Mohon tunggu...
Ariasdi
Ariasdi Mohon Tunggu... Administrasi - Dunia Pendidikan

Catatan Kecil Dunia Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Makna "Cinta" Tonny Koeswoyo dalam Misteri Kehidupan

21 Januari 2018   11:14 Diperbarui: 25 Januari 2018   19:12 2960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Okky R / Grafis: Ariasdi

Plato pernah mengusir para seniman dari Athena. Filusuf yang sangat disegani tersebut menganggapnya sebagai manusia tidak berguna. Karya mereka hanya mengumbar 'emosi dan nafsu'. Tidak menggunakan akal sehat (rasio).

Pandangan Plato sinistis terhadap konsep 'ide' sebagai proses awal penciptaan sebuah karya. Kerja seniman hanyalah peniruan (mimesis) realitas alami. Strata seniman lebih rendah dibandingkan seorang pengrajin (tukang).

Tanpa menghilangkan rasa hormat dan penghargaan terhadap gurunya, Aristoteles 'memperbarui' pendapat tersebut. Dengan sangat berhati-hati Aristoteles menyampaikan bahwa karya seni merupakan 'proses kreativitas' yang menghasilkan 'bentuk-bentuk baru' dari gejala-gejala alam yang dicerapnya.

Faktanya, seniman memang bukan seorang tukang. Seniman mengawali karyanya dari kontemplasi dan perenungan berdasarkan stimulus yang ditimbulkan dari pengalaman diri dan lingkungannya. Kontemplasi dalam jiwa meditasi tersebut meletup menjadi moksa. 

Seperti kepompong, moksa bermetamorfosis dengan cara yang 'aneh' dalam membentuk ide dan konsep-konsep baru. Barzah antara 'dunia ide' dengan 'dunia nyata' menimbulkan kegelisahan (sakaw). Ekstase seorang seniman dalam fase ini dilampiaskan menurut karakteristik kepribadiannya. Jangan coba-coba mengganggu seniman yang tengah berada dalam 'maqam' ini. Tunggu saja karyanya dalam bentuk sastera, irama, gerak maupun rupa. Atau bentuk-bentuk lain yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya di pikiran seorang 'awam'.

Khairil Anwar sebagai sosok mediasi telah menyampaikan pesan dari 'langit' kepada siapa saja yang (merasa) memiliki jiwa Nasionalis di negeri ini. "...kami cuma tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan". Rintihan para suhada yang diwakili oleh mereka yang gugur antara Kerawang Bekasi tersebut seakan laknat dan kutukan bagi siapa saja yang memperturutkan syahwatnya terhadap Ibu Pertiwi.

Demikan juga dengan Dolores O'Riordan yang telah pergi untuk selamanya (Senin, 15/1/2018). Pencipta sekaligus vokalis The Cranberries melalui lantunan 'Zombie' menangkap konflik dan masalah kemanusiaan di Irlandia Utara. Ungkapan kemarahan, kekecewaan, kehampaan dan kebingungan kepada separatis Irish Republican Army (IRA). Ledakan bom yang diletakkan di tempat sampah di kota Warrington, Inggris merenggut nyawa dan melukai belasan orang lainnya, termasuk anak-anak. Siapapun yang mendengar "Zombie" akan merasakan suasana kebatinan yang sama.

Hiruk pikuk, teriakan, pecahan bom dan suasana banjir darah juga terasa dalam kanvas berukuran 7,5 kali 3,5 meter. Serangan udara di Guernica, Spanyol memaksa jiwa seorang Pablo Picasso gelisah. Melalui lukisan kubisme dengan judul "Guernica", Picasso menyampaikan kepada seluruh generasi peristiwa memilukan itu. Sapuan cat minyak tersebut terus menerus 'hidup dan berteriak' tanpa mengenal lini masa, walau dibuat dengan stilirisasi bentuk realis yang selama ini dikenal.

Guernica dalam sebuah pameran. (sumber foto: antheamissy.com)
Guernica dalam sebuah pameran. (sumber foto: antheamissy.com)
Itulah 'bahasa' seniman. Namun, Signal komunikasi tersebut ada kalanya 'tertutup dan mandeg', menjadikan seorang seniman gagal menerjemahkan bahasa batin. Tidak ada lagi kegelisahan. Tidak ada lagi dialog antara 'langit dan bumi'. Idealisme pupus. Percuma mengharapkan 'masterpiece' dari seniman yang sudah 'mati rasa'.

Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi bahan seminar dan santapan wajib akademisi bagi yang ingin menggali falsafah seni. Berbagai ulasan dapat dimulai dari sana, termasuk 'butiran' karya sang legenda, Tonny Koeswoyo; "Cinta".

Koes Bersaudara dan Koes Plus. (grafis: ariasdi)
Koes Bersaudara dan Koes Plus. (grafis: ariasdi)
Koes Bersaudara maupun Koes Plus jarang sekali mengumandangkan lagu "Cinta" dalam konser-konsernya. Popularitas lagu yang diluncurkan di akhir tujuh puluhan tersebut jauh dibandingkan Kolam Susu, Kapan-Kapan atau Diana, yang seakan menjadi lagu wajib setiap pementasan.

Lagu "Cinta" tersimpan rapi dalam bejana bening dan tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Bahkan oleh dinasti Koeswoyo sekalipun karena jarang dimainkan. Butiran lagu "Cinta" telah mengkristal di dalam cangkang kerang yang putih bersih dan terpendam bertahun-tahun dalam samudera yang 'dalam'. "Cinta" laksana mutiara yang terlupakan!

Tonny dikenal sebagai sosok yang sangat ngotot dalam berkesenian. Rela melepas status orang kantoran agar tetap bisa berkarya. Semangat yang dibangunnya menjadikan seluruh personil Koes Plus (bahkan siapapun) tidak akan pernah merasa 'kehilangan' seorang Tonny Koeswoyo. Jiwanya masih tetap 'ada'. Karyanya masih terus disenandungkan dan selalu terkesan baru.

Setiap helaan nafas Koes menjadi dinamisasi melodi-melodi alam yang 'enteng' untuk disenandungkan. Tinggal memilih, sesuai suasana batin. Ingin pop, melayu, keroncong, kasidah, rock, blues, ska, hingga raggea. Semua sudah tersaji.

Lirik dan melodi ciptaan Koes Plus memang terkenal ringan dalam lirik dan cord. Kesan easy listening ini sengaja disampaikan Koeswoyo Senior kepada anak-anaknya agar karya tersebut mudah dicerap dan dimainkan dari kalangan manapun. Namun siapa sangka, dibalik keentengannya terdapat muatan 'spiritual' tentang makna hidup dan kehidupan. 'Enteng' di dalam 'berat'-nya.

Cinta, bagi Tonny bukan lagi sebatas rasa. Cinta adalah persoalan 'kemesraan' antara Illahiyah yang dicurahkan ke dalam hati setiap insan. Hanya hati yang 'rawan'lah yang mampu berdialog dengan-Nya. Kekarasan hati menjadi katalisator hubungan komunikasi antara manusia dengan Kholiq-nya. Antara seniman dengan karyanya.

Tonny menyadari sepenuhnya bahwa lagu "Cinta" sangat spesial. Karena itu harus memerlukan penanganan yang spesial juga. Bandingkan dengan lagu-lagu Koes lainnya, (mungkin) hanya "Cinta" yang dimainkan secara orkestra.

Dentingan dawai terhalus dari gitar melodi dipetik Tonny pada fret yang paling akhir. Nada tertinggi yang terdapat dalam alat musik tersebut disentuhnya dengan kelingking hingga melengking dan menyayat.

Yon, yang dipercaya sebagai vokalis, memulai dengan penghayatan yang sangat dalam, menunggu intro yang didominasi suara biola dan selo. Mimiknya seakan menyampaikan bahwa 'Ini Bukan Cinta Biasa'! Mungkin kesakeralannya itu juga yang melatarbelakangi lagu "Cinta" tidak bisa dinyanyikan di sembarang tempat.

Yon larut dalam 'mahabbah!'. Anggota tubuh Yon merespon kekhusyukan hatinya. Yon lupa dengan rithm gitarnya. Suatu sikap yang tidak biasa dilakukannya ketika bernyanyi dengan gitar di tangan. Hanya memeluk lembut tanpa sedikitpun berupaya memetik senarnya.

"Cinta" tidak memerlukan drum dengan hentakan dan ketukan sangar Murry, sebagaimana dilakukan pada "Bunga di Tepi Jalan". Juga tidak membutuhkan suara tinggi Yok ketika meneriakkan "hitaam...hitaam,...hitaaam!!!" dalam "Kelelawar".

Inilah sejatinya 'masterpiece' dinasti Koeswoyo Plus di antara tumpukan 'masterpiece' lainnya. Semoga Bung Adie MS, Erwin Gutawa, Purwatjaraka, atau siapapun, terserah, untuk mengaransemen kembali musiknya. Mainkan dan rasakan dengan hati yang 'rawan'. Roh dari Cinta dimaksud akan menampakkan diri kalau ditangani secara serius. Semoga Oom Yok dan Oom Nomo bisa 'menghidupkan' kembali, dibantu seluruh dinasti Koeswoyo sebagai backing-vocalnya.

Jika "Andai Kau Datang" berbicara tentang kepasrahan makhluk terhadap panggilan Illahi, maka "Cinta" adalah ungkapan takdir yang tidak bisa ditolak antara yang mencinta dengan Yang di-Cinta.

Sumber Foto: Okky R / Grafis: Ariasdi
Sumber Foto: Okky R / Grafis: Ariasdi

Yon Koeswoyo vokalis yang dianugerahi Allah kecerdas dan kekuatan fisik hingga akhir hayatnya. Tumpukan karya dinasti Koeswoyo Plus didendangkan dengan penuh energi. Bayangkan, 77 tahun masih sanggup berdiri, berjingkrak sambil menyandang rithm electrick  gitar berbobot di atas 4 kg. Membawakan 25 lagu non-stop tanpa 'contekan' lirik. Masih terlihat muda, seperti puluhan tahun yang lalu. Dahsyat! Rahasianya, ketika diwawancara oleh salah satu stasiun televisi swasta; "semua itu dari hati. Hati yang lurus dan ikhlas," jawabnya.

Demikian juga dengan Yok Koeswoyo. Kontemplasinya sudah mencapai derajat sufistis. Reaksinya akan meninggi jika dikatakan seniman sebagai seorang 'pencipta'. Sufistik Yok nyaris mendekati Plato dan layak dipanggil 'Mpu'. Yok lebih nyaman jika hasil karyanya disebut sebagai 'karangan', karena 'pencipta' itu hanya milik Illahi.

Ternyata, teori 'mimesis'-nya Plato dan Aristoteles telah berhasil 'memaksa' dan 'membangunkan' manusia untuk berkarya dengan hati nurani. Plagiarisme dalam bentuk apapun sangat ditabukan, jika tidak ingin diejek sebagai karya yang pantas dilecehkan. Seniman memerlukan daya kreativitas dari imajinasi. Karya yang berasal dari kejernihan hati akan sampai ke hati. Rasionalitas manusia menerjemahkan, sehingga karya tersebut bermakna sebagai bekal kekhalifahannya. Plato dan Aristoteles hanya segelintir dari sekian banyak 'milestone' yang perlu ditapaki untuk sampai kepada kehidupan hakiki.

Moksa seorang seniman akan menuju noktah Sang Pencipta. Hanya hati yang lembut dan bening yang mampu menerima dan menyampaikan ukiran Qalam Illahi tersebut. Sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan karya yang dicemari unsur saitoni yang hanya mengumbar syahwat dan 'eros'. Inilah yang dimaksud Plato untuk membuangnya jauh-jauh dari Athena.

"Kalau kita punya pandangan luas. Kalau kita mengerti manusia. Kalau kita mengerti kebudayaan. Kalau kita mengerti proses keindahan pada manusia. Kalau kita mengerti jalannya bermacam-macam untuk menuju Tauhid kepada Allah SWT. Maka, seluruh keluarga Pak Koeswoyo, mereka adalah pahlawan," demikian Cak Nun ketika melepas kepergian Yon Koeswoyo di peristirahatan terakhirnya.

Emha Ainun Najib (Cak Nun) melanjutkan dengan rangkaian kata yang sarat makna: "Keluarga Koeswoyo bukanlah penyanyi. Mereka adalah orang yang sudah 'hidup' di dalam 'hati' Anda semua. Yang mereka nyanyikan adalah 'isi hati' Anda sendiri. Makanya, orang yang baru mendengarkan lagunya Koes, merasa sudah pernah mendengarnya, merasa sudah pernah menghafalnya. Karena yang mereka (Koes) nyanyikan bukan kehendak mereka".

Yon, John, Yok dan Nomo Koeswoyo. (sumber foto: aktual.com)
Yon, John, Yok dan Nomo Koeswoyo. (sumber foto: aktual.com)
Cak Nun juga berharap, "para pengamat, para penulis, pemerintah, departemen-departemen dan yang berkait, untuk mencari 'Ilmu' lebih luas, lebih tinggi dan lebih kompleks untuk memahami keluarga Koes. Karena selama ini pemahaman kita hanya fakultatif, hanya sebagian, hanya linier dan tidak mengerti kelengkapannya Koes, serta tidak mengerti sebenarnya dimana letak keistimewaan mereka ini".

Cak Nun juga menyinggung sejauh mana pemahaman kita terhadap keluarga Koes. "Terus terang, masyarakat banyak tidak faham. Pemahamannya dibawah 5% terhadap keluarga Koeswoyo," lanjutnya.

Yok dan Nomo Koeswoyo bersama Emha Ainun Najib ketika melepas kepergian Yon Koeswoyo. (sumber foto: caknun.com)
Yok dan Nomo Koeswoyo bersama Emha Ainun Najib ketika melepas kepergian Yon Koeswoyo. (sumber foto: caknun.com)
Walau pemahaman saya tergolong yang 5% ke bawah, tulisan ini perlu dipublikasikan. Saya berpendapat bahwa bahasa seniman itu universal dan ajeg karena yang disampaikannya bukan kehendak mereka. Bukankah yang menasehati Hamka adalah buku yang ditulisnya sendiri (Tasawuf Modern) ketika berada dalam kesulitan hidup? Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka wujudkan, apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka lakoni adalah refleksi dari "atas".

Maafkan saya jika sudah terlalu jauh menyelami makna "Cinta"nya Oom Tonny Koeswoyo. Maafkan jika hanya sampai di situ pemahaman saya. Maafkan.

"Kumenyerah pada-Mu, kumenyerah pada-Mu".

Selamat jalan Oom Tonny Koeswoyo (27 Maret 1987), Oom Murry (1 Februari 2014) dan Oom Yon Koeswoyo (5 Januari 2018).

Tunggu dulu!!!... Apakah ini kebetulan? Coba perhatikan bulan kepergian mereka. Januari, Februari, Maret! Berurutan. Ah, satu lagi misteri alam yang tidak perlu dipecahkan. Terlalu banyak 'misteri'.

Yok Koeswoyo dan David (generasi kedua Koeswoyo) dalam lantunan lagu "Andai Kau Datang Kembali" (screnshoot Kompastv)
Yok Koeswoyo dan David (generasi kedua Koeswoyo) dalam lantunan lagu "Andai Kau Datang Kembali" (screnshoot Kompastv)
"...adakah jalan yang kau temui, untuk kita bersama lagi...".***

Padang, 21 Januari 2018

A Tribute to: Yon Koeswoyo (wafat Jum'at, 5/1/2018).

Terima kasih kepada fotografer yang telah mengabadikan perjalanan Koes yang saya ambil sebagai ilustrasi artikel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun