Mohon tunggu...
Ariasdi
Ariasdi Mohon Tunggu... Administrasi - Dunia Pendidikan

Catatan Kecil Dunia Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Kidzanow", Generasi Terbodoh yang Pernah Ada

25 Desember 2017   11:58 Diperbarui: 26 Desember 2017   06:01 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi: deesillustration.com

Teori generasi yang dipresentasikan William Strauss dan Neil Howe (1991) menjadi rujukan laris ketika membahas kecenderungan peradaban manusia menurut tahun kelahirannya. Buku setebal 544 halaman yang berjudul asli Generation: The History of America's Future, 1584 to 2069 tersebut sebenarnya mengisahkan sejarah tokoh-tokoh yang mempengaruhi Amerika, dipilah berdasarkan biografi generasi yang hidup pada zamannya, sejak 1588 sampai 2025.

Pakar demografi tersebut berteori bahwa terdapat empat pola dasar (archetype) menusia yang muncul dan berulang dalam setiap periodesasi generasi. Partisi generasi tersebut direntang dalam kurun waktu tiga puluh tahunan. Masing-masingnya diberi identitas: Generasi Puritan (1588-1617), Cavalier (1688-1674), Glorious (1648-1673), Englightenment (1674-1700), Awakening (1701-1723), Liberty (1724-1741), Republican (1742-1766), Compromise (1767-1791), Trancendental (1792-1821), Gilded (1822-1842), Progressive (1843-1859), Missionary (1860-1882), Lost (1883-1900), GI (1901-1924), Silent (1925-1942), Baby-Boomer (1943-1960), Gen-X (1961-1981), Gen-Y/Millenial (1982-2005) dan Gen-Z/Homeland (2005-2025). Pola dasar yang selalu berulang  dalam kurun setiap generasi adalah munculnya tokoh-tokoh yang berkepribadian kuat (prophet), bertipe petualang (nomad), berjiwa pejuang (hero) dan berhati seniman (artist) yang menjadi panutan setiap zaman.

Walau studi penelitiannya dilakukan di negara Paman Sam, namun kelihatannya mirip dengan karakter manusia secara global, termasuk  di negara kita tercinta ini. Mari kita amati!

Generasi yang masih aktif dan  beredar di muka bumi sekarang adalah Silent Generation, Baby-Boomer, Gen-X (Gen-Xers), Gen-Y (Gen-Millenial) dan Gen-Z (Homeland). Dua generasi  terakhir dikategorikan iGeneration, net/internet-Generation (Net-Gen). Dikenal juga dengan  nama viral: 'Kids Zaman Now' (Kidzanow).

Baca juga: Viral, Obsesi Kids Zaman Now.

Baby-Boomer lahir pada akhir perang dunia kedua. Sekarang berusia rata-rata 60 tahunan. Sedang mendekati masa pensiun, menjelang senja. Pekerja keras dan memiliki etos kerja yang cukup tinggi. Namun tidak dipungkiri, sebagian mereka gagap menyongsong arus perubahan. Susah sekali diajak akrab dengan peralatan yang berbau teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Gagap teknologi (gaptek).

Pelatihan TIK, segencar apapun, sudah tidak memberikan dampak signifikan. Jika berprofesi sebagai guru, mereka lebih senang membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan tulisan tangan dibandingkan menggunakan laptop/PC. Mereka apatis dan pasrah. "Biarlah yang pintar menggunakan komputer itu anak/cucu kami saja. Bagi kami sudah tidak ada gunanya. Bulan depan kami sudah pensiun. Tidak menerima tunjangan sertifikasi juga tidak apa-apa'" jawabnya memelas, sambil memperagakan rapinya tulisan halus-kasar miring bejejer yang baru saja dibuatnya.  "...ini hasil kami sekolah dulu, tidak seperti tulisan anak sekarang," lanjutnya bangga.

Generasi ini bisa dikategorikan sebagai generasi pembatas antara dua alam; dunia 'analog'  dan  dunia 'digital'. Sayang, lebih dari 80% kehidupan mereka dihabiskan bersama perabotan analog.

Gen-Xers generasi yang paling beruntung. Generasi yang  lahir sekitar tahun '60 hingga '80-an tersebut mengalami anomali peradaban dalam usia matang. Mereka menyaksikan perubahan dengan mata kepala sendiri. Dunia analog dan digital fivty-fivty mereka rasakan. Pada satu sisi mereka mampu bercerita banyak kepada Kidzanow yang sekarang berusia 30 tahun ke bawah tentang suka dukanya menggunakan teknologi analog. Pada sisi yang lain mereka cukup enjoy menikmati sentuhan mengagumkan dunia digital kekinian.

Beberapa artefak teknologi yang digunakan Gen-Xers pada zaman analog yang baru saja berlalu sudah tidak familiar lagi dan sebagian  sudah dimuseum-kan. Kidzanow akan melongo membayangkan Gen-Xers berkisah tentang kartu pos, kartu lebaran, atau kertas wangi berbunga untuk Si-Dia. Tambah melongo ketika diberitahu bahwa 'kemaren' ada pesan morse yang bernama telegram, kamera film, tivi hitam-putih, walkman, pager, dan tamaguchi.

Terlalu teknis menerangkan kepada Kidzanow bahwa 'kemaren' (juga), menjalankan komputer harus dibuka dulu DOS-nya menggunakan disket. Belum ada 'mouse'. Seluruh perintah dijalankan dengan menggunakan 'rumus' karena tidak dilengkapi tombol 'Graphical User Interface' (GUI).

Mereka bingung jika diminta mengetik menggunakan Wordstar atau Lotus (Pra-MsOffice). Sama bingungnya pada saat melihat tumpukan stensilan Kho Ping Hoo, kisah yang tidak berawal dan berakhir. Bagaimana cara membacanya!

Bukan itu sebenarnya yang menarik untuk dibahas.

Strauss dan Howe dalam papernya yang dimuat di Havard Business Review edisi Juli-Agus 2017 mencantumkan Mark Zuckerberg dalam daftar sampel keterwakilan manusia berpengaruh yang hidup di Amerika pada era-millenial. Walau masih berstatus dipertanyakan sebagai pahlawan (hero?), Zuckerberg jadi asing sendiri di antara deretan mayoritas Presiden Amerika, seperti Gorge W. Bush yang mewakili Baby-Boomer dan  Barrack Obama untuk Gen-Xers.

Mark  Zuckerberg. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa sosok pemuda tersebut merupakan salah seorang tokoh yang sanggup mengubah paradigma modern. Pria kelahiran White Plains, New York (14/5/1984) awalnya adalah seorang programer komputer. Berlatar belakang keterampilannya, Zuckerberg muda (20 tahun) bersama teman sekelasnya, Chris Huges, Dustin Moskovitz dan Eduardo Saverin, merancang jejaring sosial sederhana di kampusnya (2004).

Lama kelamaan, tanpa disadari, yang bergabung dalam aplikasi pertemanan tersebut tidak di kampusnya saja, tapi sudah merambah ke kampus terdekat. Memilih drop-out dari  Havard University karena naluri 'futuristik'-nya mengatakan bahwa dunia yang digelutinya akan menjadi mesin-duit yang menjanjikan. Inilah cikal Facebook yang dikenal sekarang. Jejaring pertemanan Facebook digadang-gadang sebagai monumen mercusuar pertama untuk kompetensi abad ke-21.

Zuckerberg memiliki kecerdasan metakognisi dan literasi digital di atas rata-rata. Dia tahu bahwa di zamannya (era-millenial), manusia akan bereksodus dari kehidupan realita ke dunia virtual, termasuk jalinan kekerabatan sosial. Prediksinya tidak meleset. Kekayaannya dari Facebook mampu membeli (mengakuisisi) layanan pengiriman pesan bergerak (mobile massanging) terbesar WhatsApp (WA) senilai Rp. 223  triliun.

Diantara  keunggulan WA yang menggiurkan adalah kemampuannya melayani lalu-lintas informasi sebanyak 50 milyar per hari. Itu artinya, server induk WA yang didirikan 2009, telah menyimpan lebih dari 450 juta nomor penggunanya, termasuk Indonesia. Dengan menguasai WA, Facebook dengan mudah dapat mensikronisasikan sistem basis-datanya. Sebuah kecerdasan literasi (melek) terhadap informasi, media dan teknologi.

Kecerdasan tersebut menjalar kepada kegiatan kewirausahaan lainnya. Dewasa ini kita mengenal 'bazar maya' Lazada, Bli-Bli, Tokopedia, Bukalapak. Layanan transportasi on-line dengan beragam fitur, seperti Grab dan Go-Jek, menggilas usaha tradisional lainnya yang gagal 'move-on' seperti 'angkot' dan ojek pangkalan. Bahkan salah satu perusahaannya (Go-Jek Traveloka) mampu menyediakan hadiah puluhan milyaran rupiah untuk Liga I Sepak Bola Nasional.

Bagai berada di atas papan selancar, Kidzanow mengarungi kehidupan ini di tengah arus samudera digitalisasi dengan enjoy dan happy. Gelombang, setinggi apapun, tidaklah menakutkan. Bahkan akan terus mencari pantai yang memiliki deburan ombak lebih menggila dan berlapis.

Berburu perangkat lunak terbaru menjadi kegemaran yang hanya bisa dihalangi oleh keterbatasan ruang penyimpanan  (memori). Semua berada di depan mata dan di ujung jari. Game, shop, sport, book, kamus, rumus, semua direkomendasikan AppStore dan GameStore bagi pengguna telepon pintar. Telepon pintar benar-benar 'pintar'. "Perangkat kecil yang pas di saku kita lebih pintar dari kita, dan seluruh kendala kita ada jawabannya," seloroh beberapa pelajar Kidzanow.

Penelitian Kortney Mc.Pherson (2016) menemukan bahwa pengguna telepon pintar menghabiskan dua sampai empat jam sehari membungkuk menekuni telepon selularnya. Bisa membebani leher serta retina mata dan itu tidak baik untuk kesehatan.

Segencar apapun peringatan, gadget sudah terlanjur  menjadi 'oksigen' Kidzanow. Kata pembuka (password) 'wi-fi' adalah pertanyaan pertama ketika berada pada suatu tempat yang baru, di saat data paket-nya habis. Jika sudah didapat, jangan harap mereka menghiraukan sekitarnya. Bahkan bencana alam sekalipun bisa dijadikan 'vlog' atau 'kematian' menjadi hal terindah untuk diabadi dan di'viral'-kan.

Keprihatinan melihat potret sosial kehidupan Kidzanow yang berusia dibawah 30 tahunan tersebut mendorong Mark Bauerlein meluncurkan bukunya The Dumbest Generation: How the Digital Age Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future (Or, Don't Trust Anyone Under 30).  Terjemahan bebasnya, Generasi Terbodoh: Bagaimana Era Digital Memabukkan Kawula Muda Amerika dan Menghancurkan Masa Depan Kita (Jangan Percaya Siapapun yang Berusia Dibawah 30 Tahun).

Buku tersebut awalnya tidak mendapat banyak sambutan dan apresiasi sejak diterbitkan tahun 2008. Apalagi judul utamanya sangat kontroversi, 'Generasi Terbodoh', menimbulkan polemik di kalangan Kidzanow. "...saya sangat tidak setuju dengan pesan yang Anda sampaikan kepada pembaca Anda. Pernyataan Anda mengenai teknologi membuat orang muda bodoh tidak memiliki bukti yang membuktikan teknologi itu sendiri mempengaruhi kaum muda,.." tulis Eugene Tsang dalam surat terbukanya untuk Baeurlein.

Dumbest Generation sendiri sebenarnya berisi potret Kidzanow terhadap  malaise budaya dan intelektual yang berdampak kepada kehidupan sosial kalangan muda Amerika. Melalui observasi dan data statistik, Bauerlein berargumen bahwa pemuda masa kini (Kidzanow Amerika) sebenarnya tidak begitu tahu, cerdas, berpikiran maju, atau apapun yang positif yang dapat dikatakan tentang mereka, walau 'teknologi' tidak lepas dari tangan mereka. "Generasi muda Amerika sekarang yang berusia dibawah 30 tahun, secara historis dan sosiokultural buta huruf, kekurangan daya nalar matematis, kekurangan kosa kata, tidak dapat dipercaya dalam intelektual dan prospek karir masa depannya," ungkap Bauerlein.

Kritikan Bauerlein tersebut juga disuarakan lantang  sebelumnya oleh Dr. Walter E. Williams (2006) yang geram melihat peringkat siswa/mahasiswa Amerika dalam Program Penilaian Siswa Internasional (PISA). "mahasiswa AS berada di peringkat 25 dari 30 negara maju dalam bidang matematika dan sains ke-24. Semakin banyak anak Amerika yang kinerjanya dibawah teman-teman internasional mereka".

Apa yang diungkapkan Bauerlein tersebut sebenarnya tamparan yang sangat keras bagi generasi sebelumnya (lihat partisi generasi Strauss dan Howe). Siapapun itu, generasi yang sekarang disebut Kids Zaman Now tidak terlepas dari bimbingan orang tua, guru, sahabat dan lingkungan mereka.

Walau kasusnya di Amerika, tulisan Bauerlein bisa menjadi refleksi bagi orang tua (dalam arti yang luas), agar lebih mewaspadai teknologi yang sekarang berada di genggaman jemari mungil Kidzanow.  Di sana ada 'madu' untuk kemaslahatan, sekaligus  'racun'  yang sangat mengerikan  bagi  kelangsungan DNA generasi yang akan datang.

Yang belum terjawab: "pantaskah Mark Zuckerberg dinobatkan sebagai 'hero' di era-millenial seperti yang dipertanyakan Strauss dan Howe?"

Sampai jumpa di catatanku yang akan datang. Jawabannya ada di sana, Insha Allah.

Maaf kepanjangan.  Maklum, teramat sayang meninggalkan tahun 2017 tanpa aksara. Salam literasi, semoga bermanfaat.***

Pariaman, 25 Desember 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun