolali dan Salatiga tahun 2010. 

Lagu favorit saya saat itu adalah Sewu Kuto, Stasiun Balapan, Tanjung Mas, dan Plong. Tidak hanya lirik lagunya yang membuat hati ambyar, tapi lagu-lagu ini memiliki kenangan tersendiri bagi saya yang saat itu memang sedang nandang kasmaran tapi tak tau dia dimana. Hihihi.

Bagi yang bukan sobat ambyar, dikiranya lagu pak dhe hanya menceritakan tentang cinta dan patah hati. Jangan salah, pakdhe juga memiliki lagu-lagu religi seperti mampir ngombe, sholat kuwi wajib, tobat, dan lainnya. 

Pak dhe Didi juga memiliki lagu tentang bakti kepada orang tua judulnya Sewu Siji. Setiap mendengar lagu ini, saya selalu mbrambangi (nangis tapi air mata tertahan di mata). 

Bagaimana tidak, lagu ini mengingatkan kita sebagai anak untuk senantiasa berbakti kepada orang tua yang setiap saat mendoakan kesuksesan hidup kita, juga mengingatkan bahwa surga ada di bawah telapak kakinya. 

Dari lagu ini pula, saya berharap agar menjadi salah satu jalan terbukanya pintu hidayah bagi setiap anak yang melupakan dan berani kepada orang tua, karena dalam pemberitaan di media cukup banyak anak yang tega menganiaya orang tua bahkan membunuhnya, naudzubillahi min dzalik.  

Kini, The Lord of Broken Heart telah berpulang kepada Sang Pencipta disaat melalui konser-konsernya para sobat ambyar tak lagi memperdulikan tentang perbedaan pilihan politik, perbedaan pilihan sikap atas kebijakan pemerintah. 

Yang ada mereka satu rasa yaitu rasa untuk mengungkapkan ke-ambyar-an yang menyelimuti hati dengan kenangan masing-masing. Banyulangit, Pamerbojo, Layang Kangen, 

Cidro, dan lagu-lagunya yang lain akan menjadi saksi sejarah bahwa pernah ada seorang seniman jawa yang dicintai oleh semua kalangan tanpa batas usia. Karena nyatanya anak-anak kecil di perumahan saya (termasuk anak pertama saya) sangat hafal dengan cendol dawet dan bisa menyanyikan layaknya sedang berada di konser.

Sugeng nglajengaken lampah Pak Dhe Didi, kembalinya panjenengan kepada Sang Maha Kuasa sejatinya bukan akhir dari kehidupan. Masih ada kehidupan lain yang akan panjenengan lalui. 

Semoga di kehidupan lain tersebut tempat panjenengan diluaskan dan diterangi seperti luasnya hati panjenengan yang dengan tulus ikhlas membantu sesama dan menggembirakan hati yang luka.  

Untuk sobat ambyar yang membaca tulisan ini, meninggalnya Pak Dhe Didi jangan sampai membuat dirimu ambyar secara berlarut-larut. Ayo ikuti nasehat Pak Dhe yang ada di lagu-lagunya baik yang tersirat maupun tersurat. 

Seperti mampir ngombe, Pak Dhe mengingatkan kita bahwa hidup itu hanya sesaat, maka jangan sampai kita meninggalkan ibadah dan kewajiban sebagai umat-Nya. 

Atau di lagunya yang berjudul Banyu Langit, secara tersirat pesan agar kita tidak ingkar janji terlebih kepada orang terkasih karena akan membuat hatinya sengsara. Mari menjadi orang baik melalui lagu-lagu Pak Dhe sehingga pahala kebaikan tersebut juga mengalir kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun