Mohon tunggu...
Ariani Kartika
Ariani Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Sudah keluar dari pekerjaan 9-5

Suka menulis dan membuat sabun artisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pandangan Saya tentang Abdi Dalem

19 Oktober 2024   09:39 Diperbarui: 19 Oktober 2024   09:45 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang Masuk Kedaton (dokpri)

Sebenarnya seminggu yang lalu, tepatnya dihari Sabtu, saya sudah berkunjung ke Alun-alun Selatan bersama Jogja Walking Tour yang dipandu oleh mas Erwin. Tapi di hari Jumat, minggu depannya, saya ingin mengulangi lagi dengan ritme yang lebih lambat. Mungkin istilahnya slow-traveling.

Saya juga berencana untuk mengambil ulang beberapa gambar yang menurut saya sudut pengambilannya tidak berapa bagus. Harus diakui, saya tidak pintar dalam hal fotografi.

Ketika masuk ke plataran Kamandungan, saya lihat tersedia 2 galon air minum berukuran besar dan beberapa gelas plastik yang ditumpuk. Saya langsung teringat kalau hari ini hari Jumat, mungkin ada kegiatan di bangsal ini.

Di depan regol Gadhing Mlati, seorang abdi dalem yang sedang duduk di bangsal pacaosan (bangsal penjaga) sambil mendengar alunan nada berbahasa Arab.

Mungkin untuk  orang India, orang Jawa itu unik. Memiliki nama Sanskerta yang kental dengan nuansa Hindu, tapi beragama Islam. Bahkan banyak yang memakai nama Dewa atau Dewi yang orang Hindu di India tidak bakal memakainya untuk nama anak. Sama halnya dengan orang Islam tidak bakal menamakan anaknya dengan salah satu dari 99 sifat Allah.

 Tidak bisa disangkal bahwa manusia dan budaya Jawa sekarang adalah hasil akulturasi budaya nenek moyang Hindu yang kemudian menganut Islam ketika Kerajaan Majapahit dan Singosari perlahan surut.

Gerbang Masuk Kedaton (dokpri)
Gerbang Masuk Kedaton (dokpri)

Setelah kulo nuwon dengan abdi dalem tersebut, saya langsung masuk ke plataran Magangan. Ambil foto dibeberapa spot, tapi setelah saya lihat, hasilnya tidak lebih bagus dari jepretan minggu lalu.

Lalu saya berjalan sampai Regol Magangan yang merupakan gerbang untuk masuk ke Kedaton yaitu bagian utama keraton yang dijaga oleh beberapa abdi dalem yang duduk santai sambil mengobrol. Selain mereka, saya lihat banyak juga abdi dalem yang datang dan masuk kedalam Kedaton.

Anak Magang (dokpri)
Anak Magang (dokpri)

Para abdi dalem terikat dengan tata krama dan aturan di Keraton. Mereka harus naik tangga dari sisi pinggir, tidak boleh lewat tengah, sebelum masuk pintu gerbang. Dan mereka wajib melepas alas kaki sebelum menaiki tangga. Namun aturan itu tidak berlaku untuk pengunjung.

Namun hari itu saya melihat ada sesuatu yang menarik, banyak abdi dalem wanita berusia muda. Mereka memakai kebaya warna hitam, berkain jarik, berdandan cantik lengkap dengan sanggul bergaya tradisional.

Kenapa keraton memiliki abdi dalem wanita muda sebanyak ini?

 Begitu pertanyaan saya dalam hati.Karena penasaran, saya menghampiri dan bertanya 

“Maaf mau tanya. Mbak abdi dalem di keraton ya”

“Bukan, kami sedang PKL,” jawabnya sambil tersenyum ramah.

“PKL?? Memang mbaknya sekolah dimana?”

“Kami dari SMK.”

Saya langsung mengerti, mereka dari SMK jurusan kesenian. Keraton memang tempat yang tepat untuk PKL, Praktek Kerja Lapangan, yang berhubungan dengan kesenian.

Memulai hari PKL (dokpri)
Memulai hari PKL (dokpri)

Dulu saya tidak mengerti mengapa ada yang mau menjadi abdi dalem dengan upah yang rendah. Menurut saya itu tidak adil. Walaupun ada yang bilang mencari materi bukan tujuan utama seorang abdi dalem, tapi lebih kepada kepuasan batin.

Sebelumnya, pengertian saya tentang abdi dalem adalah orang yang meladeni (melayani). Padahal abdi dalem memiliki jenjang peringkat dan keahlian masing-masing, seperti karyawan sebuah perusahaan.

Keraton merupakan pusat budaya Jawa yang dijaga dan dilestarikan oleh para abdi dalem yang memiliki keahlian dan ketrampilan dalam bidang seni budaya, seperti bermain gamelan, nembang, menari tarian tradisional, membaca dan menulis aksara Jawa, dll. Mungkin tanpa mereka, budaya Jawa sudah lama hilang.

Saya pulang melalui rute yang sama seperti  ketika saya datang. Bangsal Kamandungan tampak hidup dipenuhi  anak-anak yang sedang berlatih menari. Mungkin mereka adik kelas dari anak-anak yang PKL tadi.

Latihan Menari di Bangsal Kamandungan (dokpri)
Latihan Menari di Bangsal Kamandungan (dokpri)

Saya lalu duduk disisi sebelah barat yang terlindung dari sinar matahari pagi. Kaki saya perlu beristirahat sejenak sambil menonton anak-anak itu menari.

Tiba-tiba tersirat dalam pikiran bahwa sesungguhnya saya ‘berhutang’ pada anak-anak itu. Mereka adalah penerus yang akan melestarikan kebudayaan Jawa. Walaupun mereka sadar bahwa pilihan mereka tidak menjanjikan dari sisi materi. Tapi mereka tetap memilih jalan itu karena panggilan hati.

Anak-anak itu, bersama abdi dalem Keraton,  adalah yang akan menjaga nyala api kebudayaan Jawa agar tidak pernah padam.

Akhir cerita, hari itu saya tidak berhasil mendapat foto yang lebih estetik tapi saya memiliki pandangan baru tentang abdi dalem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun