Suatu hari, di sebuah desa kecil yang damai, terdapat sebuah masjid yang sederhana namun selalu dipenuhi oleh jamaah. Masjid itu menjadi tempat berkumpul bagi warga, terutama pada waktu-waktu salat berjamaah. Salah satu waktu yang paling ramai adalah selepas salat Maghrib, saat para jamaah sering duduk di sekitar masjid, berbincang tentang berbagai hal.
Di antara mereka, terdapat seorang pemuda bernama Amir. Amir adalah seorang yang rajin beribadah, namun sering kali terjebak dalam percakapan yang tidak perlu. Suatu hari, setelah salat Maghrib, Amir duduk bersama teman-temannya di teras masjid. Mereka mulai bercerita tentang hal-hal yang tidak penting, seperti gosip tentang tetangga dan masalah duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama.
"Eh, kamu tahu nggak, si Budi baru saja beli mobil baru," kata Rudi, salah satu teman Amir.
Amir hanya tersenyum, namun hatinya mulai merasa gelisah. Tiba-tiba, ingatannya terbang ke sebuah hadist yang pernah ia dengar dari guru agamanya.
"Fa'inna al-hadtha f al-masjidi yubiu al-ajra kam ykulu al-bahmu al-ushsha."
Artinya: "Percakapan dalam masjid akan menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput." (HR. Ahmad)
Kalimat itu terus berputar dalam benaknya. Amir merasa ada yang tidak beres. Ia tahu bahwa masjid adalah tempat yang seharusnya dihormati, tempat yang suci, bukan untuk percakapan yang tidak membawa manfaat. Namun, kebiasaan berbicara tanpa tujuan sering kali menguasainya, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman.
Amir berusaha menahan diri, namun percakapan itu terus berlanjut. "Kalau mobil baru si Budi itu keren banget, ya? Kamu rasa harga mobil sekarang naik atau turun?" tanya Eko, teman lainnya.
Hati Amir semakin gelisah. Ia mulai teringat pesan gurunya yang mengatakan bahwa percakapan yang tidak bermanfaat di masjid, seperti halnya binatang ternak yang memakan rumput, akan merusak pahala yang telah didapatkan selama ibadah. Ia pun teringat bahwa masjid adalah tempat untuk menambah ilmu dan memperbaiki diri, bukan untuk memperbincangkan hal-hal duniawi yang bisa menambah dosa.
Setelah beberapa saat, Amir merasa semakin tidak nyaman. Ia pun memutuskan untuk berbicara dengan teman-temannya. "Teman-teman, maaf ya kalau aku mengganggu. Aku baru ingat hadist yang mengatakan kalau percakapan di masjid bisa menghapus pahala. Sepertinya kita harus menjaga kata-kata kita di sini. Mungkin lebih baik kita berbicara tentang sesuatu yang lebih bermanfaat," ujar Amir dengan penuh rasa hormat.
Teman-temannya terdiam sejenak. Mereka menatap Amir, dan beberapa dari mereka mulai merenung. Akhirnya, Rudi yang paling vokal di antara mereka, berkata, "Kamu benar, Amir. Kita sering lupa diri kalau sudah berkumpul seperti ini. Terima kasih sudah mengingatkan."
Sejak saat itu, mereka mulai lebih hati-hati dengan percakapan mereka di masjid. Mereka menyadari bahwa masjid adalah tempat yang penuh berkah, dan setiap detik yang dihabiskan di sana seharusnya dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, baik itu untuk beribadah, berdzikir, atau berbicara tentang ilmu yang membawa kebaikan.
Amir merasa lega. Ia tahu, meskipun percakapan tersebut sepertinya hanya hal kecil, namun menjaga kata-kata di tempat yang mulia seperti masjid adalah langkah besar dalam menjaga hati dan menjaga pahala. Sejak itu, setiap kali ia duduk di masjid, ia berusaha untuk menjaga pembicaraannya, dan setiap kali ia berbicara, ia selalu mengingat pesan dalam hadist tersebut.
"Percakapan yang penuh dengan kebajikan, meskipun sejenak, akan menguatkan iman kita," pikir Amir. "Masjid adalah tempat yang tidak hanya untuk bersujud, tetapi juga untuk memperbaiki diri."
Dan sejak itu, Amir tidak lagi berbicara sembarangan di masjid. Ia sadar bahwa setiap kata yang diucapkan adalah tanggung jawab, dan masjid adalah tempat yang lebih layak untuk berbicara tentang kebaikan, daripada hal-hal yang hanya akan menghabiskan pahala ibadah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H